Lima tahun pertama masa pemerintahan, Presiden Joko Widodo mencatatkan sejumlah pencapaian dalam isu politik luar negeri. Namun, kecenderungan egosentris menjadi catatan penting di dalamnya.
Dua pekerja migran Indonesia, Sumartini binti Manaungi Galisung dan Warnah binti Ni’ing, bebas dari ancaman hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan di Arab Saudi pada April 2019. Ini melengkapi keberhasilan serupa atas diri Siti Aisyah, warga Indonesia yang didakwa terlibat kasus pembunuhan Kim Jong Nam, saudara tiri Pemimpin Korut Kim Jong Un itu. Siti berhasil dibebaskan dari ancaman hukuman mati pada Maret lalu. Fakta itu mewarnai peran Indonesia di kawasan, seperti penanganan isu etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Bersama ASEAN, Indonesia pun berhasil menjaga situasi kawasan agar tetap stabil, aman, dan damai. Ketika di sejumlah kawasan lain konflik berkepanjangan terus mendera, ASEAN justru berkembang menjadi wilayah dengan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi global.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi saat ditemui di sela-sela Sidang Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa, akhir September lalu, mengatakan, soliditas adalah salah satu kunci yang membuat ASEAN mampu menjaga kawasan tetap stabil, aman, damai, sekaligus kompetitif.
Terakhir dengan diadopsinya Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik—yang diinisiasi Indonesia—asosiasi itu memiliki ”ruang bersama” yang lebih luas. Ini dapat mendudukkan kekuatan-kekuatan global, seperti AS, China, Jepang, Korea, Rusia, dan Eropa, agar ”mengenakan” habitus yang sama saat bersosialisasi di kawasan.
Melihat ke dalam
Meski turut mengapresiasi pencapaian itu, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Adriana Elisabeth, menilai pendekatan Indonesia di kancah internasional masih cenderung inward looking dan pragmatis.
Adriana berpendapat, Indonesia—yang memiliki sejarah panjang dalam menangani aneka isu sensitif, seperti konflik di Asia Tenggara dan motor gerakan perdamaian dunia—sebaiknya lebih mengambil peran-peran strategis.
Terkait isu denuklirisasi Korea, misalnya, Adriana berharap Indonesia berinisiatif ikut memfasilitasi. ”Isu ini kelihatan high level, tetapi strategis karena akan menunjukkan kita memiliki kemampuan dan pengalaman untuk itu. Ini kelihatan sepele tetapi citra itu penting,” kata Adriana.
Salah satu yang juga disoroti Adriana adalah ketidakhadiran Presiden Joko Widodo di PBB. Bagi sejumlah pihak, ketidakhadirannya itu dapat dipahami. Ada aneka persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini dan membutuhkan perhatian serius. Namun, menurut Adriana, kehadiran pemimpin Indonesia—salah satu negara besar di dunia—membuat pengaruh Indonesia meningkat.
Menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) Philip Fermonte, kebijakan politik luar negeri Indonesia saat ini lebih cenderung merupakan refleksi dari prioritas ekonomi pemerintah. Philip merujuk pada keaktifan Presiden Joko Widodo di arena G-20 daripada di PBB. ”Ini didasarkan pada pandangan kebijakan polugri yang harus konkret dan terukur,” kata Philip.
Saat ini, saat memasuki kepemimpinan periode kedua, situasi global makin tidak menentu. Dampak pertarungan AS-China akan banyak memberi tekanan, termasuk di kawasan Asia. Terkait situasi itu, ASEAN membutuhkan kepemimpinan, dan sebagai pemimpin tradisional Indonesia dibutuhkan untuk lebih aktif berperan.
Ada harapan agar Indonesia tidak lagi terlalu sibuk dengan diri sendiri. (LSA/JOS)