Pemerintah Kota Pontianak, Kalimantan Barat, melaksanakan Festival Saprahan dalam rangka Hari Ulang Tahun Ke-248 Pontianak, Kamis (17/10/2019). Kegiatan itu diharapkan bisa menjaga nilai-nilai luhur budaya Pontianak.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Pemerintah Kota Pontianak, Kalimantan Barat, melaksanakan Festival Saprahan dalam rangka Hari Ulang Tahun Ke-248 Pontianak, Kamis (17/10/2019). Kegiatan itu diharapkan bisa menjaga nilai-nilai luhur yang terkandung dalam saprahan, antara lain kesetaraan dan kebersamaan.
Tradisi saprahan adalah tradisi makan bersama duduk di lantai. Nasi, sayur, dan lauk-pauk dihidangkan di lantai yang telah diberi alas kain terlebih dahulu. Masyarakat duduk melingkar menghadap ke hidangan yang telah disiapkan.
Ada 30 kelompok yang mengikuti Festival Saprahan, Kamis (17/10/2019), di Pontianak Convention Center. Setiap kelompok terdiri atas enam perempuan. Mereka menggunakan pakaian melayu, salah satunya kain tenun insang.
Panitia membagi tempat sesuai dengan jumlah kelompok. Makanan dihidangkan di tempat yang telah dibagi oleh panitia. Ada nasi, kemudian semur daging, dan pacri nanas, yakni potongan nanas yang dimasak pedas. Kemudian, sayur darcah, sayuran yang di dalamnya ada potongan kentang, kacang, dan daging diberi santan.
Setiap anggota perlahan berjalan menuju tempat masing-masing, kemudian duduk di samping hidangan. Saat juri festival datang, mereka membuka hidangan yang telah disiapkan tersebut dengan tata krama yang berlaku.
Hani (24), salah seorang peserta lomba saprahan dari Kecamatan Pontianak Selatan, Kamis (17/10/2019), menuturkan, ia baru pertama kali mengikuti kegiatan itu. Ia senang sekali karena bisa merasakan suasana saprahan. ”Apalagi, sudah tidak banyak lagi masyarakat yang makan saprahan di rumah,” ujarnya.
Sunira (27), peserta lainnya dari Kecamatan Pontianak Timur, menuturkan, ia dua kali mengikuti kegiatan ini. Baginya, dengan mengikuti kegiatan Festival Saprahan juga bisa belajar nilai-nilai luhur di dalamnya yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Setelah panitia selesai menilai, pengunjung Festival Saprahan makan bersama hidangan yang telah disiapkan. Semua duduk melingkar dan menikmati berbagai hidangan yang menggugah selera.
Budayawan Pontianak, Syafaruddin Usman, menuturkan, makna saprahan bermula dari tradisi makan bersama di lingkungan masyarakat Melayu Pontianak. Makna saprahan adalah simbol kebersamaan. ”Menikmati sesuatu pahit, manis, asam, dan asin sebagai dinamika kehidupan rumah tangga, baik rumah tangga dalam arti perorangan maupun masyarakat secara umum,” ujarnya.
Dalam pengertian yang luas dan umum, saprahan duduk saling berhadapan untuk mengenalkan bahwa segala sesuatu mengenal etika, estetika, dan cita rasa. Jadi, bukan melihat bahwa yang dinikmati karena menu dan kelengkapannya, tetapi simbol suka duka dan sakit ditanggung bersama.
”Kita memberikan makna hakiki bahwa hidup ini tidak bisa sendiri harus menjadi masyarakat komunal dan majemuk,” paparnya.
Mengapa duduk di bawah, masyarakat tidak mengenal kasta dan perbedaan. Bahkan, orang yang tidak seakidah dan seagama jika duduk bersama itu tetap melambangkan bahwa kebersamaan selalu diutamakan.
Kita memberikan makna hakiki bahwa hidup ini tidak bisa sendiri, harus menjadi masyarakat komunal dan majemuk.
Menu sayuran pacri nanas melambangkan asamnya kehidupan. Ada sayur darcah, melambangkan dinamika dalam kehidupan. Semur daging ada kenyal, lemak, dan manis, itu melambangkan lemak manis kehidupan.
Di tengah-tengah hidangan juga ada yang disebut air serbat, warnanya menyerupai teh dari seduhan kayu sepang. Membuat air serbat tidak harus menggunakan gula. ”Ketika sesuatu yang pahit dilarutkan dengan air dan menjadi manis, pertanda tidak selamanya pahit akan menjadi pahit,” ungkap Syafaruddin.
Ketua Tim Penggerak PKK Kota Pontianak Yanieta Arbiastutie menuturkan, dalam lomba saprahan ini juga menggunakan menu ikan untuk mendukung program pemerintah mengatasi stunting. Sebab, ikan kaya protein dan gizi serta terjangkau. PKK mendukung program masyarakat gemar makan ikan.
Ketua Panitia Festival Saprahan, Nurhasanah Bahasan, menuturkan, kegiatan lomba saprahan ini sebagai upaya melestarikan budaya Pontianak. Dalam budaya ini menekankan pentingnya kebersamaan dan persaudaraan.
Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono mengatakan, kegiatan ini bagian dari rangkaian Hari Ulang Tahun Ke-248 Kota Pontianak. Saprahan merupakan warisan budaya yang terdaftar sebagai cagar budaya tak benda. Budaya ini akan terus dilestarikan untuk menjadikan Pontianak juga sebagai kota budaya.
Selain itu, memberikan edukasi untuk terus mempertahankan budaya. Saprahan biasanya saat upacara kehormatan, misalnya pernikahan. Dalam saprahan makan duduk bersila menjadikan silaturahmi semakin kuat. Saat ini juga banyak rumah makan yang menyajikan makanan dengan model saprahan.
Wakil Gubernur Kalbar Ria Norsan menuturkan, semasa kecil ia sering merasakan kehangatan makan saprahan bersama keluarga. Anggota keluarga duduk bersama bersilaturahmi. Makan saprahan juga bermakna, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi merupakan budaya nenek moyang yang hendaknya terus dilestarikan.