Hidup ”Berkawan” Tinja
Di tengah upaya menjadikan Jakarta sejajar dengan kota lain di dunia, persoalan dasar warga masih belum selesai. Buruknya sanitasi di sejumlah kawasan menjadikan hidup mereka dekat dengan tinja. Jijik, tetapi nyata.
Hari gini, masih banyak warga Jakarta yang buang air besar ke sungai.
Paling tidak, pemandangan itu masih dijumpai di Kampung Sekretaris, Tanjung Duren Utara, Jakarta Barat. Di sana, warga terbiasa hidup berdekatan dengan tinja.
Kamis (10/10/2019) sore, setiap warga kampung itu sibuk dengan aktivitasnya. Ada yang duduk sembari ngobrol bersama keluarga, ada yang memasak mempersiapkan makan malam, hingga kesibukan anak-anak yang tengah asyik mengutak-atik gawai.
Kampung itu terlihat padat, mirip dengan kondisi kampung kumuh lain di Jakarta. Perumahan di sana berada persis di pinggir saluran yang oleh warga disebut Kali Gendong. Perumahan warga juga saling berhubungan dan rata-rata berlantai dua.
Sore itu, Muhammad Jawawi (51) tengah mengobrol santai dengan beberapa tetangganya sambil meneguk secangkir kopi. Bau busuk dari saluran itu sama sekali tak dipedulikan. Padahal, di saluran itu, tak hanya limbah rumah tangga, tetapi ada juga kotoran manusia.
Keberadaan kotoran tersebut jamak ditemukan lantaran jamban warga tak dilengkapi dengan tangki septik. Situasi itu sudah terjadi bertahun-tahun dan dianggap lumrah oleh warga sekitar. ”Tidak bau karena ada air. Jadi, saat dibuang ke saluran, langsung mengalir ke kali,” ucap lelaki asal Karawang, Jawa Barat, itu.
Baca juga : BAB Sembarangan, DKI Siapkan Rp 166 Miliar untuk Bangun Tangki Septik
Informasi yang dihimpun Kompas, 200-an keluarga dari total 900 keluarga yang membuang limbah rumah tangga, termasuk tinja, ke sungai. Meskipun terkesan jorok dan menimbulkan bau busuk, situasi ini sebenarnya sudah berlangsung sejak 1980.
Warga menganggap itu bukan lagi jadi masalah. Bahkan, sebagian warga memenuhi kebutuhan air bersih dari sumur yang hanya berjarak beberapa meter dari Kali Gendong.
Menurut Muhammad Subhi (38), warga setempat, jika pemerintah ingin memperbaiki kualitas hidup warga, tangki septik bukan solusi karena sewaktu-waktu bisa rusak atau kelebihan beban. Ia menyarankan pemerintah mengubah saluran Kali Gendong menjadi gorong-gorong sehingga limbah rumah tangga tidak lagi terlihat dan meminimalkan bau busuk.
”Kampung ini masuk program CAP (Community Action Plan). Jadi, permintaan kami itu, bangun gorong-gorong dan tata halaman depan rumah kami. Itu lebih bermanfaat daripada pasang tangki septik,” ujarnya.
Capai ratusan ribu
Rendahnya kesadaran masyarakat Ibu Kota tentang pentingnya jamban sehat bukan hanya terjadi di Tanjung Duren Utara. Secara keseluruhan, menurut data laman Kementerian Kesehatan tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), warga Jakarta yang masih buang air besar sembarangan (BABS) mencapai 111.810 keluarga.
Dari jumlah itu, wilayah dengan tingkat BABS tertinggi ada di Jakarta Utara, mencapai 51.253 keluarga. Wilayah Jakarta Pusat yang menjadi lokasi obyek vital negara, seperti Istana Negara, gedung kementerian, dan Monumen Nasional, juga masih tinggi, mencapai 18.529 keluarga, disusul Jakarta Selatan (17.436 keluarga). Sementara di Jakarta Barat, jumlah warga yang BABS 15.699 keluarga, Jakarta Timur (8.657 keluarga), dan Kepulauan Seribu (236 keluarga).
Baca juga : Puluhan Ribu Keluarga di Jakarta Utara Buang Air Besar Sembarangan
Tingginya perilaku BABS sejalan dengan tingginya kerentanan penyakit terkait dengan buruknya sanitasi, terutama diare. Data Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan tahun 2018 menempatkan wilayah Jakarta sebagai provinsi kelima tertinggi di Indonesia yang warganya paling banyak mendapat pelayanan di sarana kesehatan akibat diare.
Jumlah penderita diare yang mendapat pelayanan kesehatan di Jakarta 104.743 orang. Jakarta hanya lebih baik dari Jawa Timur (284.804 penderita), Jawa Tengah (182.952 penderita), Jawa Barat (166.103 penderita), dan Banten (112.425 penderita).
Tingginya perilaku BABS warga Jakarta diakui Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti. Namun, menurut dia, perilaku BABS bukan jadi faktor utama pemicu diare.
”Diare itu faktor penyebabnya banyak, termasuk kebersihan perilaku masyarakat dan ketersediaan jamban. Jadi, perilaku dari kita untuk cuci tangan sebelum makan atau setelah buang air besar itu juga ikut memengaruhi,” katanya di Balai Kota, Selasa (15/10/2019) sore.
Diare hanya bisa diminimalkan dengan terus mengedukasi masyarakat untuk berperilaku hidup sehat dan tak lagi BABS. Selama ini dinas kesehatan bersama seluruh perangkat pelayanan di bidang kesehatan terus menggencarkan sosilalisasi perilaku hidup sehat.
Serba tak tepat
Menyikapi tingginya perilaku warga yang masih banyak BABS, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menganggarkan dana Rp 166,2 miliar untuk membangun tangki septik. Rencana itu masuk dalam Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUAPPAS) untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta 2020.
Baca juga: Pembangunan Tangki Septik Komunal Terkendala Ketersediaan Lahan
Namun, niat Pemprov DKI menyelesaikan persoalan BABS melalui pembuatan tangki septik dikritisi sejumlah pihak. Sebab, kebijakan itu dinilai tidak menyelesaikan masalah sanitasi secara komprehensif.
”Untuk jangka pendek silakan, tetapi ini tidak akan menyelesaikan masalah. Harus secara menyeluruh dengan menata ulang kawasan permukiman sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang,” tutur Koordinator Pusat Studi Perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Joga, Selasa (8/10/2019).
Sementara itu, menurut Direktur PD PAL Jaya Subekti, penerapan instalasi infrastruktur kota di Jakarta dinilai sudah telat seiring pembangunan fisik dan manusia yang kian pesat. Hal itu menambah persoalan Jakarta, terutama limbah rumah tangga yang tidak tertangani dengan baik.
”Fokus pembangunan ruang di Jakarta, dalam hal ini ruang permukiman atau rumah, sangat kurang, terutama untuk pembangunan instalasi limbah domestik, seperti black water (tinja) dan grey water (air mandi, cuci),” tutur Subekti, Selasa (15/10/2019).
Masalah lain yang juga dihadapi yakni rata-rata tangki septik warga belum memenuhi standar sistem sanitasi. Hingga November 2018, diperkirakan ada 2 juta tangki septik di Jakarta, tetapi sekitar 80 persen tangki septik itu masih berupa tangki septik rembesan.
Baca juga :Pencemaran Air Masih Jadi Masalah
Tangki septik rembesan yang dimaksud itu biasanya hanya dibeton dan dindingnya dibiarkan terbuka di bagian bawah sehingga limbah tinja meresap. Model tangki septik ini aman digunakan jika berjarak 10 meter dengan sumber air tanah. Namun, jarak itu sulit diwujudkan di Jakarta yang penduduknya kian padat.
Berangkat dari segudang persoalan itu, masalah BABS Jakarta merupakan persoalan pelik yang mendesak diselesaikan. Buruknya sanitasi Jakarta tak selesai hanya dengan membangun tangki septik. Sebab, menata Jakarta perlu berkelanjutan agar konsep tata kota tidak terbalik menjadi kota tata.