Berburu Macan
Dengan senapan di tangan, Santo, lelaki setengah baya bertubuh kekar berambut cepak itu, berhasrat menyusup hutan lereng Gunung Merapi: berburu macan.
Kompas/Cahyo Heryunanto
Dengan senapan di tangan, Santo, lelaki setengah baya bertubuh kekar berambut cepak itu, berhasrat menyusup hutan lereng Gunung Merapi: berburu macan. Orang-orang desa yakin benar bila kambing-kambing mereka mati dan terluka diterkam macan. Semua orang tahu, Santo seorang desersi tentara, suka berburu ke dalam hutan. Ia berburu dengan dua sahabatnya. Ia dikenal sebagai penembak jitu. Ia disegani orang-orang desa di lereng Gunung Merapi. Orang-orang sungkan bersua dengannya, tak berani berselisih paham. Ia selalu menjadi orang pertama yang mengetahui setiap kali binatang liar merusak ladang petani. Kali ini tersiar kabar macan memangsa kambing-kambing piaraan petani desa yang berbatasan dengan hutan.
Mengajak dua pemburu, menaiki jeep tua, Santo kelihatan segar dan bergairah. Sebelum berburu macan, ia mengajak dua temannya singgah di padepokan Ki Broto. Betapa ramah Ki Broto menerima mereka, menjamu dengan kopi mengepul, jadah, dan tempe bacem.
”Doakan kami selamat memasuki hutan!” kata Santo, penuh keyakinan. ”Macan yang selalu memangsa ternak itu akan kutembak!”
”Berhati-hatilah!”
”Tak usah kau cemaskan. Akan kubawa bangkai macan itu turun gunung!”
”Tak seorang pun meragukanmu!” sindir Ki Broto.
”Jangan lupa, aku pemburu kebanggaan orang-orang desa. Akan kujaga ketenteraman wilayah ini!”
”Berhentilah berburu sebelum langit gelap,” kata Ki Broto. ”Jangan sampai kalian diterkam macan dalam gelap malam.”
”Kami tak takut kegelapan,” tukas Santo.
Ki Broto hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia tak ingin berbantahan dengan Santo, lelaki yang tak mau mengalah saat berhadapan dengan siapa pun.
”Kau masih tak mau jual bukit di sebelah padepokanmu?” Santo merendahkan nada suaranya. Di sela-sela berburu, ia seorang makelar tanah. Ia kembali menawar bukit di sebelah timur padepokan.
”Aku membawa tawaran padamu untuk menjual bukit itu dengan harga lebih tinggi. Seorang pengusaha berhasrat menjadikan bukit itu sebagai sebuah hotel. Kau juga akan memetik keuntungannya. Tamu-tamu hotel akan jadi penonton setiap pergelaran di padepokan ini. Kau akan sangat diuntungkan!”
Seperti biasa, Santo senantiasa bicara dengan cara yang sangat meyakinkan. Ia tak akan berhenti menaklukkan seseorang sebelum orang itu menyerah. Ia selalu menyudutkan Ki Broto untuk melepas bukit yang tak jauh dari padepokan. Ki Broto sudah dapat menduga: Santo akan terus singgah di padepokannya untuk membujuk menjual bukit itu. Tentu ia mengikuti kemauan sang pengusaha, pikir Ki Broto. Selama ini sang pengusaha menghendaki membeli bukit itu. Tentu saja Santo menekan Ki Broto atas permintaan sang pengusaha, yang merasa pasti dapat membeli bukit itu–-yang memiliki pemandangan indah, tak pernah dilalui guguran lahar panas.
”Bagaimana kalau kita bertaruh?” Santo mulai suatu permainan yang menjebak.
”Apa yang harus kupertaruhkan?”
”Kalau hari ini aku pulang membawa macan turun gunung, kau akan melepas bukit itu. Tapi kalau malam ini aku pulang dengan tangan hampa, tak lagi berhak mengungkit-ungkit bukit itu.”
“Apa upah pemberian sang pengusaha sangat besar?”
”Bukan begitu. Aku hanya menuruti naluriku yang tak pernah meleset memasang target."
”Aku tak pernah bertaruh. Tapi kalau memang kau berkeras dengan kemauanmu, hati-hatilah! Jangan sampai macan itu menerkammu!”
Santo menanggapi perkataan Ki Broto dengan tertawa terbahak-bahak. Tawa yang hambar. Siapa pun yang mendengar derai tawa itu bisa merasakan kebimbangan di dalamnya. Santo seperti menertawakan dirinya sendiri.
***
TAMPAK Santo begitu serius, sepasang matanya memancarkan keyakinan. Ia menaiki mobil jipnya, dengan suara yang meraung. ”Tunggu kedatanganku! Aku pulang dengan macan itu!”
”Hati-hatilah! Jangan sampai tertembak peluru, Teman!”
”Ha? Mana mungkin? Mereka penembak jitu! Bukan penembak mabuk!”
”Tapi, siapa tahu, mereka jadi penembak mabuk!” seloroh Ki Broto, sambil mengusap-usap jenggotnya. Ia sempat melihat, di antara botol-botol minuman yang tergeletak di lantai jip, terdapat ransel berisi botol-botol bir.
Jip itu meninggalkan padepokan. Mereka melakukan perjalanan ke hutan Merapi, meninggalkan mobil di tepi hutan yang dikatakan para petani sebagai tempat berkeliaran macan. Orang-orang desa berkisah, macan itu sebagian wajah dan tubuhnya hangus terbakar lahar panas. Luka yang tak tersembuhkan.
Luka yang menakutkan orang yang melihatnya.
Mereka bertiga disambut monyet-monyet yang bergelantungan di dahan-dahan pepohonan. Tak terlihat rusa dan celeng. Hanya monyet-monyet berkejaran. Menjerit dan berloncatan. Wajah Santo tampak paling berambisi. Dalam hati ia yakin akan menembak macan dengan luka bakar di wajah dan tubuh. Orang-orang desa yang pernah melihat macan yang terbakar wajah dan sebagian tubuhnya, selalu menceritakan peristiwa pertemuan itu dengan menyebar kisah yang menakutkan. Santo bertambah murka setiap kali mendengar kengerian orang-orang desa menghadapi macan. Ingin sekali ia segera memergoki macan itu, membidik, dan menembaknya. Ia sudah sangat geram.
Menyusup ke dalam hutan, mereka mencapai goa, senyap, lembab, dengan kelelawar-kelelawar bergelantungan. Santo dengan dua sahabatnya mengintip ke dalam goa.
Mereka bertiga mengarahkan lampu senter ke relung-relung gelap goa, mencari ceruk yang paling gelap, berhasrat memergoki persembunyian macan. Cericit ribuan kelelawar yang terkejut tertimpa cahaya senter, gaduh, terbang riuh dalam goa. Santo mencari ceruk yang paling gelap dengan harapan bersua macan yang bersembunyi di dalamnya. Sendirian Santo memasuki ceruk goa terjauh, gelap, dan sesekali terpeleset, jatuh, telentang, dengan senapan terpental dari tangan. Bangkit kembali.
Kedua teman Santo menunggu di mulut goa. Santo terus menjelajah dan menyelinap ke dalam goa dan berharap bertemu dengan macan yang pernah terlihat orang-orang desa. Dua sahabat Santo cemas dan gelisah. Mereka berkeinginan meninggalkan pintu goa. Meninggalkan Santo sendirian di dalam goa, malacak, membidik, dan menembak macan yang diburunya. Mereka merasa lelah, lapar, dan haus. Makanan dan minuman yang mereka bawa sudah lama habis. Tinggal beberapa botol minuman keras, yang sedianya akan mereka minum untuk merayakan kemenangan setelah macan ditembak. Minuman keras itu akan mereka tenggak menjelang perjalanan pulang.
Tergoda untuk menenggak minuman keras, dua sahabat Santo saling pandang, mencari kesepakatan. Seseorang–yang bertubuh gempal pendek–mengambil botol minuman keras itu dari ransel, memandanginya. Masih berusaha menahan diri. Letih. Tubuh lusuh. Lapar. Haus. Cemas. Iseng-iseng dibuka tutupnya. Buih meluap. Dijilatinya. Ditenggak seteguk. Ditenggak lagi. Ditenggak langsung dari mulut botol. Tinggal separuh. Duduknya kian merosot. Merasakan pandangan yang bergoyang. Kesadarannya melayang, dan rasa cemas itu lenyap. Tergerak keinginan untuk menuntaskan menenggak habis isi botol itu. Tangannya tergerak, menuang isi bir ke dalam mulutnya. Tandas. Tak setetes pun tersisa.
Seorang teman yang lain–bertubuh kurus jangkung–mula-mula bisa menahan diri. Ia tak tahan, ingin menenggak bir itu. Ia sudah menimang-nimang botol, membuka tutupnya, menjilati buih di mulut botol, dan menenggaknya pelan-pelan, dengan kesadaran untuk mencicipi. Masih setengah botol bir terisa. Ia menjaga kesadarannya. Ia tak ingin mabuk seperti si gempal pendek, yang terdiam terkulai. Ia menanti Santo keluar dari pintu goa dengan memanggul macan buruan. Sambil menunggu, ia menenggak isi botol minuman keras itu: seteguk dan seteguk lagi. Ia terkesima setelah tak mengalir lagi bir dari mulut botol. Ia masih terjaga. Tetapi separuh jiwanya melayang.
Terdengar suara tembakan dari dalam goa. Sekali. Senyap. Sekali lagi. Lama sunyi. Si kurus jangkung masih tersadar, melongok ke mulut goa. Tetapi ia tak ingin menyusul Santo. Tak ingin bergerak memasuki goa pengap. Si gempal pendek tak lagi memiliki perhatian terhadap Santo. Ia memang tidak meracau. Tetapi tak peduli lagi terhadap suara tembakan itu. Tak peduli apa pun dengan keadaan di sekitarnya.
***
”MANA macan itu?” tanya si kurus jangkung saat Santo berpeluh, lusuh, bergetar, perlahan-lahan muncul dari dalam goa.
Santo terdiam, menggeleng, mengatur napasnya. ”Tak ada. Yang kutembak tadi ular besar yang menyerangku. Kalau aku disambarnya, akan jadi mangsanya. Siapa pun tak bisa menyelamatkanku.”
Si kurus jangkung memasuki goa, mengarahkan senter, menjelajah sudut-sudut goa. Di antara kepak sayap kelelawar yang sesekali menghalangi pandangan, ia melihat bangkai ular piton, sebesar batang pohon kelapa, melingkar, dengan kepala mengalirkan darah. Si kurus jangkung tidak segera meninggalkan bangkai ular itu. Ia masih saja memandangi bangkai ular. Ia merasakan pandangannya mulai bergoyang. Mabuk? Ia bertahan agar tetap sadar.
Keluar dari goa, si kurus jangkung tercengang, melihat Santo menenggak tuntas bir dari botolnya. Santo melempar botol kosong, dengan ringan, jatuh menggelinding tak jauh dari mulut goa.
”Hampir gelap,” kata Santo, sambil memandangi pepohonan di hadapannya.
”Aku mesti menembak macan itu. Kalau gagal, aku kalah bertaruh dengan Ki Broto.”
Ketiga pemburu mabuk itu belum meninggalkan mulut goa. Hutan mulai gelap, lembab, dan berkabut. Tak terlihat lagi burung elang yang berkitar-kitar di atas hutan–mungkin sudah kembali ke sarang. Celeng berkelebat begitu cepat, mendadak muncul dan mendadak lenyap. Tak seorang pun membidik dan menembak celeng itu. Dibiarkan celeng itu menyusup lenyap dalam rimbun semak belukar.
”Kita berpencar!” ajak Santo. Bangkit terhuyung-huyung, berjalan seorang diri meninggalkan si kurus jangkung dan si gempal pendek. Ia menyusup ke dalam hutan, dengan senapan di tangan, dengan hasrat untuk menembak macan, dalam sisa waktu senja, sebelum hutan menjadi gelap dan berkabut pekat. Ia mulai dijangkiti rasa cemas, gentar, dan pandangan yang bergoyang karena pengaruh bir yang ditenggaknya. Ia tak ingin kembali dari hutan dengan kekalahan di hadapan Ki Broto, dan bakal kehilangan muka.
Si kurus jangkung menguntit Santo menyusup ke dalam hutan. Langkahnya mencapai pohon randu gumbala berumur ratusan tahun–yang bergurat cakaran-cakaran macan. Dia menyandarkan senapannya. Duduk. Ia merabai botol bir dalam ransel. Mengambil sebotol, menenggaknya pelan-pelan, dengan mata terpejam. Tubuh si kurus jangkung goyah. Pandangannya memudar. Ia merasakan kegembiraan yang menyelinap dalan hati. Ia melupakan perburuan macan.
Masih duduk di mulut goa, si gempal pendek menenggak isi botol bir pelan-pelan. Ia malas mengikuti Santo berburu macan menyusup ke dalam hutan. Ia ingin menuruni lereng gunung sebelum hari gelap. Sambil menunggu Santo berhenti dari perburuannya, ia menenggak bir, menikmati seteguk dan seteguk lagi. Ia tak ingin mengikuti Santo berburu macan. Hutan menjadi gelap dan tentu macan itu telah menjauh ke dalam persembunyiannya.
Tergeragap, si gempal pendek melihat semak-semak bergoyangan, dan bangkit rasa kecurigaannya. Dalam benaknya berkembang anggapan seekor macan bersembunyi di balik semak akan menerkamnya. Gugup, ia meraih senapan. Membidik ke arah semak-semak yang bergoyangan. Menembak. Terdengar pekik pendek. Semak-semak itu berhenti bergoyangan. Si gempal pendek dengan langkah goyah mendekati semak-semak yang senyap. Si kurus jangkung terhuyung-huyung berlarian kecil menyibak semak-semak, dan memekik, ”Gila! Kau tembak mati Santo!”
***
DUA orang itu terduduk lunglai. Si gempal pendek merasa berdosa. Memandangi Santo yang terkapar, tanpa napas. Terbeliak. Mulutnya menganga. Senapan tergeletak di sisinya. Si gempal pendek masih belum tersadar dari perbuatannya: menembak sahabat sendiri. Si kurus jangkung memotong bambu. Membuat tandu. Si gempal pendek masih terdiam memandangi sahabat yang ditembaknya sendiri. Hari berangkat malam ketika mereka mengusung jasad Santo. Dalam gelap mereka mencari jalan keluar dari hutan, menuruni lereng gunung. Kabut mulai pekat.
Mereka terus berjalan. Tetapi tak pernah bisa keluar dari dalam hutan. Kehilangan arah. Si gempal pendek yang berjalan di depan, belum pulih kesadarannya untuk menemukan jalan meninggalkan hutan. Lelah, putus asa, si gempal pendek berhenti, menurunkan tandu dari pundaknya. Duduk. Berdiam diri.
Si kurus jangkung sempat memandangi pohon besar yang menaungi mereka. Dengan lampu senter ia menerangi batang pohon besar itu. Ia tercengang. Melihat bekas cakaran-cakaran kuku macan di batang pohon tua itu. Ia tersentak, masih berada di bawah pohon randu gumbala. Masih tergeletak botol bir kosong di dekat mereka. Ia merasa letih berjalan jauh, lama, dan tak ke mana-mana.
Mereka berdiam diri. Dalam pekat kabut menggenang itulah ia mendengar walang kerik dari empat penjuru mata angin, yang menenangkan hatinya. Ia sempat menajamkan pendengaran dan pandangan. Dari jauh ia mendengar suara orang-orang bercakap-cakap. Terlihat lampu senter bersilangan, tersekap pekat kabut.
Hati si kurus jangkung lega melihat Ki Broto mendekat bersama beberapa lelaki desa. Sambil mengucap mantra, Ki Broto menepuk bahu si kurus jangkung dan si gempal pendek. Tepukan bahu itu memberikan kesadaran dan ketenangan hati mereka.
”Mari, kita pulang! Sudah larut malam! Jip kalian tak jauh dari sini. Terus berjalan, jangan hiraukan apa pun yang kalian dengar!” kata Ki Broto.
Si kurus jangkung dan si gempal pendek kembali menandu jasad Santo. Langkah-langkah mereka begitu pasti. Beberapa langkah meninggalkan randu gumbala, terdengar suara aum macan. Auman geram macan itu menggetarkan hutan, begitu dekat, mengancam di belakang punggung mereka.
________________________
S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi ”Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.