Batam yang Abai Menjaga Sumber Air Bersih
Dalam diam, jauh dari perhatian publik, Waduk Baloi di Batam, Kepulauan Riau, tak lagi berfungsi menampung air sejak 2012. Satu dari enam waduk penyedia air baku itu dibiarkan mati karena pemerintah abai.
Dalam diam, jauh dari perhatian publik, Waduk Baloi di Batam, Kepulauan Riau, tak lagi berfungsi menampung air sejak 2012. Satu dari enam waduk penyedia air baku itu dibiarkan mati karena pemerintah abai.
Keberadaan waduk di Pulau Batam sangat penting karena pulau itu tidak memiliki sungai sebagai sumber air baku. Kota itu mengandalkan enam waduk penampung hujan. Selain bergantung pada curah hujan, ketersediaan air di waduk-waduk tersebut ditentukan juga oleh kelestarian hutan lindung di daerah tangkapan air.
Namun, kini alih fungsi lahan di daerah tangkapan air semakin merajalela. Hutan lindung berganti wajah menjadi rumah liar, lahan pertanian, dan pertambangan. Akibatnya, cadangan air baku di sejumlah waduk terus menurun.
Hal ini diperparah juga dengan menurunnya curah hujan di lokasi waduk. Pada 2009, rata-rata curah hujan di lima waduk yang tersisa adalah 2.240 milimeter per tahun. Sementara pada 2019, rata-rata curah hujan menjadi hanya 1.660 milimeter per tahun, turun sebanyak 24 persen.
Bagi orang di Pulau Batam yang tidak memiliki sumber alami air baku, setetes air pun berarti sangat besar
Waduk Baloi adalah korban pertama alih fungsi daerah tangkapan air. Setelah berhenti beroperasi tujuh tahun lalu, kini kondisinya serupa dengan tangki septik raksasa. Limbah rumah tangga permukiman liar mengalir ke waduk. Hutan di sekitarnya juga lenyap karena bukitnya dipotong untuk diambil tanahnya.
Kerusakan Waduk Baloi bermula pada 2001 saat Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam sepakat menjadikan kawasan hutan lindung Baloi seluas 119 hektar sebagai kawasan jasa. Pertimbangannya, tingkat produktivitas waduk itu sebesar 30 liter per detik disebut tidak efisien (Kompas, 7/7/2008).
Penghentian operasi Waduk Baloi pada 2012 merupakan pukulan telak bagi PT Adhya Tirta Batam (ATB) yang diberi kewenangan mengelola semua waduk di Batam sejak 1995. Saat itu, Waduk Baloi berfungsi menyuplai kebutuhan air baku bagi warga di pusat perekonomian Batam, yaitu daerah Nagoya, Pelita, dan Jodoh.
”Bagi orang di Pulau Batam yang tidak memiliki sumber alami air baku, setetes air pun berarti sangat besar,” kata Presiden Direktur PT ATB Benny Andrianto, Kamis (10/10/2019).
Penelitian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 2006 atau lima tahun setelah kawasan lindung Baloi ditetapkan menjadi kawasan jasa menunjukkan, konsentrasi kromium, kadmium, dan timbal di Waduk Baloi melebihi ambang batas maksimum yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran air.
Menurut Benny, PT ATB mampu mengolah air sekotor apa pun menjadi air baku yang aman dikonsumsi, kecuali jika telah tercemar logam berat. Biaya yang harus dikeluarkan untuk memurnikan air dari logam berat dinilai terlalu tinggi.
Mendahului zaman
Dam Baloi dan dua waduk lainnya dibangun pada 1978 atau lima tahun setelah Otorita Batam dibentuk. Setahun kemudian, Waduk Baloi dengan kapasitas 30 liter per detik, Nongsa (60 liter per detik), dan Sei Harapan (210 liter per detik) mulai beroperasi. Total kapasitas produksi tiga waduk itu mencapai sekitar 300 liter per detik.
Jadi pada 1990-an, pemerintah sudah menyiapkan waduk untuk memenuhi kebutuhan air baku sekitar 1,5 juta jiwa
Dengan hitungan 1 liter per detik untuk 100 keluarga. Maka, kapasitas ketiga waduk itu berarti mampu mencukupi kebutuhan air sekitar 30.000 keluarga atau 120.000 jiwa. Hal ini jauh melebihi kebutuhan air di Batam yang pada awal 1970-an penduduknya hanya berjumlah sekitar 6.000 jiwa.
Selanjutnya, pada kurun 1985 hingga 1990, Otorita Batam membangun lagi tiga waduk tambahan, yaitu Sei Ladi (240 liter per detik), Mukakuning (310 liter per detik), dan Duriangkang (3.000 liter per detik). Dengan tambahan tiga waduk itu, total kapasitas produksi enam waduk di Batam mencapai 4.150 liter per detik.
”Jadi pada 1990-an, pemerintah sudah menyiapkan waduk untuk memenuhi kebutuhan air baku sekitar 1,5 juta jiwa,” kata Benny.
Total kapasitas enam waduk itu 10 kali lipat melebihi kebutuhan zamannya mengingat pada 1990 penduduk Batam baru berjumlah 105.820 jiwa. Saat itu, pemerintah merancang sejumlah waduk tersebut untuk memenuhi kebutuhan warga setidaknya hingga 10 tahun setelah rampung dibangun.
Sayangnya, langkah pemerintah yang visioner dalam memenuhi kebutuhan air tersebut tidak berlanjut. Hingga saat ini belum ada lagi waduk tambahan. Waduk Tembesi (600 liter per detik) masih dalam proses lelang, sedangkan Waduk Sei Gong (400 liter per detik) pembangunannya belum rampung.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Batam pada 2016 sebanyak 1,2 juta jiwa. Adapun kebutuhan airnya diperkirakan 4.000 liter per detik. Jumlah itu belum menghitung kebutuhan air dari sejumlah kawasan industri.
Pada kenyataannya, kerusakan di daerah tangkapan air membuat kapasitas produksi lima waduk yang tersisa turun dari 3.820 liter per detik menjadi maksimal 3.500 liter per detik. Dengan pertumbuhan penduduk sebesar 7,4 persen per tahun, idealnya kapasitas waduk ditingkatkan menjadi 6.000 liter per detik.
Komitmen rendah
Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau, Uba Ingan Sigalingging, mengatakan, komitmen pemerintah untuk merawat sumber air baku sangat rendah. Inkonsistensi kebijakan pengelolaan hutan lindung di Batam akhirnya berdampak pada kerusakan daerah tangkapan air sejumlah waduk.
Mantan Ketua LSM Gebrak yang telah lebih dari 10 tahun mendampingi warga rumah liar di Baloi Kolam itu menyatakan, pada 2018, Otorita Batam (kini Badan Pengusahaan) Batam pernah berupaya menggusur warga Baloi. Alih-alih mengembalikan fungsi hutan lindung, BP Batam malah berencana menjadikan lokasi itu sebagai pusat perkantoran.
”Warga jelas tidak mau pindah karena penggusuran dilakukan bukan untuk mengembalikan hutan lindung, melainkan memberikan lahan itu kepada pengusaha,” kata Uba.
Sebanyak 3.500 keluarga ramai-ramai menolak kebijakan tersebut. Pemerintah akhirnya urung merealisasikan rencana itu karena gelombang penolakan warga sangat besar.
Waduk itu sekarang penuh eceng gondok, artinya sudah banyak limbah organik yang mengalir ke sana
Benny juga merasa kecewa terhadap pemerintah yang terkesan tidak mampu mencegah kerusakan daerah tangkapan air di sejumlah waduk. Bahkan, Waduk Duriangkang, yang merupakan dam terbesar saat ini, kapasitas produksinya juga melorot akibat alih fungsi hutan lindung.
”Waduk itu sekarang penuh eceng gondok, artinya sudah banyak limbah organik yang mengalir ke sana,” kata Benny.
Duriangkang menyuplai 70 persen kebutuhan air baku di Batam. Namun, daerah tangkapan airnya sekarang dipenuhi rumah liar dan sebagian berubah jadi lahan pertanian. Yang paling dikhawatirkan, pestisida yang digunakan warga untuk mencegah gulma tanaman pada akhirnya akan mencemari waduk.
Janji pemerintah
Keluhan soal ketersediaan air baku di Batam yang menipis juga mengemuka dalam dialog antara Wali Kota Batam Muhammad Rudi dan perwakilan pengusaha, Kamis (3/10). Harapan bangkit dari krisis air saat ini ada di pundak Rudi yang baru saja menduduki jabatan sebagai Ex-officio Kepala BP Batam.
”Jalan terus dibangun, tetapi air enggak ada. Itu kan enggak lucu,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Wilayah Kepri Cahya saat pertemuan itu.
Selain masalah ketersediaan air baku, perwakilan sejumlah asosiasi pengusaha juga mendesak Rudi segera mengatasi persoalan rumah hunian liar. Kedua hal ini dianggap para pengusaha sebagai penyakit kronis yang menghalangi laju investasi di Kota Batam.
Menanggapi hal itu Rudi mengatakan, untuk mengatasi rumah hunian liar yang menjamur di Balai Kolam, pemerintah perlu mengganti strategi dari sebelumnya mengandalkan kapling siap bangun (KSB) sebagai lokasi relokasi. Hunian vertikal dinilai lebih cocok diterapkan di kota dengan lahan terbatas seperti Batam.
”Soal rumah liar solusinya bukan lagi KSB, karena itu justru akan menghabiskan lahan. Nanti kita bangun rumah susun sebagai tempat relokasi,” katanya.
Meskipun bisa diolah menjadi air baku, air laut tetap tidak baik untuk dikonsumsi manusia karena tidak ada kandungan mineralnya.
Sementara itu, Benny menyarankan, pemerintah bisa menerbitkan peraturan yang mewajibkan industri mulai menggunakan air baku hasil desalinasi air laut ataupun daur ulang air sanitasi. Hal ini dinilai akan cukup berdampak menghemat konsumsi air di Batam.
”Meskipun bisa diolah menjadi air baku, air laut tetap tidak baik untuk dikonsumsi manusia karena tidak ada kandungan mineralnya. Namun, untuk kebutuhan industri, air laut sangat bisa dimanfaatkan,” katanya.
Matinya Waduk Baloi adalah suatu peringatan. Dengan persediaan air saat ini yang diperkirakan hanya bertahan untuk dua tahun ke depan, sejatinya bencana kekeringan telah mengintai Batam. Jika hal itu diabaikan, bukan tak mungkin sebentar lagi warga harus bersiap hidup dalam kehausan yang panjang.