Karena Indonesia Dipercaya
Tantangan yang dihadapi komunitas global semakin tidak mudah. Konflik baru terus bermunculan, sementara keyakinan pada aturan bersama cenderung memudar. Dalam situasi seperti itu, Indonesia mencoba turut andil, menjadi bagian dari solusi.
Teknologi bergerak begitu cepat. Jarak, waktu, dan ruang, yang sebelumnya ”membagi” dunia kini menjadi semakin relatif. Revolusi dalam teknologi komunikasi membuat apa yang terjadi di satu belahan dunia, dengan cepat, disaksikan, bahkan masuk ke ruang-ruang privat.
Seperti paradoks, ketika dunia makin tak berbatas, konflik dan pertentangan justru kian merebak di beberapa kawasan. Ditemui di ruang kerjanya, Kamis (17/10/2019) malam, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, ia dan rekan-rekannya—sesama menteri luar negeri dari berbagai negara—menyadari situasi itu bahwa dunia semakin diwarnai ketidakpastian. Menjelang akhir masa baktinya, Retno mengungkapkan di mana posisi Indonesia dalam dinamika global itu. Berikut petikannya:
Mendapati situasi dunia yang ternyata tidak semakin baik. apa yang Anda pikirkan setiap pagi?
”Terdapat tren, kita tahu ada aturan, kode etik yang harus dihormati tetapi kita tiba-tiba masuk dalam suatu masa (di mana) banyak sekali aturan- aturan diabaikan,” kata Retno. ”Yang menjadi perhatian kita, kalau terjadi apa-apa, misalnya konflik atau perang, yang menjadi korban adalah manusia. Karena diplomasi politik luar negeri Indonesia kental dengan isu kemanusiaan, apalagi kalau kita sudah bicara dari sisi korban, pasti korban yang paling banyak menderita (dalam situasi) itu adalah perempuan dan anak-anak.”
Dalam situasi seperti itu peran apa yang telah dimainkan Indonesia?
”Tidak mudah, di tengah situasi yang sangat tidak menentu itu, untuk masih dilihat, masih diperhitungkan, masih dihormati oleh negara lain. Akan tetapi, kalau dari sisi saya, melihat sejauh ini Indonesia masih bisa berdiri tegak, bermartabat, dihormati, oleh bangsa- bangsa. Mereka melihat Indonesia ingin selalu menjadi bagian dari penyelesaian masalah. Terlepas dari apakah masalah itu susah, mudah, tetapi kita selalu menunjukkan maksud baik kita untuk ikut membantu,” kata Retno.
Nyaman
Lebih lanjut, Retno menjelaskan, banyak pihak, baik itu negara mitra maupun lembaga-lembaga dunia, nyaman berkomunikasi dan bekerja sama dengan Indonesia karena apa yang diusulkan atau disarankan Indonesia tidak mencederai pihak lain. Ia mencontohkan, dalam proses pembahasan gagasan Indo-Pasifik yang akhirnya diterima ASEAN sebagai pandangan bersama adalah karena konsep-konsep yang diinisiasi Indonesia tidak konfrontatif, tetapi lebih mengedepankan dialog, kerja sama, dan inklusif.
”Dan kita fokus pada empat bidang kerja sama yang sangat implementatif dari isu maritim, konektivitas, SDGs, dan kerja sama ekonomi lainnya. Dan proses ini semua kita jalankan kemudian ada kepercayaan dan keyakinan, akhirnya para pemimpin ASEAN pada Juni mengadopsi ASEAN Concept of Indo Pacific dan respons dari negara mitra, semuanya positif,” kata Retno.
Kemudian, Retno memberi contoh lain, di mana Indonesia dengan pendekatan lunak dan humble turut terlibat aktif dalam upaya membangun perdamaian di Afghanistan. Persoalan sulit dan sensitif itu didekati dengan membuka diri bagi semua pihak, baik Pemerintah Afghanistan, Gedung Putih, CIA, Pakistan, kelompok Taliban, para ulama, maupun dengan negara mitra lain yang juga memiliki perhatian serupa, yaitu Norwegia.
”Dari awal, kita mengatakan, yang ingin Indonesia lakukan adalah membangun kerangka pendukung (building blocks), yang pada akhirnya dapat mendukung upaya perdamaian itu sendiri. Karena apa, kalau di main track-nya terlalu banyak yang ingin terlibat, malah nanti akhirnya ribet dan tidak akan kelihatan. Oleh karena itu, kita mengembangkan building block yang dapat men-support. Tahun lalu, kita sudah menyelenggarakan Trilateral Ulamas Meeting. Proses persiapannya sangat lama karena untuk meeting seperti itu ternyata di luar dugaan kita prosesnya cukup lama dan pelik.”
”Namun, sekali lagi, karena mereka percaya kepada Indonesia, pada akhirnya bisa dilakukan dengan mengirimkan pesan untuk mengakhiri kekerasan. Kita selalu mengatakan kita tidak akan memainkan finger pointing exercising. Itu bukan Indonesia,” kata Retno.
Dalam isu lain, seperti Palestina dan Rakhine, peran Indonesia juga sangat kentara. Banyak negara selalu melibatkan Indonesia ketika membahas isu-isu tersebut. Meskipun demikian, Retno mengaku masih banyak hal yang perlu dilakukan oleh Indonesia ke depan.
”Karena tidak semua hal dapat diselesaikan dalam lima tahun. Dan dunia ini dinamis, hari ini kita menyelesaikan satu, besoknya dua, dua kita selesaikan besoknya muncul lagi. Tetapi, at least dalam lima tahun ini banyak yang sudah kita lakukan di empat prioritas politik luar negeri Indonesia, baik dari sisi perlindungan perbatasan, kemudian perlindungan WNI, kemudian penguatan diplomasi ekonomi, dan kontribusi kita ke dunia. Karena kalau tiga pertama ini merepresentasikan nasional interest, sementara yang keempat adalah merepresentasikan kontribusi kita kepada dunia.,” kata Retno menambahkan.
Hal itu yang membuat Retno yakin, praktik politik luar negeri Indonesia tidak inward looking. ”Kalau kita inward looking, saya kira pada saat kontestasi di Dewan Keamanan PBB, pastinya nama Indonesia sudah hilang. Kalau kita betul-betul inward looking. Kita cuek, tidak main, tidak bergaul, hilang pasti. Tetapi, tidak, dalam isu Palestina, misalnya, Menlu Palestina pasti mencari Indonesia. Afghanistan, belum lagi isu yang terkait. Rakhine State, pertemuan soal Rakhine pasti Indonesia dicari. Belum lagi yang terkait OKI dan sebagainya. Jadi saya harus mengatakan, kalau toh ada persepsi bahwa Indonesia inward looking, maka persepsi itu tidak benar. Karena kita banyak bergaul, hasilnya kelihatan, kita banyak sekali melakukan terobosan dan kita menjadi bagian dari penyelesaian masalah.”
Pada Kamis (17/10/2019) malam, Indonesia kembali terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB untuk periode tahun 2020-2022. (LSA/JOS)