Isu Batas Maritim dan Konektivitas Jadi PR Pemerintahan Jokowi Periode Kedua
Kebijakan kemaritiman Indonesia melalui poros maritim dan Indo-Pasifik dinilai telah menaikkan popularitas Indonesia di kawasan. Namun, permasalahan batas-batas maritim dan konektivitas masih menjadi persoalan.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan kemaritiman Indonesia melalui poros maritim dan Indo-Pasifik dinilai telah menaikkan popularitas Indonesia di kawasan. Akan tetapi, permasalahan batas-batas maritim dan konektivitas masih menjadi persoalan yang perlu diperhatikan pemerintah pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo periode kedua.
Demikian benang merah kuliah umum di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia yang menghadirkan Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri Ben Perkasa Drajat serta wakil dari Dinas Pendidikan Angkatan Laut, Letkol Anshori Zaini, yang juga dosen Universitas Pertahanan, di Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Ben mengatakan, ketika komitmen sebagai poros maritim dunia disuarakan dengan lantang oleh pemerintah pada tahun 2014-2015, negara-negara tetangga semakin melirik Indonesia di kawasan. Terlebih setelah itu perundingan-perundingan batas maritim gencar dilakukan dengan negara tetangga dan konsep Indo-Pasifik Indonesia juga diterima oleh ASEAN.
Konsep kebijakan Indonesia dalam poros maritim dunia adalah bahwa laut merupakan faktor yang menyatukan kawasan, bukan malah memisahkan. Untuk itulah, sumber-sumber konflik di laut, seperti penangkapan ikan ilegal, perompakan, pembajakan, penyelundupan narkotika, atau perdagangan manusia, perlu dihilangkan.
Di lingkup dalam negeri, kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang tegas terhadap pencuri ikan dari negara lain merupakan salah satu kebijakan yang mempertegas komitmen politik soal poros maritim. ”Kebijakan ini memengaruhi psikologis negara-negara tetangga,” ujar Ben.
Ke depan, Indonesia perlu melakukan diplomasi maritim untuk menyinergikan visi poros maritim dengan berbagai skema regional berbasis maritim lainnya yang sedang berkembang di kawasan saat ini. Dalam konteks inilah persoalan batas-batas maritim dan konektivitas menjadi pekerjaan yang harus terus diselesaikan.
”Interkoneksi kita di ASEAN masih lemah. Sementara ekonomi juga belum berkembang merata. Konsep kemaritiman kita, kan, sebenarnya ujung-ujungnya untuk kesejahteraan sehingga tol laut yang masih belum optimal sebaiknya tetap digarap dengan lebih fokus,” kata Ben.
Ia menambahkan, persoalan kemaritiman sangat kompleks. Urusan ini memerlukan koordinasi lintas sektor yang kuat. Kehadiran Kementerian Koordinator Kemaritiman ternyata belum mampu menjembatani persoalan laten koordinasi antarsektor yang sulit. Ego sektoral masih saja lebih menonjol.
Persoalan kemaritiman sangat kompleks. Urusan ini memerlukan koordinasi lintas sektor yang kuat.
Sementara itu, Anshori mengatakan bahwa kebijakan kemaritiman yang kuat merupakan faktor yang penting mengingat laut merupakan aspek yang vital, baik dari sisi geopolitik, geostrategi, maupun geoekonomi. Pergerakan barang dan jasa juga sumber daya manusia terjadi di laut selain ada banyak juga ancaman yang terjadi di laut. Misalnya, 90.000 kapal melintas di Selat Malaka setiap tahun. Begitu juga 15 juta barel minyak dibawa tanker setiap tahun di selat ini.
Meski dari sisi kekuatan maritim Indonesia memiliki angkatan laut, kepolisian, patroli Kelautan dan Perikanan, Bea dan Cukai, juga Badan Keamanan Laut, sarana dan fasilitas untuk mengawasi laut di Indonesia yang sangat luas belum cukup. Contohnya, alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI AL belum mencapai kekuatan yang ideal. Saat ini, masih menuju kekuatan esensial.
Anshori menambahkan, kebijakan kemaritiman yang kuat memerlukan paradigma maritim yang juga kuat. Dari sisi pertahanan, selama ini, pendekatan komando teritorial begitu kuat. Sementara kebijakan kemaritiman yang kuat menuntut pemerintah untuk memperhatikan dan menjadikan kondisi geografis Indonesia yang didominasi oleh lautan sebagai pertimbangan.
Pembentukan Komando Armada III di Sorong pada tahun 2018 merupakan salah satu upaya untuk mempertegas kebijakan kemaritiman Indonesia yang kian kuat.