JAKARTA, KOMPAS - Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi, pada Kamis (17/10/2019) genap 30 hari sejak disetujui oleh DPR untuk disahkan menjadi UU pada 17 September lalu, Namun, nomor UU itu belum jelas. Pada saat yang sama, dorongan agar presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU untuk membatalkan UU KPK hasil revisi atau memperkuat KPK terus muncul.
Menurut Pasal 73 Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebuah RUU disahkan oleh presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak RUU disetujui oleh DPR dan pemerintah. Jika tidak ditandatangani oleh presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak disetujui bersama, RUU itu tetap menjadi UU dan wajib diundangkan.
Namun, hingga kemarin, belum diketahui apakah UU KPK hasil revisi itu sudah dimasukkan atau belum dimasukkan ke lembaran negara. Jika sudah dimasukkan ke lembaran negara, maka juga belum diketahui nomor UU tersebut.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menyampaikan, berlakunya suatu UU adalah saat sudah diundangkan. ”Selama belum diumumkan pengundangannya, bisa dianggap belum berlaku. Harusnya ada informasi resmi dari Kementerian Hukum dan HAM mengingat ini UU yang kontroversial,” jelas Bivitri.
Sementara itu, kemarin, KPK tetap beroperasi seperti biasa. Sejumlah kegiatan masih dilakukan, baik di Jakarta maupun kota lain terkait dengan upaya pencegahan, salah satunya adalah Pelatihan Antikorupsi untuk Satuan Pengawas Internal untuk Dorong BUMN Bersih yang digelar KPK.
”Pekerjaan KPK tetap berjalan seperti biasa. Upaya pencegahan dan penanganan perkara tetap berjalan,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Hingga saat ini, kata Agus, pihaknya belum memperoleh salinan resmi dari UU KPK hasil revisi. KPK berencana menemui pejabat Kemenkumham untuk meminta kejelasan mengenai isi peraturan itu dan kepastian diundangkan.
Di saat yang sama, dorongan agar presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) guna membatalkan UU KPK hasil revisi dan memperkuat KPK terus muncul. Hal itu, kemarin, antara lain dilakukan oleh sedikitnya 100 ekonom dengan cara menandatangani surat pernyataan terbuka.
Surat pernyataan tersebut diinisiasi sejumlah ekonom lintas perguruan tinggi. Di antaranya adalah Rimawan Pradiptyo dari UGM, Teguh Dartanto dari UI, Sonny Priyarsono dari IPB, dan Arief Anshory Yusuf dari Unpad. Langkah itu dilakukan karena menurut para ekonom itu, korupsi berdampak negatif terhadap ekonomi.