Prevalensi Tengkes Turun, Langkah Intervensi Spesifik dan Sensitif Dinilai Tepat
Capaian tersebut tidak terlepas dari inisiatif yang diambil Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam mengoordinasikan pengentasan masalah tengkes. Wapres juga menginstruksikan agar angka tengkes diukur setiap tahun.
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Prevalensi tengkes pada 2019 menurun sebanyak 3,1 persen dibandingkan dengan Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas 2018. Pendekatan melalui intervensi spesifik dan sensitif yang melibatkan sejumlah kementerian dinilai sebagai langkah yang tepat.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka prevalensi tengkes 2019. Angka tengkes tahun ini adalah 27,67 persen, turun 3,1 persen dibandingkan dengan Riskesdas 2018.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek di Jakarta, Jumat (18/10/2019), menilai, capaian tersebut tidak terlepas dari inisiatif yang diambil Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam mengoordinasikan pengentasan masyarakat dari tengkes. Pendekatan intervensi spesifik dan sensitif yang diterapkannya menjadi kunci di balik menurunnya prevalensi tersebut.
”Intervensi spesifik menjadi tugas Kemenkes dengan pemberian makanan tambahan (PMT) dan mengubah perilaku masyarakat,” kata Menkes dalam peluncuran Prevelensi Data Tengkes 2019 di Jakarta, Jumat.
Sementara itu, intervensi sensitif dilakukan oleh beberapa kementerian terkait. Misalnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), serta pihak lain.
”Intervensi sensitif yang dilakukan, misalnya, pemberian akses air bersih dan sanitasi. Kami berterima kasih kepada PUPR karena banyak embung dibuat sehingga pengairan menjadi lebih maju,” kata Nila.
Menurut Menkes, Wapres juga menginstruksikan agar angka tengkes diukur setiap tahun. Dari situ, kemudian Kemenkes merilis angka prevalensi tengkes sebagai acuan. Nila meminta kepada suksesornya untuk mempertahankan tren positif tersebut.
”Jika setiap tahun penurunan sebesar 3 persen bisa dipenuhi, pada 2024 angka tengkes Indonesia mencapai 12 persen, di bawah ketentuan WHO sebesar 20 persen,” katanya.
Upaya satu data
Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS Gantjang Amannullah mengungkapkan, prevalensi tengkes 2019 yang disusun bersama Balitbangkes juga menjadi salah satu upaya untuk mewujudkan satu data. Prevalensi tersebut disusun berdasarkan integrasi antara Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2019 dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2019.
Dari data tersebut, didapatkan sampel 320.000 rumah tangga yang tersebar di 514 kabupaten/kota. Kemudian, didapatkan 84.796 anak balita sebagai sampel untuk penghitungan prevelensi tengkes. Setelah itu, hasilnya diverifikasi bersama dan menghasilkan angka 27,67 persen.
Kepala Balitbangkes Kemenkes Siswanto mengatakan, data dikumpulkan dengan cara mengukur (antropometri) berat badan dan tinggi badan anak balita sesuai dengan umur. Secara umum, jika anak balita tengkes, berarti dia lebih pendek dibandingkan dengan teman sebayanya.
”Angka tinggi badan tersebut dikonversi terhadap tinggi badan standar WHO. Jika tinggi badannya minus dua di bawah standar deviasi, anak balita dikatakan tengkes,” katanya.
Selain tengkes, perpaduan SSGBI 2019 dan Susenas Maret 2019 juga bertujuan mengukur dua parameter lainnya. Pertama adalah gizi kurang (underweight), yakni 16,29 persen atau turun sebanyak 1,5 persen dibandingkan dengan Riskesdas 2018. Parameter kedua adalah anak balita kurus (wasting), yakni 7,44 persen atau turun 2,8 persen dari Riskesdas 2018.
Apresiasi
Deputi Wakil Presiden Bidang Dukungan Kebijakan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Bambang Widianto turut mengapresiasi kepemimpinan Nila. Menurut dia, selama 5 tahun menjabat, angka tengkes di Indonesia turun hampir 10 persen.
”Intervensi spesifik dan sensitif membutuhkan koordinasi antar-kementerian. Selama ini berjalan sangat baik,” katanya.
Menurut Bambang, lima pilar penurunan tengkes mesti terus dijalankan oleh pemerintahan selanjutnya. Pilar-pilar tersebut adalah komitmen pemimpin tertinggi, mengubah perilaku, konvergensi antarlembaga, ketahanan pangan, serta monitoring dan evaluasi.
”Komitmen pemimpin termasuk bagi para kepala daerah. Sebab, tantangan selanjutnya adalah implementasinya di daerah,” ujarnya.