Istiqomah Gardjito, Perintis Batik Corak Lumbung Padi
Lahir dan besar di Jakarta, tak lantas membuat Istiqomah Gardjito lupa akan kampung halamannya, Karawang, Jawa Barat.
Oleh
Melati Mewangi
·5 menit baca
Lahir dan besar di Jakarta, tak lantas membuat Istiqomah Gardjito lupa akan kampung halamannya, Karawang, Jawa Barat. Dikenal sebagai kota ”lumbung padi nasional” menginspirasi dirinya untuk membuat berbagai motif batik tanaman padi. Berkat ketekunannya, karya Istiqomah kian dikenal luas dan ditampilkan dalam berbagai acara. Motif ciptaan dia tak sekadar demi keindahan, tapi ada makna dan pesan yang tersimpan di baliknya.
Ditemui di rumahnya, di belakang Masjid Agung Karawang, Jawa Barat, Kamis (3/10/2019) siang, Istiqomah (69) tampak merona mengenakan batik oranye dengan motif ciptaannya yang bernama Leuit. Dalam masyarakat Sunda, Leuit adalah tempat untuk menyimpan hasil panen padi atau disebut lumbung padi. Inspirasinya ia dapatkan dari kenangan sewaktu kecil.
Istiqomah pun bernostalgia tentang pengalamannya mengunjungi rumah nenek di Kecamatan Jatisari, Karawang. Saat itu, dalam perjalanan menuju lokasi, ia melihat begitu banyak petak-petak sawah yang membentang di sepanjang kanan-kiri jalan. Ia ingat betul, zaman dulu jalanan belum sebagus sekarang sehingga kendaraan melaju dengan pelan saat melintasi jalanan. Hal itu membuatnya dapat memperhatikan detail pertanian di Karawang.
Hal yang paling membekas dalam benaknya adalah musim panen padi. Pemandangan itu jarang ia temui di kota metropolitan, tempat ia dibesarkan.
”Saya melihat para petani bekerja sama guyub sekali. Mereka sibuk memanen padi dan mengumpulkan setangkai demi setangkai untuk diikat jadi satu. Setelah itu, hasil panenan disimpan di leuit,” kenangnya.
Keseriusannya menggeluti dunia batik baru dilakukan setelah sang suami, Kolonel Purn (TNI) Gardjito (76), pensiun sebagai tentara Angkatan Darat. Ia kerap berpindah daerah mendampingi suaminya bertugas.
Menurut dia, setiap daerah memiliki batik khas yang dapat dijadikan sebagai buah tangan saat ada tamu yang berkunjung.
Kala itu, berburu batik hingga ke perajin sudah menjadi makanan sehari-hari Istiqomah. Ia paham, meski berasal dari kota yang sama, setiap batik yang dibuat perajin memiliki kekhasan tersendiri.
”Saking seringnya berkunjung ke perajin batik, saya berpikir kalau nanti pensiun tinggal di Karawang untuk berkarya lewat batik,” ujar penerima penghargaan ”Wanita Inspiratif Karawang 2018” ini.
Tahun 2008, ia menciptakan sejumlah motif batik bercorak tanaman padi, antara lain pare sagedeng (seikat padi), aneka padi, panen raya, leuit (lumbung padi), dan cere bulu (jenis padi di Karawang). Corak tersebut merupakan cerminan Karawang sebagai lumbung padi nasional.
Ia mengajak ibu-ibu pensiunan di Karawang untuk menekuni bidang ini. Namun, tidak mudah untuk mengobarkan semangat mereka karena butuh ketelatenan. Upayanya untuk mengembangkan batik terhenti sementara selama dua tahun.
Tekadnya untuk membangkitkan kembali roh batik Karawang menyala. Tahun 2011, ia bertemu dengan dua orang anak putus sekolah. Mereka dibiayai kursus membatik di Yogyakarta selama satu bulan setengah. Sepulangnya mereka dari kursus, batik Karawang pun kembali diproduksi.
Menjadi mitra binaan Percetakaan Uang Republik Indonesia (Peruri) tahun 2016, semakin membuka peluang dirinya untuk mengikuti beragam pameran. Usahanya kian berkembang, dalam sebulan setidaknya omzet yang didapat kisaran Rp 25 juta-Rp 30 juta. Kain batik karyanya banyak dipesan oleh sekolah, perusahaan, dan dinas di Karawang.
Regenerasi
Istiqomah sadar jika bekal ilmu yang ia miliki ini akan sia-sia jika tidak disebarkan kepada sesama. Semenjak itu, ia secara rutin memberikan pelatihan membatik kepada para ibu dan anak sekolah.
Ia juga membuka Bale Batik Taza di rumahnya sebagai wadah untuk mengenalkan batik Karawang dan memberikan pelatihan khusus kepada siapa pun yang berminat. Menurut dia, untuk melestarikan tradisi membatik dibutuhkan proses panjang dan berkesinambungan.
”Menerapkan pembuatan batik di kota yang bukan asli dari pembatik itu sulit. Modal semangat saja tidak cukup, perlu juga menjaga api agar tidak padam,” katanya.
Untuk menjaga eksistensi batik Karawang, ia merintis perhelatan ajang pencarian bakat Putra-Putri Batik Karawang pada tahun 2013.
Menurut Istiqomah, batik Karawang tidak bisa eksis mendunia tanpa dikenalkan melalui generasi muda sebagai agen perubahan.
Konsep awal hingga proses seleksi ia persiapkan bersama timnya. Bahkan, seluruh modal awal dikumpulkannya secara mandiri. ”Kepada siapa lagi kami menitipkan tradisi batik ini? Partisipasi anak muda Karawang untuk mengembangkan dan melestarikannya sangat penting,” ucap Istiqomah, sambil mengernyitkan dahi.
Dalam perjalanannya, tak sedikit yang memandang sebelah mata upaya Istiqomah menelurkan karya. Sebagian dari mereka berpikir bahwa batik Karawang tidak akan se-eksis kota batik lainnya di Jawa Barat. Menanggapi hal itu, sesuai namanya, ia tetap akan istiqomah (teguh pendirian) untuk mengembangkan potensi batik Karawang.
Ada 27 motif batik diciptakannya, enam di antaranya sudah terdaftar hak atas intelektual. Suatu ketika, ada pihak lain yang menjiplak motif batiknya untuk diperjual-belikan. Masalah itu sempat dibawa ke ranah hukum, tapi akhirnya tidak berlanjut karena oknum memohon agar tidak menempuh jalur hukum. Ia percaya bahwa rezeki tidak akan tertukar, semua baik adanya. Pengalaman itu justru membuatnya berpikir bahwa ternyata motif batik ciptaannya menginspirasi orang lain.
Istiqomah bermimpi untuk membangun kampung batik di Karawang. Ia menyebutkan, sejumlah kampung batik di beberapa daerah di Indonesia sangat berkembang dalam menghidupkan tradisi membatiknya. Hal itu dapat mengangkat potensi pariwisata dan perekonomian warganya. Ia optimistis upayanya selama ini akan berbuah manis di masa depan.
Bagi Istiqomah, batik bukan hanya selembar kain, melainkan simbol dan identitas suatu daerah. Perjalanannya masih panjang untuk mengenalkan potensi ini kepada dunia. Perlahan tapi pasti, semoga usahanya tak akan mengkhianati hasil.