Keceriaan anak-anak muda berinovasi di usaha rintisan mulai terpolusi. Kini, mereka mulai dekat dengan lobi-lobi dan berada di pusaran politik. Perusahaan media mulai terseret dan ikut di dalamnya.
Oleh
Andreas Maryoto
·3 menit baca
Keceriaan anak-anak muda berinovasi di usaha rintisan mulai terpolusi. Kini, mereka mulai dekat dengan lobi-lobi dan berada di pusaran politik. Perusahaan media mulai terseret dan ikut di dalamnya. Kedekatan politik dan fisik dengan figur-figur politik menjadi faktor yang perlu diperhitungkan untuk membesarkan dan memperkokoh bisnis mereka di tengah kompetisi yang tidak sehat. Pada akhirnya, cara-cara bisnis lama terulang, yakni mencari gantungan politik.
Kisah ini terjadi di Amerika Serikat. Usaha rintisan berbasis teknologi medis yang kontroversial dan tengah menghadapi berbagai tuntutan hukum, Theranos, pada awalnya muncul dengan ide yang brilian. Di tengah perjalanan, mereka menghadapi masalah, yaitu teknologi yang ditawarkan tak berjalan. Dalam laporan jurnalisme investigatif, kisah ini diterbitkan dalam buku berjudul Bad Blood: Secrets and Lies in a Silicon Valley Startup oleh John Carreyrou. Diceritakan, telanjur diminati banyak investor, mereka bukannya membuka ke publik masalah yang dihadapi. Namun, malah menutupi dan berbohong dengan berbagai hasil tes medis.
Di tengah keruwetan, mereka mulai menjalin komunikasi dengan para politisi dan pejabat pemerintahan. Beberapa mantan pejabat, baik sipil maupun militer, seperti James Mattis, George Shultz, dan Henry Kissinger, pun masuk dalam jajaran dewan direksi. Koneksi dengan para pejabat di pemerintahan saat itu membuat mereka merasa aman-aman saja. Salah satu sumber menuturkan, aturan-aturan bisa terlewati karena mereka punya koneksi politik.
CEO Theranos Elizabeth Holmes sering terlihat di dalam acara-acara penting pemerintahan. Bahkan, Wakil Presiden Joe Bidden diundang untuk mendatangi salah satu fasilitas mereka di Newark dan menyebut sebagai ”laboratorium masa depan”. Kasus ini mulai terbongkar saat teknologi yang dijanjikan—berbagai deteksi penyakit seharusnya bisa dilakukan dengan tes darah melalui alat yang ditawarkan Theranos—tidak bekerja.
Bahkan, hasil tes berbeda dengan cara konvensional sehingga membahayakan pasien. Sebab, tes yang salah akan memunculkan tindakan medis yang keliru. Namun, media masih saja mengagung-agungkan nama Elizabeth. Rupert Murdoch, pemilik saham The Wall Street Journal, media yang mengungkap kasus ini, juga sempat berinvestasi di Theranos.
Sebenarnya, tak hanya Theranos, kini banyak perusahaan teknologi yang sudah mapan, seperti Google, Amazon, dan Facebook di AS, juga meningkatkan jumlah juru lobi karena tekanan politik makin kuat terhadap mereka. Mereka juga menjalin komunikasi dengan pejabat-pejabat pemerintah untuk memastikan bisnis aman. Beberapa mantan pejabat direkrut sebagai juru lobi.
Bukankah fenomena seperti ini juga terjadi di Indonesia? Mengajak mantan pejabat untuk duduk dalam usaha rintisan sudah dilakukan sejak lama. Komunikasi juga sudah sering dilakukan dengan beberapa pejabat pemerintah untuk mendapat dukungan. Kadang kala, gosip menyebar ketika usaha rintisan tertentu dekat dengan salah satu petinggi. Perusahaan media mulai dalam jangkauan mereka untuk memperbesar pengaruh mereka atau mengecilkan kompetitor. Peluang jabatan menteri diperkirakan bakal menjadi opsi yang tak bakal dilewatkan begitu saja. Setidaknya, dipertimbangkan untuk diambil sebagai bagian dari pusaran politik untuk memperkokoh usaha rintisan.
Meski demikian, situasi di Indonesia berbeda dengan di AS. Di AS, lobi dan kedekatan lebih banyak digunakan untuk mengantisipasi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada mereka. Tanda-tanda itu sudah muncul ketika beberapa aturan mulai memperketat gerak-gerik mereka, seperti aturan pajak dan kompetisi.
Di Indonesia, pengaruh dan kedekatan politik bermuara pada persaingan yang tidak sehat antarusaha rintisan. Masalah makin besar karena investor ikut-ikutan dalam pusaran politik. Kita jadi penasaran, dari mana mereka belajar semua ini? Usaha rintisan yang semula dipuja karena berbagai inovasi kini masuk dalam pusaran politik karena membutuhkan tempat bergantung. (ANDREAS MARYOTO)