Mimpi Jakarta Terbebas dari Masalah Jamban
Pada 2030, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan bebas dari masalah jamban. Target ini bakal menjadi mimpi belaka jika tidak ada keseriusan untuk menyelesaikannya.
Euforia pelantikan anggota legislatif DKI Jakarta, belum usai ketika persoalan buang air besar sembarangan (BABs) jadi pembicaraan hangat pada awal Oktober. Miris, itulah reaksi sebagian besar masyarakat. Mereka heran Ibu Kota sebagai wajah negara belum mampu menangani masalah jamban.
Padahal, salah satu target pembangunan berkelanjutan ialah menghentikan praktik buang air besar sembarangan pada 2030. Target ini tidak ringan, data laman Kementerian Kesehatan tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat 2019, warga Jakarta yang masih BABs mencapai 111.810 keluarga.
Sementara itu, pembuangan tinja yang paling diandalkan saat ini adalah dengan tangki septik. Sistem pembuangan seperti ini semakin tidak relevan lagi sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk Ibu Kota. Adapun pemanfaatan ruang tinggal makin padat.
Di beberapa tempat, pembuangan kotoran manusia itu bahkan dialirkan begitu saja ke sungai. Salah satunya terlihat di Kampung Sekretaris, Tanjung Duren Utara, Jakarta Barat. Saking lamanya hidup dalam kondisi seperti itu, mereka seakan terbiasa.
Baca juga : Hidup ”Berkawan” Tinja
Tarsim (70), warga Kampung Nelayan, Cilincing, Jakarta Utara, bersama keluarganya tidak memiliki toilet. Selama ini, untuk buang hajat, mereka memanfaatkan toilet umum yang ada di kompleks itu. ”Enggak mungkin buat toilet. Lahan di sini sempit. Saya mau rehab rumah saja tidak bisa, apalagi bangun toilet. Jadi, terpaksa numpang di toilet umum. Satu kali pakai bayar Rp 2.000,” ucap Tarsim.
Di Kampung Nelayan Cilincing, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, saluran dari toliet langsung ke sungai. Padahal, sungai itu menjadi tempat nelayan menyandarkan kapal.
Yogi (41), warga sekitar, memastikan sebagian warga di Kali Cakung Drainase memang tidak memiliki tangki septik. Akibatnya, pipa saluran dari toilet langsung mengalir ke Kali Cakung Drainase. ”Di sini rata-rata begitu. Lahan tidak cukup untuk buat penampungan,” kata Yogi.
Sementara Eneng (35), warga RT 006 RW 007 Kelurahan Tanjung Duren Utara, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, sudah terbiasa buang air kecil dan mencuci di toilet umum terdekat karena saluran air rumah yang kerap mati. Biasanya ada belasan warga yang juga memanfaatkan sarana itu.
Jakarta selama ini menangani BABs dengan sistem kecil-kecil, seperti tangki septik komunal. Kami harapkan ke depan sekitar 20 atau 30 tahun bisa terbentuk sistem perpipaan agar tidak ada lagi BABs
Agus (37), warga RT 006 RW 007 Tanjung Duren Utara, berharap pemerintah menjalankan rencana pembangunan tangki septik. ”Ada rencana pembangunan tangki septik komunal dari kelurahan yang diwacanakan sejak tahun lalu. Namun, hingga saat ini belum ada kelanjutan dari rencana pembangunan tersebut,” ujar Agus.
Perbaikan pembuangan tinja memang tidak bisa ditunda. Sebab, tangki septik dengan sistem resapan atau biofilter bisa bertahan setidaknya 20 tahun. Biofilter membuat limbah memenuhi baku mutu untuk dibuang ke lingkungan. Meskipun begitu, DKI masih menganggarkan pembuatan tangki septik tahun depan sebesar Rp 166,2 miliar.
”Jakarta selama ini menangani BABs dengan sistem kecil-kecil, seperti tangki septik komunal. Kami harapkan ke depan sekitar 20 atau 30 tahun bisa terbentuk sistem perpipaan agar tidak ada lagi BABs. Memang butuh waktu karena kotanya sudah terbentuk duluan, baru sistemnya dibuat,” kata Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Juaini kepada Kompas, Jumat (11/10/2019).
Langkah ini dilakukan sambil menunggu pembangunan Jakarta Sewerage System (JSS). Menurut Juaini, pembangunan JSS membutuhkan waktu lama dengan anggaran yang besar.
Jika pun dibangun JSS, prasarana ini pun tidak bisa menjangkau semua wilayah Jakarta. ”Ada beberapa lokasi yang memang menjadi blank spot. Di blank spot inilah dibangun tangki septik ataupun IPAL komunal. Nantinya saluran komunal ini bisa terhubung dengan sistem perpipaan,” kata Kepala Bidang Air Baku, Air Bersih, dan Air Limbah Dinas SDA DKI Nelson.
Tidak tertangani
Dari program pembuatan tangki septik itu, DKI menyiapkan anggaran Rp 10 miliar untuk rehabilitasi tangki septik milik warga. Anggaran ini menjadi subsidi kepada Perusahaan Daerah Pengelolaan Air Limbah DKI Jakarta untuk merehabilitasi tangki septik warga.
Revitalisasi tangki septik dibutuhkan karena banyak yang bocor atau rembes dengan pemasangan biopal. Rata-rata tangki septik warga sejauh ini belum memenuhi standar sistem sanitasi. Hingga November 2018, diperkirakan ada 2 juta tangki septik di Jakarta, tetapi sekitar 80 persen masih berupa tangki septik rembesan. Rembesan ini mengandung bakteri E.coli. ”Fokus pembangunan ruang di Jakarta, dalam hal ini ruang permukiman atau rumah sangat kurang, terutama untuk pembangunan instalasi limbah domestik, seperti black water (tinja) dan grey water (air mandi, cuci),” kata Direktur PD PAL Jaya Subekti.
Berangkat dari segudang persoalan itu, masalah BABs Jakarta merupakan persoalan pelik yang mendesak diselesaikan. Buruknya sanitasi Jakarta tak selesai hanya dengan membangun tangki septik. Sebab, menata Jakarta perlu berkelanjutan agar konsep tata kota tidak terbalik menjadi kota tata.
Karena itu, kata Subekti, perlu desain besar infrastruktur yang dapat mengatasi permasalahan limbah domestik yang sudah seperti penyakit akut, yaitu melalui proyek JSS atau sistem pengelolaan air limbah terpadu.
Di beberapa wilayah sudah ada intersepter, yaitu drainase dibelokkan, lalu diolah untuk mengurangi limbah. Kita sedang membangun intersepter di Kali Duri, tanah merah. Kami tanam IPAL komunal juga. Kami pasang biopal.
Namun, sebelum mencapai itu, perlu pengerjaan yang berjenjang. PD PAL Jaya membuat proyek percontohan di Serdang, Kemayoran, dengan membangun tujuh IPAL komunal dan dua intersepter. Pembangunan akan selesai November mendatang sehingga bisa diimplementasikan oleh Dinas SDA di daerah lain.
”Di beberapa wilayah sudah ada intersepter, yaitu drainase dibelokkan, lalu diolah untuk mengurangi limbah. Kita sedang membangun intersepter di Kali Duri, tanah merah. Kami tanam IPAL komunal juga. Kami pasang biopal. Ketika dibangun, sewerage akan nyambung nanti, ada koneksi. Ini adalah strategi untuk mendukung proyek JSS,” kata Subekti.
Jakarta Sewerage System
JSS merupakan program untuk mengatasi limbah di Jakarta. Konsepnya, membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) terpusat di setiap zona yang ditetapkan.
Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Nomor 41 Tahun 2016 tentang Rencana Induk Pengembangan Prasarana dan Sarana Pengelolaan Air Limbah Domestik, terdapat 15 zona, meliputi 14 zona baru dan satu zona eksisting, yaitu zona 0 dengan IPAL di Waduk Setiabudi, Jakarta Selatan.
Saat ini, instalasi perpipaan sudah beroperasi di zona 0 di Setiabudi, Jakarta Selatan, dengan panjang pipa sekitar 102 kilometer, berkapasitas 4.000 meter kubik per hari. Zona ini masih dalam tahap pengembangan dan melayani 1.200.000 penduduk Jakarta.
IPAL zona 1 berlokasi di kawasan Waduk Pluit, zona 2 di Muara Angke, zona 5 di kawasan Waduk Sunter Utara atau dikenal sebagai Waduk Cincin, dan zona 8 di kawasan Waduk Marunda, semuanya di Jakarta Utara. Adapun IPAL zona 6 di kawasan Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT) Duri Kosambi, Jakarta Barat. Kelima zona itu menjadi prioritas pembangunan.
Mereka bertanya, bagaimana kami mau menyambung pipa, Pak? Toilet kami berada di tengah-tengah bangunan. Nanti bapak bongkar keramik kami, apa masih ada penggantinya?
Anggota Tim Pejabat Pembuat Komitmen Infrastruktur Jakarta Sewerage System Dinas SDA DKI, John Tarigan, mengatakan, Jakarta sebenarnya sudah terlambat untuk membangun sewerage system karena kendala jaringan perpipaan untuk menjangkau seluruh kawasan. Kendala lain ialah penolakan dari warga dan topografi Jakarta yang datar.
John mencontohkan proyek percontohan pembangunan di Pejagalan (zona 2). Di situ akan ada 1.000 sambungan ke rumah warga yang dibiayai pemerintah. Akan tetapi, warga belum bersedia untuk pembangunan.
”Kami sosialisasi untuk perpipaan sambungan rumah di Kelurahan Pejagalan. Mereka bertanya, bagaimana kami mau menyambung pipa, Pak? Toilet kami berada di tengah-tengah bangunan. Nanti bapak bongkar keramik kami, apa masih ada penggantinya?,” kata John.
Sementara itu, topografi Jakarta yang datar menjadi kendala menyalurkan limbah ke tempat pengolahan tanpa bantuan pompa. Sebab, limbah tidak bisa ditekan karena mengandung gas. Selain menggunakan pipa khusus, lanjut John, akan dibuat galian seperti terowongan sebesar pipa limbah. Galian itu dibuat miring sehingga gaya gravitasi mengalirkan limbah.
Adapun zona 1 dan 2 sedang dalam proses perencanaan fisik. Pembangunannya akan dimulai 2020-2025. Sementara zona 5 sedang dalam proses integrasi rancang bangun, zona 6 mundur waktu perencanaan fisik ke 2020, dan zona 8 menjajaki skema kerja sama antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum.
”Meski masterplan sudah dari tahun 2012, ternyata baru dikerjakan tahun 2019. Berarti, kan, memang prioritasnya ini masih tidak ke sana waktu itu,” ucapnya.
Prioritas
Banyak pihak menilai lambannya DKI menangani persoalan jamban karena tidak efektifnya perencanaan dan bukan menjadi prioritas. Padahal, alokasi dana yang besar sudah cukup untuk menyelesaikan persoalan jamban.
Tapi, faktanya problem Jakarta yang krusial, seperti sanitasi, justru tidak jadi prioritas untuk diselesaikan
Sebagai barometer wajah Indonesia, seharusnya wilayah kumuh seperti bantaran Ciliwung, tidak tersedianya tangki septik di Tanjung Duren Utara, dan pesisir utara Jakarta menjadi salah satu prioritas.
”Gubernur punya tim yang dibentuk khusus, seperti TGUPP, tim ad hoc untuk percepatan kegiatan LKSD. Itu tim-tim yang disiapkan untuk menyelesaikan persoalan Jakarta. Tapi, faktanya problem Jakarta yang krusial, seperti sanitasi, justru tidak jadi prioritas untuk diselesaikan,” kata Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Badi’ul Hadi.
Secara umum, struktur anggaran DKI masih sama. Belanja barang dan jasa untuk masyarakat relatif lebih rendah dibandingkan dengan belanja operasional pegawai.
Hal itu menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara perencanaan dan penganggaran. Menurut Hadi, secara normatif proses itu terjadi. Artinya, ada penyusunan prioritas pembangunan yang tidak semestinya sehingga berdampak pada serapan anggaran. Merespons hal ini, anggota DPRD DKI dari Partai Solidaritas Indonesia William Aditya Sarana menangkap tidak adanya prioritas dalam penganggaran. Persoalan warga, seperti sanitasi, dapat teratasi jika tersedia anggaran yang sesuai prioritas.
Tanpa ada keinginan serius menangani masalah sanitasi, kota ini akan terus terbelit masalah jamban. Entah sampai kapan mimpi membebaskan Jakarta dari masalah ini terwujud.