Rumah Besar PPP yang Merapuh
Asa menjadi rumah besar bersama bagi umat Islam di Indonesia tampak makin menjauh dari Partai Persatuan Pembangunan. Titik kritisnya berada
di Pemilu 2019. Fondasi bangunan organisasi partai ini terus merapuh karena konflik internal tak berkesudahan.
Hasil terburuk sepanjang kepesertaannya dalam sepuluh pemilu sejak 1977 hingga Pemilu 2019 seperti menjadi peringatan keras. Lolos ambang batas parlemen hanya dengan selisih 0,52 persen adalah satu pukulan. Berada di posisi paling buncit dari sepuluh partai yang masuk DPR menjadi pukulan lain.
Capaian ini menunjukkan ketidaksiapan PPP sebagai petarung berpengalaman dalam pemilu yang diikuti 16 partai politik ini. Perpecahan organisasi yang menghadapkan kubu Romahurmuziy versus kubu Djan Faridz dan berlangsung sejak 2015 menggerogoti soliditas partai. Konflik baru ”selesai” saat KPU melakukan verifikasi parpol peserta pemilu atas PPP kubu Romahurmuziy.
Perseteruan Romy vs Djan hanyalah konflik terbaru dari partai Islam tertua sejak Orde Baru ini. Menengok sejarah perjalanan PPP seperti membaca serial konflik yang silih berganti. Untuk memahami petanya, orang perlu terlebih dahulu mengetahui masa awal berdirinya partai ini.
PPP merupakan satu dari tiga entitas organisasi politik yang dibentuk pemerintahan Presiden Soeharto untuk menyederhanakan sistem kepartaian. Pada tahun 1973, selain PPP, ada Golongan Karya serta Partai Demokrasi Indonesia yang merupakan hasil fusi sejumlah partai nasionalis.
PPP adalah fusi dari empat partai berbasis massa Islam, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Keempatnya merupakan partai peserta Pemilu 1971.
Mengacu pada penguasaan kursi di DPR hasil Pemilu 1971, NU paling dominan dengan 58 kursi atau 60,4 persen dari total 96 kursi. Kekuatan kedua terletak pada Parmusi dengan 26 kursi, sementara PSII memegang 10 kursi dan Perti dengan 2 kursi. Komposisi penguasaan atas modal politik tersebut kemudian mewarnai dinamika internal PPP yang lahir 5 Januari 1973 ini.
Perbedaan kelompok aliran menjadi salah satu penyebab cukup dominan dalam memicu perseteruan. Puncak perseteruan sering kali terjadi saat PPP menyiapkan diri untuk pemilu dan suksesi kepemimpinan partai dalam muktamar. Selain itu, ada faktor eksternal yang kemudian berpengaruh kuat dalam memicu atau bahkan menentukan arah konflik, yakni intervensi pemerintah.
Dalam buku Prahara Partai Islam: Komparasi Konflik Internal PPP dan PKS (Nurdin, M Amin, dkk, 2019) disebutkan, hampir tidak ada ketua umum terbebas dari tanggung jawab untuk mengelola konflik internal selama masa kepemimpinannya. Dinamika internal relatif tidak bergejolak saat tampuk ketua umum dipegang MS Mintareja (1973-1978) dan Ismail Hasan Metareum (1989-1994 dan 1994-1998).
Pada masa kepemimpinan Jaelani Naro, perselisihan dengan kelompok NU memuncak sampai membuat NU keluar dari PPP pada 1984. Hubungan dengan NU kembali solid di masa Ismail Hasan Metareum.
Keluarnya NU dari PPP, yang terjadi tiga tahun sebelum Pemilu 1987, menjadi salah satu penyebab merosotnya perolehan suara PPP. Kala itu, PPP mendulang 13,7 juta suara atau turun 11,8 persen ketimbang lima tahun sebelumnya. Ada 33 kursi di parlemen yang hilang.
Saat Hamzah Haz memimpin (1998-2007), perseteruan membuat partai itu pecah. Dua partai baru muncul dari tokoh PPP yang merasa tidak puas, yakni Partai Persatuan yang didirikan Jaelani Naro dan Partai Bintang Reformasi oleh Zainuddin MZ. Langkah yang diambil menjelang Pemilu 2004 ini merapuhkan kekuatan PPP. Hanya 8,16 persen suara yang sanggup diraihnya saat itu.
Setelah era Hamzah Haz, kepemimpinan berlanjut di tangan Suryadharma Ali dan berikutnya Romahurmuziy atau lebih dikenal dengan Romy. Konflik makin intens dan berdampak besar bagi organisasi.
Konflik internal yang dibawa ke ranah hukum memperumit langkah islah yang diupayakan tokoh-tokoh partai Islam berakar tradisional ini. Lebih parah lagi, kedua ketua umum tersangkut kasus korupsi di Kementerian Agama.
Nasib tragis di Pemilu 2019
Buah pahit dari soliditas partai yang minim dipetik tahun ini. Sebanyak 724.315 suara pendukungnya menyelamatkan PPP dari nasib terlempar ke luar arena politik elite nasional. Angka tersebut adalah kelebihan suara PPP terhadap syarat suara minimal terkait ambang batas parlemen 4 persen pada Pemilu 2019.
PPP lolos dengan 4,52 persen dan menempati juru kunci dari 10 partai politik yang duduk di DPR untuk periode 2019-2024. Sepanjang 46 tahun sepak terjangnya di panggung politik nasional, hasil pemilu terakhir ini merupakan yang terburuk. Hanya 19 kursi dari 575 kursi parlemen yang bisa direbut dari sepuluh provinsi.
Tak hanya kalah jauh dengan PDI-P dan Partai Golkar yang merupakan rival lamanya, PPP juga bagai terpinggirkan di antara partai Islam lain. Selain PPP, partai berbasis massa Islam yang masuk DPR ialah Partai Kebangkitan Bangsa (9,69 persen), Partai Keadilan Sejahtera (8,21 persen), dan Partai Amanat Nasional (6,84 persen). Adapun Partai Bulan Bintang gagal masuk parlemen setelah mengantongi 0,69 persen suara.
Keterpurukan PPP sudah diperkirakan sebelum pemilu dimulai. Setidaknya, dalam survei periodik Kompas yang dilaksanakan Maret 2019, PPP termasuk dalam kategori parpol dengan elektabilitas yang berada di dekat ambang batas.
Dengan memperhitungkan margin of error 2,2 persen, elektabilitas 2,7 persen yang dimiliki PPP membuatnya memiliki kemungkinan memperoleh suara di kisaran 0,5 persen hingga 4,9 persen. Sebuah prediksi yang kemudian terbukti.
Kalkulasi di level elite politik juga menghasilkan catatan yang mirip, apalagi dinamika politik di tubuh partai itu menunjukkan ketidaksiapannya bertarung dalam Pemilu 2019. Dualisme kepemimpinan partai sebagai buah dari konflik internal sejak 2014 memecah soliditas PPP.
PPP versi Romy berhadapan dengan PPP versi Djan. Baru menjelang Pemilu 2019, untuk kepentingan pendaftaran peserta pemilu, dualisme kepemimpinan mereda setelah KPU memilih memverifikasi PPP kubu Romy.
Rangkaian pemilihan kepala daerah yang berlangsung pada tahun 2015, 2017, dan 2018, alih-alih menyatukan, justru makin memecah kekompakan organisasi dan kader hingga ke bawah. Perbedaan dukungan dan koalisi untuk mengusung calon kepala daerah terjadi di sejumlah tempat.
Pukulan terakhir diterima kurang dari sebulan pelaksanaan pemungutan suara, yakni saat Romy ditangkap KPK pada 15 Maret 2019. Sang ketua umum diduga terlibat kasus pengisian jabatan di Kementerian Agama.
Lumbung terakhir?
Lambang PPP, gambar Kabah berlatar belakang hijau, tidak kuat mewarnai peta perolehan kursi DPR pada pemilu tahun ini. Lambang PPP hanya muncul di empat provinsi di Pulau Jawa dan enam provinsi di luar Pulau Jawa. Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten menyumbang 11 kursi dari Jawa. Adapun delapan kursi luar Jawa berasal dari Aceh, Sumatera Barat, Riau, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Lumbung suara partai yang sekarang dipimpin oleh Suharso Monoarfa ini terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan porsi mencapai 60,56 persen. Mayoritas di antaranya disumbang pemilih Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Di luar Jawa, Pulau Sumatera paling banyak menyumbang suara PPP secara nasional (17,86 persen). Provinsi di Sumatera bagian utara menjadi penyumbang utamanya, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Riau.
Capaian PPP pada Pemilu 2019 harus menjadi bahan evaluasi serius bagi semua elemen dalam partai. Bangunan partai yang merapuh ini memberikan sinyal peringatan keras. Renovasi menyeluruh, terutama pada fondasi yang menjaga soliditas, dibutuhkan untuk menjaganya tetap kokoh berdiri.
(LITBANG KOMPAS)