Polri Tetap Larang Demonstrasi meski Presiden Jokowi Mengizinkan
Meski Presiden Joko Widodo membolehkan, Polri tetap tidak akan menerbitkan surat tanda terima pemberitahuan atau STTP yang menjadi izin bagi masyarakat yang ingin melakukan demonstrasi saat pelantikan presiden.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Negara Republik Indonesia tetap tidak akan menerbitkan surat tanda terima pemberitahuan atau STTP unjuk rasa jika ada masyarakat yang ingin melakukan demonstrasi saat menjelang ataupun ketika hari pelantikan presiden-wakil presiden. Padahal, Presiden Joko Widodo telah memperbolehkan adanya aksi demonstrasi.
Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengatakan, Polri akan melakukan diskresi dengan cara tidak menerbitkan STTP unjuk rasa. Padahal, masyarakat yang ingin berunjuk rasa harus mendapat STTP terlebih dahulu agar bisa menjalankan aksi demonstrasi.
”Kami menggunakan diskresi dan langkah preventif. Selain itu, kami tidak akan menerbitkan STTP jika ada laporan dari intelijen bahwa aksi demonstrasi akan berakhir secara anarkistis,” kata Tito seusai apel kesiapan pengamanan pelantikan presiden-wakil presiden di kawasan Monas, Jakarta, Kamis (17/10/2019).
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah memperbolehkan masyarakat melakukan demonstrasi, baik saat menjelang maupun pada hari pelantikan. Menurut dia, demonstrasi adalah hak setiap rakyat yang dijamin konstitusi.
”Namanya demonstrasi itu dijamin konstitusi,” ujar Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu.
Tito mengatakan, Polri tidak ingin kecolongan sehingga mengambil sikap diskresi dan tidak akan menerbitkan STTP unjuk rasa. Menurut dia, dalam beberapa waktu terakhir, hampir setiap aksi demonstrasi berakhir ricuh pada malam harinya.
”Selain itu, saat pelantikan, akan ada sejumlah tamu negara yang hadir. Acara pelantikan ini juga merupakan momentum internasional sehingga seluruh media dan mata internasional akan melihat. Kami tidak ingin menanggung risiko bangsa kita dicap buruk,” katanya.
Selain itu, Tito mengatakan, akan ada sanksi bagi peserta aksi demonstrasi yang tidak ingin dibubarkan oleh aparat kepolisian. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
”Dalam Pasal 15, polisi berhak membubarkan demonstrasi jika tidak sesuai dengan aturan yang ada di Pasal 6,” katanya.
Kita bisa lihat bagaimana para aparat kepolisian menindak dan menangkap mahasiswa ketika aksi demonstrasi pada 24 September dan 30 September lalu.
Berdasarkan aturan dalam Pasal 6 UU No 9/1998, demonstrasi tidak boleh mengganggu ketertiban umum, tidak boleh mengganggu hak asasi orang lain, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, harus sesuai dengan etika dan moral, serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Sementara itu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, ada 30.000 personel gabungan TNI-Polri yang akan menjaga proses pelantikan presiden-wakil presiden yang berlangsung pada Minggu, 20 Oktober 2019, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Sejumlah obyek vital, seperti PLN Gandul, pusat perbelanjaan Glodok, Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Halim Perdana Kusuma, dan depo logistik Pertamina, akan dijaga ketat personel gabungan.
”Selain itu, obyek yang diamankan pasukan TNI-Polri adalah Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarga, tamu negara dan tamu asing, serta utusan khusus. Mereka akan dikawal mulai dari kedatangan ke gedung parlemen hingga kembali ke hotel atau wisma masing-masing,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menyayangkan langkah diskresi yang dilakukan aparat kepolisian. Hal itu bertentangan dengan Pasal 28 E Ayat (2) UUD 1945 tentang kebebasan berpendapat.
”Jaminan menyampaikan pendapat merupakan elemen penting dalam negara demokrasi. Seharusnya negara bisa menjamin keamanan warganya yang ingin menyampaikan kritik terhadap pemerintah melalui aksi unjuk rasa,” katanya.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar khawatir polisi akan kembali bertindak represif untuk menindak peserta demonstrasi. Menurut dia, tanda-tanda itu sudah muncul sejak demonstrasi beberapa waktu lalu.
”Kita bisa lihat bagaimana aparat kepolisian menindak dan menangkap mahasiswa ketika aksi demonstrasi pada 24 September dan 30 September lalu,” katanya.
Dalam unjuk rasa beberapa pekan lalu, ada lima orang yang tewas, yakni dua mahasiswa Universitas Halu Oleo di Kendari (Sultra), Randy dan Yusuf. Sementara di Jakarta ada tiga orang tewas, yaitu seorang pemuda, Akbar Alamsyah (19); siswa SMA, Bagus Putra Mahendra (15); dan juru parkir, Maulana Suryadi (23).
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengimbau agar polisi tidak bersifat represif ketika menangani aksi demonstrasi saat pelantikan presiden-wakil presiden. Menurut dia, seharusnya polisi memperbolehkan masyarakat melakukan aksi unjuk rasa.
”Aparat keamanan harus bisa menahan diri untuk menggunakan kekuatan yang berlebihan dan tidak perlu mengintimidasi para demonstran,” ucapnya.
Sementara itu, Kamis (17/10), perwakilan BEM Seluruh Indonesia akan mengadakan demonstrasi untuk mendesak Jokowi mengeluarkan Perppu KPK. Menurut rencana, demo akan dilakukan di depan Istana Merdeka, Jakarta.