Pelatih atletik di daerah belum banyak yang memahami pentingnya latihan otot inti tubuh sebagai fondasi mengembangkan kemampuan atlet. Latihan ”core” itu sangat penting bagi atlet untuk mencapai performa terbaiknya.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Latihan memperkuat otot inti tubuh atau core muscles adalah elemen penting dalam latihan atletik. Namun, latihan core belum menjadi menu utama latihan di sejumlah pemusatan latihan daerah. Akibatnya, tak sedikit atlet daerah yang cedera ketika menjalani latihan performa tinggi di pemusatan latihan nasional.
Di pelatnas atletik PB PASI, sejumlah atlet remaja dan yunior cedera hamstring (sejumlah otot paha belakang) karena otot inti tubuhnya belum kuat. Mereka rata-rata baru bergabung di pelatnas tahun ini. Otot inti tubuh atau core muscles merupakan otot di daerah perut, pinggang, dan sekitarnya yang berperan besar dalam stabilisasi gerakan tubuh.
Sprinter asal Bangka-Belitung, Muhammad Ardiansyah, ditemui setelah latihan di Stadion Madya, kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Jumat (18/10/2019), mengatakan, dirinya mengalami cedera hamstring kanan ketika mengikuti final 100 meter Kejuaraan Asia Remaja 2019 di Hong Kong pada 15 Maret 2019. Walau cedera, ia tetap menyelesaikan lomba dan mencatat waktu terbaik personal 10,95 detik.
Namun, pascalomba, Ardiansyah harus melakukan pemulihan kurang lebih dua minggu. Selang beberapa hari kemudian, dia cedera ankle atau pergelangan kaki kanan dan harus melakukan pemulihan hingga empat bulan.
”Akibat cedera itu, saya batal ikut ASEAN School Games 2019 di Semarang (pada 17-25 Juli 2019),” ujarnya.
Ardiansyah menuturkan, setelah berkonsultasi dengan tim pelatih dan fisioterapi, dirinya mengalami cedera itu karena sejumlah otot inti belum siap untuk mengikuti sejumlah latihan teknik di pelatnas. Padahal, latihan teknik menjadi menu latihan paling dominan di pelatnas.
”Latihan teknik ini perlu tubuh yang stabil dan dinamis (lentur). Nah, itu dilatihnya dengan latihan core,” ujarnya.
Menurut Ardiansyah, selama di daerah, latihan core tidak benar-benar diperhatikan. Biasanya, atlet diminta latihan core setelah latihan menu latihan utama. Namun, durasinya sangat singkat dan hanya melakukan gerakan saja.
”Di pelatnas, latihan core kami dibenerin. Latihan core dilakukan lebih khusus lima kali dalam seminggu. Durasinya bisa sampai 2 jam per latihan dan gerakannya sangat banyak, lebih dari 30 gerakan,” ujarnya.
Sprinter asal Semarang, Adit Rico Pradana, juga cedera hamstring kanan ketika latihan interval 200 meter, 150 meter, dan 120 meter, sepekan lalu. Ia merasa ada otot tertarik di paha belakang kanan setelah menyelesaikan lari 120 meter.
”Karena cedera itu, saya tidak bisa lari 100 persen. Lari cuma bisa 90 persen dan cuma bisa sekali saja. Kalau mau melakukan lari kedua, sakitnya terasa sekali,” ujarnya.
Dia cedera karena tubuhnya belum siap mengikuti tingginya intensitas latihan teknik di pelatnas. Hal itu akibat kurang latihan core selama di daerah.
”Di daerah dulu, kami jarang latihan core maupun latihan teknik. Kami latihan core cuma sekali seminggu. Selebihnya, kami lebih banyak latihan beban untuk membentuk otot besar,” kata Rico.
Merasakan manfaat
Menurut para atlet, latihan core sangat berat. Latihan itu terdiri atas sedikitnya 30 gerakan. Setiap gerakan dilakukan rata-rata 30 detik. Gerakan itu antara lain front plane holds, side plane holds, 45 degree hold, dead bug, alternating crunch hold, reverse incline plane, gulte hold, dan prone pass.
”Semua gerakan itu terlihat sederhana, tetapi ketika dilakukan sangat menyiksa, terutama untuk yang baru melakukannya,” tutur Ardiansyah.
Meskipun demikian, para atlet tetap melakukan semua menu latihan core itu. Karena dengan rutin melakukannya, lama-lama mereka pun terbiasa dengan latihan tersebut. Bahkan, mereka sudah merasakan banyak manfaat dari latihan tersebut, antara lain membuat tubuh lebih stabil (mantap) dan dinamis (lentur). Hal itu turut membuat meningkatkan kecepatan.
Ardiansyah mengatakan, setelah rutin melakukan latihan core dan teknik di pelatnas, dirinya bisa mencapai catatan waktu terbaik 10,95 detik di Kejuaraan Asia Remaja 2019. Padahal, selama di daerah, dia hanya mencatat waktu terbaik 11,50 detik.
”Bahkan, kalau tidak cedera kemarin, mungkin saya bisa mencatat waktu 10,80 detik,” ujar atlet yang baru bergabung ke pelatnas pada awal tahun ini tersebut.
Sementara itu, Rico yang bergabung pelatnas pertama kali Juni lalu bisa mencatat waktu terbaik 10,56 detik ketika meraih emas 100 meter kategori yunior (U-20) Kejuaraan Nasional Atletik 2019. ”Walau belum sempurna, latihan core dan teknik yang saya lakukan selama di pelatnas ini sudah terasa memberikan manfaat positif untuk lari saya. Paling tidak, saya bisa mencatat waktu terbaik karena hasil latihan di pelatnas,” ujarnya.
Pelatih kepala sprint PB PASI Eni Nuraini menjelaskan, latihan core itu berfungsi untuk memperkuat otot inti atau otot-otot kecil yang ada dari wilayah dada, perut, pinggul, hingga paha. Otot inti itu berfungsi untuk memperkuat keseimbangan atau stabilitas dan kedinamisan atau fleksibilitas tubuh pelari. Dengan demikian, pelari bisa melakukan teknik berlari dengan benar dari awal start sampai finis.
”Latihan core adalah komponen utama yang bisa membuat pelari semakin cepat. Ada teori yang menyebutkan core training for faster training,” tutur Eni.
Namun, Eni melanjutkan, latihan core belum terlalu dipedulikan di sejumlah daerah. Untuk itu, ke depan, PB PASI akan menyosialisasikan ke pelatih-pelatih daerah agar mulai mengutamakan latihan core.
”Kalau core-nya sudah bagus dari daerah, para atlet itu bisa langsung adaptasi dengan latihan yang ada di pelatnas saat dipanggil ke pelatnas. Secara tidak langsung, proses perkembangan mereka bisa lebih cepat,” ujar Eni.