Pasar properti segmen atas belum menunjukkan tanda-tanda bangkit. Insentif pajak bagi hunian mewah yang digulirkan pemerintah pada pertengahan tahun belum berdampak signifikan terhadap pergerakan pasar.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Pasar properti segmen atas belum menunjukkan tanda-tanda bangkit. Insentif pajak bagi hunian mewah yang digulirkan pemerintah pada pertengahan tahun belum berdampak signifikan terhadap pergerakan pasar.
Di tengah pelemahan pertumbuhan properti kelas atas dalam empat tahun terakhir, pasar primer hunian mewah dengan harga di atas Rp 5 miliar per unit tertekan. Kenaikan nilai investasi yang tipis dan beban pajak properti mewah yang mencapai 40 persen membuat konsumen cenderung menahan diri untuk membeli properti di segmen ini.
Pada pertengahan 2019, pemerintah membebaskan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan Pajak Penghasilan (PPh 22) untuk proyek hunian mewah dengan harga di bawah Rp 30 miliar per unit. Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 88/PMK.010/2019, serta PMK No.92/PMK.03/2019.
Adapun untuk unit apartemen sangat mewah dengan harga di atas Rp 30 miliar per unit atau luas bangunan lebih dari 150 meter persegi, pemerintah memangkas tarif PPh 22, yakni dari 5 persen menjadi 1 persen. Pemangkasan PPh22 itu juga diberlakukan untuk rumah tapak dengan harga di atas Rp 30 miliar atau luas lebih dari 400 meter persegi.
Selama ini, jumlah proyek hunian mewah sangat terbatas terhadap keseluruhan proyek properti. Kendati demikian, kapitalisasi yang dihasilkan dari hunian mewah cukup signifikan. Kebijakan insentif pajak hunian mewah itu diharapkan menggerakkan pasar properti secara keseluruhan.
Namun, pergerakan pasar properti mewah rupanya belum terlihat. Konsultan properti JLL merilis, pasar properti segmen atas yang mulai bergeliat pada triwulan III-2019 yakni berkisar pada harga Rp 2 miliar-Rp 4 miliar per unit.
Adapun hunian mewah dengan harga di atas Rp 5 miliar per unit masih cenderung tertahan. JLL menyinyalir, investor di segmen atas masih menunggu dan melihat situasi politik.
Di sisi lain, terjadi persaingan pasar primer hunian mewah dengan pasar sekunder yang lokasinya premium dan menawarkan harga jual kompetitif. Di pasar sekunder, hunian mewah di lokasi favorit, seperti di kawasan pusat bisnis (CBD) Jakarta, Menteng, dan Pondok Indah, diincar konsumen.
Dengan pergerakan pasar yang masih lamban, penjualan properti segmen mewah cenderung stagnan. Per triwulan III-2019, tingkat rata-rata penjualan hanya 64 persen.
Dari sisi pasokan, proyek baru hunian di segmen mewah juga belum bergeliat karena pengembang masih mencermati situasi pasar. Berdasarkan data Colliers International Indonesia, pasokan baru apartemen hingga 2022 sebanyak 248.790 unit. Dari jumlah itu, suplai apartemen mewah dengan harga Rp 10 miliar-Rp 30 miliar per unit hanya 999 unit atau 0,4 persen dari total pasokan.
Sebaliknya, arah pasar segmen atas mulai bergeliat pada proyek-proyek residensial di dekat atau memiliki akses langsung ke moda raya terpadu (MRT) Jakarta. Proyek properti segmen menengah atas yang mendekati akses transportasi publik menjadi pilihan investor. Setidaknya ada 10 proyek kondominium segmen menengah atas yang dekat dan memiliki akses langsung ke MRT Jakarta.
Bak siklus, investasi properti segmen atas di Indonesia biasanya melamban menjelang pemilu, lalu setahun setelah perhelatan politik itu usai pasar kembali bergeliat. Kita menunggu pergerakan pasar hunian mewah pada tahun depan untuk turut mendorong kapitalisasi pasar properti.
Konsumen properti yang semakin selektif akan melahirkan keseimbangan baru pasar properti. Investasi properti yang lebih rasional diharapkan menghadirkan iklim pasar yang lebih sehat dan harga yang lebih kompetitif. (BM Lukita Grahadyarini)