Seperti topan Hagibis, topan Kanogawa juga mendarat di sekitar Tokyo. Namun, jumlah korban saat itu mencapai 888 meninggal dunia dan 381 orang hilang. Japan Meteorological Agency (JMA) menyebutkan, dari jalur dan kekuatannya, Hagibis dan Kanogawa memiliki kemiripan.
Laporan NHK pada Minggu siang menyebutkan, topan Hagibis memicu rekor jumlah curah hujan di banyak daerah, menyebabkan lebih dari selusin sungai meluap. Beberapa daerah menerima 30 hingga 40 persen dari curah hujan rata-rata tahunan hanya dalam beberapa hari.
Pejabat Kementerian Pertanahan Jepang telah mengonfirmasi runtuhnya 10 tanggul di sembilan sungai karena hujan sangat lebat. Mereka mengatakan kerusakan masih mungkin berlanjut dan masyarakat masih diminta waspada. Topan ini juga menyebabkan lebih dari 100.000 rumah tangga di wilayah Tokyo dan daerah-daerah yang berdekatan tidak teraliri listrik.
”Saya menyampaikan belasungkawa kepada semua orang yang kehilangan nyawa dan memberikan simpati kepada mereka yang terkena dampak topan (Hagibis),” kata Perdana Menteri Shinzo Abe dalam pertemuan tingkat menteri, di Kantor Perdana Menteri pada hari Minggu.
Tergantung mitigasi
Sekalipun jumlah korban di Jepang masih bisa bertambah, dipastikan jauh lebih kecil dibandingkan topan berskala lima yang lain, seperti Haiyan yang menewaskan 6.300 orang di Filipina pada 2013 dan topan Sandy yang menewaskan 285 orang di New Jersey, Amerika Serikat, pada 2012.
Memang, jika dibandingkan Haiyan, topan Hagibis lebih kecil. Hagibis berkecepatan 240 kilometer per jam, sedangkan Haiyan yang diketahui sebagai topan terkuat yang tercatat dalam sejarah memiliki kecepatan angin hingga 315 km per jam saat mencapai daratan. Hagibis lebih setara dengan Sandy.
Minimnya korban jiwa di Jepang karena Hagibis ini menunjukkan, sekalipun topan merupakan fenomena alam, besar atau kecilnya dampak bencana tergantung pada mitigasi yang dilakukan. ”Pemerintah dan masyarakat di Jepang terus belajar dari kejadian-kejadian bencana sebelumnya, terutama dari topan Kanogawa. Sejak sebelum kedatangan Hagibis, kami bersiaga,” kata Bambang Rudyanto, warga Indonesia yang telah 31 tahun tinggal di Jepang, dihubungi pada Minggu sore.
Pemerintah dan masyarakat di Jepang terus belajar dari kejadian-kejadian bencana sebelumnya, terutama dari topan Kanogawa. Sejak sebelum kedatangan Hagibis, kami bersiaga.
Bambang, yang merupakan guru besar di sebuah perguruan tinggi swasta di Tokyo, mengatakan, peringatan akan datangnya Hagibis telah disampaikan Pemerintah Jepang berulang-ulang, melalui berbagai media, utamanya televisi, telepon genggam, hingga pengumuman langsung melalui pengeras suara di tingkat kampung.
”Sejak Jumat (10/10) saat masih di kampus, ada pengumuman melalui pengeras suara agar pulang cepat karena ada kemungkinan hujan turun lebat,” kata Bambang.
Tak hanya memperingatkan skala ancaman, warga juga diinformasikan tentang apa yang harus dilakukan, mulai dari mengecek kekuatan dan lokasi tempat tinggal, menyiapkan bahan makanan, hingga mengisi penuh baterai telepon. ”Kalau di lingkungan saya di Kawasaki diumumkan, bagi warga yang tidak yakin dengan keamanan tempat tinggalnya, sudah disediakan tempat pengungsian, yaitu di gedung sekolah di dekat rumah,” tuturnya.
Keputusan untuk evakuasi diserahkan ke warga, kecuali di daerah Chiba, yang dianggap paling rentan dan kebanyakan penduduknya orang-orang lanjut usia, pemerintah menyediakan jemputan untuk evakuasi.
Di Jepang, lazimnya bangunan sekolah dan bangunan pemerintah didesain sebagai tempat evakuasi jika terjadi bencana. Di tempat-tempat tersebut, selalu tersedia beragam kebutuhan darurat, termasuk bahan makanan, selimut, dan obat-obatan.
Bahkan, di lingkungan setingkat rukun tetangga biasanya juga ada logistik komunal untuk mengantisipasi kondisi darurat yang disimpan di gudang kecil di sekitar taman. Bahan makanan ini biasanya berupa beras dengan lauk instan yang bisa dimakan hanya dengan diseduh air, hingga roti-roti kering yang memiliki batas kedaluwarsa hingga lima tahun.
”Warga biasanya iuran untuk membeli logistik bersama dan sekitar 70 persennya disubsidi pemerintah. Logistik ini tidak pernah kosong. Biasanya, enam bulan menjelang kedaluwarsanya habis, akan dibagi-bagi gratis ke warga dan kami membuat pengadaan baru,” katanya.
Sekalipun sudah ada logistik komunal, warga juga menyiapkan cadangan makanan tambahan untuk mengantisipasi darurat. ”Sejak Jumat sore, roti-roti di toko-toko sudah habis diborong,” ujarnya.
Pada Sabtu (11/10) pagi, sebelum kedatangan topan yang diperkirakan akan datang di Tokyo pada siang harinya, Pemerintah Jepang melalui Japan Meteorological Agency (JMA) terus memperbarui informasi tiap 3 jam sekali. Selain itu juga diumumkan bahwa Perdana Menteri Jepang dan seluruh lembaga penanggulangan bencana telah bersiaga.
Informasi ini disiarkan secara menerus di stasiun televisi publik NHK dan beberapa televisi swasta, selain juga di telepon genggam, sehingga warga bisa mengetahui dengan pasti perkembangan bencana. Tak hanya untuk warga lokal, Pemerintah Jepang juga menyerukan kepada warga negara asing di negara itu untuk waspada sepenuhnya melalui akun Twitter kementerian dan lembaga serta aplikasi telepon pintar yang mengirimkan informasi bencana dalam 11 bahasa.
Kepastian informasi dari pemerintah ini memberi kepastian dan rasa tenang kepada warga serta tak membuka celah beredarnya kabar bohong atau hoaks seperti banyak beredar di Indonesia saat terjadi bencana. Diperkirakan 800.000 warga mengungsi dan, seperti kejadian sebelumnya di Jepang, tak ada keributan, apalagi penjarahan, selama gelombang pengungsian karena bencana.
Kekuatan warga Jepang menghadapi bencana, termasuk topan kali ini, adalah ketatnya pengawasan tata ruang dan kualitas bangunan, selain juga asuransi bencana. ”Peraturan di Jepang, kalau bangunan kami rusak akibat bencana dan menimpa rumah tetangga, kami harus membayar ganti ruginya. Itu sebabnya, sekalipun tidak wajib, rata-rata setiap bangunan dan rumah di Jepang diasuransikan untuk bencana topan dan gempa bumi,” tuturnya.
Segenap persiapan Jepang ini terbayar dengan kecilnya jumlah korban akibat topan raksasa Hagibis. Bertepatan dengan Hari Pengurangan Risiko Bencana Internasional, yang dicanangkan tiap 13 Oktober 2019, Jepang telah memberi contoh tentang pentingnya berinvestasi dalam mitigasi bencana.