Komunikasi Intensif Pemerintah dan Ulama Bangun Kesepahaman Mencegah Terorisme
Ulama tersebut kemudian bisa menyampaikan pandangannya ke publik, baik secara tatap muka maupun melalui akun media sosial mereka.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam seminggu terakhir, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap 40 anggota kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah atau JAD.
Komunikasi intensif antara pemerintah dan para ulama menjadi kunci penting untuk membangun kesepahaman bahwa terorisme merupakan ancaman nyata bagi bangsa.
Pengamat terorisme Universitas Indonesia, Ridwan Habib, yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (17/10/2019), menjelaskan, anggota JAD identik dengan individu-individu militan yang bisa beraksi tanpa komando. Mereka hanya butuh bersimpati terhadap perjuangan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
”Sering kali proses pengambilan sumpah terhadap pemimpinnya hanya melalui komunikasi dalam jaringan (online),” kata Ridwan.
Aksi nirkomando ini, menurut dia, sulit terdeteksi. Ditambah lagi, JAD bergerak aktif tatkala perhatian kepolisian sedang terpecah, misalnya, memanfaatkan gelombang unjuk rasa memprotes pengesahan rancangan undang-undang ke Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, masih ada ulama yang percaya bahwa terorisme di Indonesia merupakan hasil rekayasa. Menurut Ridwan, pemerintah harus membangun komunikasi dengan ulama tersebut dengan mengajaknya ke penjara terpidana terorisme sampai mengundang mereka mengikuti sidang-sidang pelaku aksi teror di pengadilan.
Ulama tersebut kemudian bisa menyampaikan pandangannya ke publik, baik secara tatap muka maupun melalui akun media sosial mereka. Pendapat ulama tersebut dalam menjaga umat agar tidak terlibat atau malah melakukan aksi teror cenderung lebih diterima oleh simpatisan kelompok teroris NIIS atau rekrutan JAD.
”Ibaratnya, mereka yang terpapar paham radikal itu sedang sakit. Jangan sampai kita salah obat. Di sisi lain, betapa pun gencarnya penangkapan, Polri tak akan bisa membendung paham radikal,” katanya.
Penangkapan terduga teroris
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo menyatakan, anggota Densus 88 Antiteror Polri kembali menangkap empat anggota JAD di wilayah Jawa Barat, Kamis. Di Bandung, polisi menangkap OA, anggota JAD Cirebon. OA sudah merakit bom untuk menyerang kantor polisi dan aparat yang bertugas di lapangan.
Selain itu, polisi juga membekuk W dan A di Cirebon. Polisi mengamankan alat komunikasi dan senjata tajam. Terakhir, ada A alias Gondrong yang ditangkap di Bekasi, Jawa Barat. A merupakan anak buah Abu Zee, tersangka yang sudah ditangkap sebelumnya.
Sebelumnya, polri sudah menangkap 36 teroris dari sejumlah wilayah. Rerata teroris yang ditangkap lebih banyak menggunakan media sosial sebagai sarana komunikasi. Di media sosial pula mereka menentukan target aksi, dalam hal ini kantor polisi dan tempat ibadah.
Dari penangkapan ini, khususnya JAD Jawa Barat, Densus 88 menyinyalir ada pengembangan kualitas teror. Hal itu terindikasi dari eksperimen mereka untuk menghasilkan bom berdaya ledak besar nan mematikan (Kompas, 16/10/2019).
Penangkapan terduga teroris terbilang cukup gencar setelah penyerangan terhadap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto di Alun-alun Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten, Kamis (10/10/2019). Pelaku, Abu Rara dan istrinya, FA, menusuk Wiranto dengan senjata tajam.
Menurut Dedi, penangkapan teroris di beberapa daerah murni berdasarkan fakta hukum dan tak ada berhubungan dengan pengamanan pelantikan presiden dan wakil presiden pada MInggu (20/10/2019). Selain itu, penangkapan juga berdasarkan hasil pengembangan dari tersangka yang sudah ditangkap.
Di lokasi konferensi pers, polisi menghadirkan 6 terduga teroris, 5 laki-laki dan 1 perempuan. Mereka dikawal anggota Densus 88 berpakaian lengkap. Di hadapan media, digelar barang bukti, antara lain, beberapa pucuk airsoft gun. Dedi tidak merinci identitas tersangka tersebut.