Pesan dari Kuningan dan Urgensi Perppu KPK
Menjelang berlakunya UU KPK yang baru, langkah penindakan KPK menguat. Dari kantor mereka di Kuningan, Jakarta Selatan, KPK seperti ingin mengirimkan pesan bahwa korupsi masih merajalela. Maka, upaya melemahkan pemberantasan korupsi, salah satunya dari UU KPK yang baru, harusnya dihindari.
Selasa (14/10/2019) pagi, pesan singkat masuk dari Juru Bicara KPK Febri Diansyah di grup Whatsapp wartawan yang biasa liputan di KPK.
"Menjelang Senin tengah malam ada kegiatan tim KPK di Indramayu. Sekitar 5 orang sudah dibawa ke gedung KPK. Unsurnya: Bupati, ajudan, pegawai, rekanan dan kepala dinas dan beberapa pejabat Dinas PU (pekerjaan umum) lain. Ada dugaan transaksi terkait proyek di Dinas PU," tutur Febri.
Padahal baru beberapa jam sebelumnya, KPK mengumumkan penetapan mantan Bupati Seruyan, Kalimantan Tengah periode 2003-2013, Darwan Ali sebagai tersangka korupsi. Dia diduga terlibat dalam perkara korupsi pembangunan Pelabuhan Laut Teluk Segintung Seruyan Tahun 2007-2012.
Gerak KPK tak hanya berhenti di Indramayu. Selasa malam hingga Rabu (15/10/2019) dinihari, tim KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Medan. “Dari operasi tangkap tangan (Selasa) malam sampai (Rabu) dini hari tadi, total tujuh orang diamankan, yaitu dari unsur kepala daerah/walikota, Kepala Dinas PU, protokoler wali kota, ajudan wali kota, dan swasta,” kata Febri.
Rabu malam saat KPK merilis penetapan tersangka atas hasil OTT di Medan, KPK sekaligus mengumumkan penetapan sejumlah tersangka hasil pengembangan tiga perkara yang ditangani oleh KPK.
Di antaranya, Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional XII Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Refly Ruddy Tangkere menjadi tersangka untuk kasus dugaan suap dalam proyek jalan di Kalimantan Timur, 2018-2019.
Kemudian, terkait kasus suap di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, tahun 2018, enam orang dijadikan tersangka. Salah satunya, Tubagus Chaeri Wardhana, adik terpidana korupsi mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah.
Selain itu, penetapan tersangka Direktur PT Humpuss Teknologi Kimia Taufik Agustono karena diduga terkait kasus suap distribusi pupuk yang melibatkan eks Wakil Ketua Komisi VI DPR Bowo Sidik Pangarso, akhir Maret 2019.
Baca juga: Rentetan Korupsi Kepala Daerah
Korupsi merajalela
Pergerakan KPK ini setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, korupsi yang masih marak. Wali Kota Medan Dzulmi Eldin misalnya, menjadi kepala daerah ke-49 yang ditangkap dalam OTT KPK. Kedua, korupsi melibatkan banyak orang, dan semua yang terlibat tentu harus ditindak. Dengan demikian, upaya pemberantasan korupsi akan menciptakan efek jera.
Soal masih maraknya korupsi, Indeks Persepsi Korupsi 2018 menguatkan hal tersebut. Indeks menempatkan Indonesia menduduki peringkat 89 dari 180 negara dengan skor 38 dalam rentang 0-100. Skor Indonesia di bawah negara tetangga, yaitu Malaysia (47), Brunei Darussalam (63), dan Singapura (85).
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko yang memaparkan indeks tersebut, menjelaskan, dalam empat tahun terakhir, tren peningkatan indeks persepsi korupsi cenderung stagnan. Ini di antaranya karena masih maraknya korupsi di sektor politik dan penegakan hukum.
Kemudian data Global Corruption Barometer pada 2017 mempersepsikan legislatif menjadi institusi yang paling korup. Persepsi ini terkonfirmasi oleh data Anticoruption Clearing House yang menunjukkan, sepanjang 2004-2018, terdapat 247 anggota DPR dan DPRD yang tersangkut kasus korupsi. Jumlah itu menempatkan anggota DPR/DPRD sebagai jabatan yang paling banyak korupsi.
Titik balik
Di tengah masih merajalelanya korupsi, akan berlakunya UU KPK hasil revisi menjadi titik balik dari ikhtiar memberantas korupsi.
Baca juga: Penindakan KPK Terancam
Seperti diketahui, UU KPK hasil revisi sekalipun tidak ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo hingga 30 hari sejak UU disetujui bersama DPR dan pemerintah, 17 September 2019, aturan baru itu tetap sah menjadi menjadi UU dan wajib diundangkan.
Banyak pihak, akademisi dan masyarakat sipil, yang menilai tidak sedikit materi di dalam UU KPK hasil revisi yang berpotensi melumpuhkan KPK.
KPK pun telah menganalisa setidaknya ada 26 poin dalam UU KPK baru yang berpotensi melemahkan KPK. Di UU yang baru misalnya, pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.
Baca juga: Isu Krusial di Tengah Apresiasi Publik terhadap Pemerintahan Jokowi-Kalla
Kemudian untuk OTT akan lebih sulit dilakukan karena lahirnya Dewan Pengawas. Penyadapan yang merupakan senjata KPK selama ini, dan menjadi salah satu dasar OTT, bakal lebih rumit karena harus didahului izin Dewan Pengawas. KPK bahkan menyebut ada enam tahap lapis birokrasi yang harus dilalui untuk melakukan penyadapan.
Selain itu, pemberian kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun. Padahal kasus korupsi seringkali kompleks dan bersifat lintas negara, sehingga adanya batasan waktu akan menyulitkan KPK membongkar kasus-kasus korupsi besar, seperti kasus korupsi proyek KTP elektronik, mafia migas, BLBI, korupsi pertambangan dan perkebunan, serta kehutanan.
Sistem pencegahan
Ketika KPK dilumpuhkan, upaya memperkuat sistem pencegahan korupsi oleh pemerintah masih jauh panggang dari api. Padahal salah satu dari sembilan program prioritas dalam Nawa Cita, program yang dijanjikan Joko Widodo-Jusuf Kalla saat terpilih menjadi Presiden-Wakil Presiden di Pemilu Presiden 2014, adalah membangun tata kelola pemerintahan yang bersih.
Inspektorat di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah misalnya, belum bisa optimal dalam mencegah korupsi. Bahkan di kebanyakan instansi, posisi inspektorat yang menjadi subordinat dari menteri/kepala lembaga atau kepala daerah, sengaja dilumpuhkan.
Lemahnya inspektorat ini setidaknya terlihat dari data Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) per 30 September 2019. Data menunjukkan, inspektorat di 510 daerah misalnya, masih berada di level 1 dan 2 dari lima level yang menjadi dasar penilaian. Artinya, inspektorat belum bisa sepenuhnya efektif mengawal pemerintahan.
Baca juga: Perppu KPK Bisa Jadi Pilihan Rasional
Dihadapkan pada masih maraknya korupsi dan masih lemahnya sistem pencegahan korupsi, tak sedikit yang berharap KPK masih menjadi ujung tombak dalam pemberantasan korupsi. Ini pula yang sebenarnya menggerakkan mahasiswa dari berbagai kampus, turun ke jalan, akhir September lalu. Mereka kecewa anak kandung reformasi itu, dilemahkan.
“Kami masih berharap dan memohon, mudah-mudahan Bapak Presiden setelah dilantik dan memimpin kembali, beliau bersedia untuk mengeluarkan perppu KPK yang sangat diharapkan oleh KPK dan orang banyak,” kata Ketua KPK, Agus Rahardjo.
Namun, jika perppu tak dikeluarkan, Agus menegaskan KPK akan tetap berusaha memberantas korupsi di tengah keterbatasan akibat UU KPK yang baru.
Kami masih berharap dan memohon, mudah-mudahan Bapak Presiden setelah dilantik dan memimpin kembali, beliau bersedia untuk mengeluarkan perppu KPK yang sangat diharapkan oleh KPK dan orang banyak.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril menengarai lahirnya UU KPK yang baru sengaja untuk melemahkan bahkan melumpuhkan KPK. Alasannya sederhana, karena hanya KPK yang bisa mengusut kasus-kasus korupsi dengan tingkat risiko politik, ekonomi, dan teknis yang tinggi.
Maka wajar jika KPK banyak musuhnya, mulai dari politisi, pengusaha, kepala daerah, bahkan penegak hukum.
Baca juga: Pesan untuk Periode Kedua Pemerintahan
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menambahkan, perlu disadari adanya serangan balik dari para koruptor yang tak ingin melihat kemajuan bangsa. Keadaan ini dapat menjadi alat ukur bahwa KPK selama ini betul-betul sedang bekerja sehingga ada upaya dimatikan.
“Untuk itu, perppu KPK berisi pembatalan UU KPK diperlukan agar dapat menertibkan kekacauan yang akan ditimbulkan. Jangan perppu kemudian hanya untuk menunda pemberlakuan, itu sama saja menunda kesalahan, menunda kekacauan,” kata Feri.