Demi Perbaiki Neraca Dagang, Pemerintah Merevisi 18 Aturan
Seharusnya pemerintah mampu membenahi hal-hal strategis yang berimplikasi langsung terhadap investasi.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J/HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Pemerintah berencana merevisi 18 aturan untuk memperbaiki kinerja neraca perdagangan. Selain mengoptimalkan aktivitas ekspor impor, hasil revisi juga diharapkan dapat menarik investor asing menanamkan modal di Indonesia.
Secara keseluruhan, regulasi berada di tataran peraturan Menteri Perdagangan (Permendag). ”Sejumlah revisi aturan sudah saya tanda tangani,” kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita saat ditemui di sela-sela acara Trade Expo Indonesia ke-34 yang diselenggarakan di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (17/10/2019).
Dari sisi aturan ekspor, ada tujuh Permendag yang direvisi. Regulasi tersebut adalah Permendag Nomor 12 Tahun 2017 tentang Ketentuan Produk Industri Kehutanan, Permendag Nomor 51 Tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Sarang Burung Walet ke Republik Rakyat China, Permendag Nomor 109 Tahun 2018 tentang Ketentuan Ekspor Kopi, serta Permendag Nomor 122 Tahun 2018 tentang Ketentuan Ekspor Tumbuhan Alam dan Satwa Liar yang Tidak Dilindungi Undang-Undang dan Termasuk dalam daftar CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).
Selain itu, Permendag Nomor 53 Tahun 2018 tentang Ketentuan Ekspor Timah, Permendag Nomor 1 Tahun 2017 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian, serta Permendag Nomor 21 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Minyak Bumi Gas Bumi dan Bahan Bakar Lain.
Adapun regulasi terkait impor yang direvisi sebanyak11 permendag. Aturan-aturan itu terdiri dari Permendag Nomor 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil, Permendag Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam, Permendag Nomor 82 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Telepon Seluler Telepon Genggam dan Komputer Tablet, Permendag Nomor 110 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan produk turunannya, Permendag Nomor 8 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Bahan Baku Plastik, Permendag Nomor 9 Tahun 2018 tentang Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor Kaca Lembaran, Permendag Nomor 117 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Gula, Permendag Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun, Permendag Nomor 97 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Produk Kehutanan, Permendag Nomor 44 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura, dan Permendag Nomor 118 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Barang Modal dalam Keadaan Tidak Baku.
Enggartiasto berharap, revisi tersebut dapat memperbaiki kinerja neraca perdagangan Indonesia. ”Kami juga mengharapkan revisi aturan ini dapat mendatangkan investasi ke Indonesia,” katanya.
Badan Pusat Statistik mencatat, defisit neraca perdagangan Indonesia sepanjang Januari-September 2019 sebesar 1,945 miliar dollar AS. Angka ini terbentuk dari nilai ekspor 124,17 miliar dollar AS (turun 8 persen dibandingkan tahun sebelumnya) dan nilai impor 126,12 miliar dollar AS (turun 9,12 persen).
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan, menyoroti pentingnya harmonisasi regulasi yang berkaitan dengan investasi dan berdampak pada kinerja neraca perdagangan. ”Seharusnya pemerintah mampu membenahi hal-hal strategis yang berimplikasi langsung terhadap investasi sebagai salah satu upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan mengimbangi neraca perdagangan yang masih defisit,” katanya.
Komunike karet
Sebagai salah satu upaya perbaikan neraca perdagangan di tengah bergolaknya harga komoditas, termasuk karet alam, semua anggota Asosiasi Negara-negara Produsen Karet Alam (Association of Natural Rubber Producing Countries/ANRPC) berhasil menyepakati komunike bersama yang diinisiasi Indonesia. Inti pokok dari komunike adalah melindungi petani kecil dalam konteks menjaga keberlanjutan sektor karet alam.
Komunike itu dihasilkan pada akhir pertemuan tahunan ANRPC pada 7-11 Oktober 2019 di Yogyakarta. Dalam forum itu, Indonesia juga kembali terpilih sebagai Keketuaan ANPRC dengan Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kemendag Iman Pambagyo sebagai Ketua ANRPC 2019-2020.
Direktur Perundingan APEC dan Organisasi Internasional Kementerian Perdagangan, yang juga Ketua Delegasi Indonesia, Antonius Yudi Triantoro, mengatakan, komunike tersebut untuk menjawab tiga isu utama karet alam. Ketiga isu tersebut adalah stabilisasi harga, pengendalian penyakit pada tanaman karet, dan keberlanjutan sektor karet.
Hal itu membuat negara-negara anggota ANRPC bekerja bersama. Negara anggota ANRPC sepakat konsep keberlanjutan perlu dilihat secara komprehensif, yaitu mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
”Pada dasarnya, pemerintah selalu berusaha mencari solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi sektor karet alam. Indonesia bersama negara anggota ANRPC berkomitmen melindungi petani kecil dalam rangka menjaga keberlanjutan sektor karet alam,” kata Yudi.
Di bawah keketuaan Indonesia, lanjut Yudi, kegiatan ANRPC akan fokus membahas upaya stabilisasi harga karet, penanganan terhadap penyakit karet, dan keberlanjutan karet alam melalui pembentukan satuan kerja, komite, dan kelompok kerja.
Karet alam merupakan komoditas ekspor nonmigas kedua terbesar Indonesia. Pada 2018, total ekspor karet alam tercatat 2,95 juta ton dengan nilai 4,16 miliar dollar AS. Persentase ekspor tersebut meliputi 83 persen dari produksi karet alam, sedangkan 17 persennya dikonsumsi pasar domestik.
Sebagai produsen terbesar kedua karet alam dunia, Indonesia memproduksi 3,63 juta ton dari lahan perkebunan karet seluas 3,67 juta hektar pada tahun 2018. Sebanyak 85 persen lahan perkebunan dimiliki dan dibudidayakan oleh 2,5 juta petani karet.
BPS mendata, nilai ekspor kelompok karet dan barang dari karet sepanjang Januari-September 2019 menurun 6,56 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi 4,61 miliar dollar AS. Padahal, kelompok ini menjadi salah satu barang golongan utama ekspor.