Pihak-pihak terkait menyerukan penggunaan energi bersih untuk perindustrian. Langkah ini diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat ketimbang penggunaan energi yang tak ramah lingkungan.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan energi bersih untuk perindustrian dan aktivitas sehari-hari diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat ketimbang penggunaan energi yang tak ramah lingkungan. Pemerhati lingkungan serta pihak terkait lain mendorong pemerintah, pelaku usaha, dan warga beralih menggunakan energi bersih dalam melakukan aktivitas ekonomi.
Laporan Low Carbon Development Indonesia (LCDI) yang dirilis Bappenas menyebutkan, pertumbuhan ekonomi dapat dicapai lebih tinggi apabila Indonesia mengupayakan penggunaan energi dengan emisi karbon yang rendah atau energi bersih.
Analisis Bappenas, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5 persen pada 2024 dan 4,3 persen pada 2045. Namun, apabila Indonesia sudah mengadopsi penggunaan energi bersih di perindustrian dan kehidupan sehari-hari atau sesuai dengan skenario LCDI High (dengan usaha maksimal), pertumbuhan ekonomi akan mencapai 5,6 persen pada 2024 dan 6 persen pada 2045. Bahkan, apabila Indonesia serius menerapkan energi bersih di seluruh lini kehidupan, pertumbuhan ekonomi bakal 0,25 persen lebih besar dari capaian LCDI High. Adapun yang dimaksud mengadopsi skenario LCDI High adalah penggunaan energi bersih di perindustrian, aktivitas ekonomi, dan kehidupan sehari-hari.
Apabila Indonesia sudah mengadopsi penggunaan energi bersih di perindustrian dan kehidupan sehari-hari atau sesuai skenario LCDI High, pertumbuhan ekonomi akan mencapai 5,6 persen pada 2024 dan 6 persen pada 2045.
Hal itu mengemuka dalam diskusi publik ”Peta Jalan NDC dan RPJMN 2020-2024” yang diselenggarakan Institute Essential Service Reform (IESR), Jakarta, Kamis (17/10/2019). Hadir sebagai pembicara dalam acara itu dari Staf Fungsional Perencana Direktorat Energi, Telekomunikasi, dan Informatika Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Mohammad Asrofi, periset energi IESR Deon Arinaldo, dan analis penelitian iklim World Resources Institute (WRI) Indonesia Cynthia Maharani.
Deon mengatakan, penggunaan energi bersih menghasilkan peningkatan efisiensi di dunia usaha. Mesin pabrik akan lebih jarang diperbaiki dan lebih awet masa operasional jika menggunakan bahan bakar energi bersih. Hal ini mengurangi ongkos perawatan, meningkatkan efisiensi, dan pada skala makro-ekonomi bisa lebih cepat mendorong pertumbuhan ekonomi.
”Energi bersih mendorong peningkatan efisiensi. Apabila semua ini dihitung, dalam jangka panjang, bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat,” ujar Deon.
Ia mengatakan, pemerintah harus mulai mengeluarkan aturan peralihan penggunaan energi fosil menjadi energi baru terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan. Hal ini agar pelaku usaha, khususnya pelaku industri, mulai beralih ke penggunaan energi yang bersih.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, penggunaan energi bersih bisa menjadi salah satu solusi bagi pemerintah untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. “Pak Jokowi selalu ingin mendorong pertumbuhan ekonomi. Penggunaan energi bersih memungkinkan laju pertumbuhan bisa lebih cepat ketimbang energi tidak ramah lingkungan,” ujar Fabby.
Penggunaan energi bersih bisa menjadi salah satu solusi bagi pemerintah untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.
Penggunaan energi bersih bisa meningkatkan efisiensi di berbagai segi aktivitas ekonomi. Hasil efisiensi itu bisa dialihkan untuk kegiatan ekonomi yang lebih produktif. Negara pun bisa lebih banyak menghemat devisa negara, karena energi bersih menurunkan subsidi negara terhadap energi fosil.
Selain itu, sektor energi baru dan terbarukan (EBT) bakal membutuhkan investasi yang besar. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada 2025 Indonesia menargetkan bauran EBT mencapai 23 persen. Adapun bauran EBT adalah bauran energi yang dihasilkan dari angin, air, matahari, dan lain-lain. Saat ini bauran energi baru sekitar 13 persen.
Menurut perhitungan IESR, untuk bisa mengejar target bauran energi pada 2025 yang sebesar 23 persen itu diperlukan investasi total sekitar 70 miliar – 80 miliar dollar AS. Artinya hingga kurang dari enam tahun ke depan, setiap tahunnya Indonesia memerlukan investasi sekitar Rp 197 triliun – Rp 224 triliun per tahun.
Investasi itu bisa berupa pengembangan dan pembangunan pembangkit listrik tenaga angin, air, matahari. Selain itu investasi juga bisa berupa peningkatan kapasitas mesin produksi dari sebelumnya berbahan bakar fosil menjadi tenaga energi terbarukan. Adapun investornya bisa berasal dari Eropa, Amerika Serikat, maupun perusahaan lokal dalam negeri.
“Salah satu faktor pertumbuhan ekonomi adalah besarnya investasi. Sektor ini membutuhkan investasi yang sangat besar. Jadi energi bersih dari energi baru terbarukan ini bukan hanya soal emisi gas buang dan lingkungan, tapi juga soal ekonomi,” ujar Fabby.
Gas rumah kaca
Selain bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat, penggunaan energi bersih juga perlu digalakkan karena Indonesia telah berkomitmen kepada dunia untuk turut serta berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca.
Berdasarkan peta jalan Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang dirilis Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia harus mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030. Selain itu, Indonesia harus turut menjaga agar penurunan suhu dunia tidak mencapai 1,5 derajat pada tahun itu.
Pada 2010, total emisi gas rumah kaca mencapai 1.334 MtCO2e. Angka tersebut diperoleh dari total emisi energi, limbah, pertanian, kehutanan, dan hasil penggunaan produksi industri.
Apabila Indonesia tidak mulai berupaya menekan emisi gas rumah kaca atau business as usual, pada 2030 total emisi gas rumah kaca Indonesia akan mencapai 2.869 MtC02e. Melalui peta jalan NDC, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca pada 2030 sebesar 29 persen dari 2010. Indonesia harus menekan penggunaan emisi gas rumah kaca sehingga mencapai 834 MtCO2e pada 2030.
Baik Deon maupun Cynthia menilai niat pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebenarnya sudah terlihat dengan keterlibatan Indonesia pada Paris Agreement. Namun, masih diperlukan upaya lebih besar dari Pemerintah Indonesia untuk menekan emisi gas buang.
”Persoalan menekan emisi gas buang ini bukan hanya di bawah satu kementerian, melainkan juga di berbagai kementerian. Harapannya semua kementerian terkait bisa satu napas dan satu visi soal komitmen Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca,” ujar Cynthia.