PUISI
Alpha Hambally
Sirip
Di dalam kitab biologi, tak pernah tercatat gairah mudaku.
Maka kukarang kitab reproduksi, supaya ketika aku
melaju tua kering, garam dan kristal tetap membentangkan ¬
arus menuju pulau hitam rekaanku yang tersembunyi
berabad-abad di dalam cangkang kerang.
Ke sanalah kubawa seluruh hidupmu, menyigi hujan
malam yang membias purnama, bercinta di balik
terang terumbu, kadang tuntas, kadang gagal karena
tergores runcing karang yang lantas membawa kita
kembali pada masa lampau melalui lubang ular di dasar
palung dan kita mengintip waktu tercipta dari ledakan
metana.
Kita masuk di sela-sela radiasi, barangkali itulah jalur
menuju awal mula, tempat mengamati leluhur kita
merapikan galaksi ke dalam rasi dan berharap ia
mengajak kita tinggal di luar materi, supaya kita bisa
mengawasi jala dan umpan yang datang dari balik
langit.
Dan ingatkah kau, ketika telah berada di sana, kita
malah berupaya kembali melalui jalur yang lain,
menerobos minyak dan merkuri, terbasuh biru dan
merah yang meruang di kesunyian kosmos, serta
menyusun tulang-tulang kita dari lumpur dasar samudra,
untuk menelisik serba-serbi silsilah sisik, hijau mata
dan upaya pikiran kita selama ini yang mendesakkan
seluruh arti di dalam badan yang tak mampu menuntun
arahmu lagi.
Tapi seluruh arus telah berubah jalur ketika kita
kembali, sementara kau terus berkata ingin mendaki
sebuah bukit di pulau hitam rekaanku sembari
meneruskan kitab reproduksi yang kerap tertunda ini.
2019
Belalai
Setelah kupetik sebutir apel merah di ranting khayali,
seharusnya ususmu mau menggandrungi dagingnya,
genap dengan gravitasi yang bakal menuntun
pencernaanmu mengembalikan biji kepada muasal.
Tapi ketika kau menelannya, proteinnya malah
berputar-putar di balik lidahmu.
Setelah kuisap seluruh mineral dari lambung bumi,
seharusnya kau tak lagi merana, karena kita bisa
menciptakan telaga milik sendiri, melalui semburan
yang juga memunculkan ikan-ikan bercahaya dan lima
ratus satelit yang akan mengelilingi mereka berenang
sampai mereka sadar bahwa mereka telah mengelabui
diri masing-masing.
Kupanggil kupu-kupu hinggap, membawa seberkas
panas di dalam setetes sari supaya lanskap kembara kita
berubah menjadi padang kembang. Kukatakan pada
seekor lebah, ”Oi lihatlah badan ini dapat menari ketika
sepasang lubangku mulai bisa menetaskan susu sapi
dan madumu.” Tapi kau masih saja meringis. Makan
dan minum pun patah selera. Jadi apa sudimu, pemalas,
yang hanya tidur sepanjang tahun?
2019
Burung Walet
Sebelum aku berhasil menenteramkan gejolak sanubari
berkat bau pagi, seberkas cahaya menuntunku menuju
persembunyian di celah goa dan selalu saja kudengar
suaraku sendiri bergemuruh di balik dinding terjal yang
membujukku kembali ke dalam ajal.
Semestinya sepasang sayapku adalah milik sepi jika
terkatup dan milik lazuardi jika terbentang sebagai
petang, tapi ia malah bergerak sendiri memasuki
relung yang tak kukenali, membuaiku dalam tidur
panjang dan memaksaku untuk bermimpi.
Semenjak itu paruhku tak pernah lagi berhenti
melepaskan berlapis-lapis dahaga yang kutelan sejak
lama. Kubiarkan ia menyusun makna di atas tumpang
tindih waktu dalam rajut warna kelabu dan lembap hari,
karena apabila ditahan, aku semakin tak menemukan
jalan pulang.
Aku terbangun dengan ludah terakhir yang telah
menetes membentuk bayanganku. Ia pun terbang
menuju awang-awang, menuju bulan yang padam.
Bayangan yang tak akan kembali karena ia mengerti
bahwa kenyataan pun telah mengelabui nasibnya.
Aku pun kemudian terbang tanpa keinginan, tanpa
kenyataan, mengikuti suara di balik dinding terjal yang
membujukku kembali ke dalam ajal bersama sebuah
kombinasi dan perulangan.
2019
Wayan Jengki Sunarta
Karena Kemolekan Landak
– untuk Warih Wisatsana
karena kemolekan landak
dengan bulu-duri berkelindan
dalam sajakmu
kususuri lagi jalan setapak
yang pernah kita tempuh
di bawah musim paceklik
yang mencekik hidup kita
di sini tak ada lagi sawah menguning
burung-burung pipit entah ke mana pergi
barangkali bunuh diri di celah-celah batu
sebelum kemarau menyentuh tubuhnya
nun jauh di situ kulihat kau gamang
menjulurkan tangan ke ambang petang
menerima usia tua memang
tidak sesederhana menuang
kata ketika waktu senggang
maka kususuri setapak ini
berharap berjumpa landak molek
dan kau tak perlu lagi
merunut cerita hingga akhir kata
tak ada nama kita tertera di situ
meski tubuh makin lengang
dan jauh dari remang bayang
dara jelita dalam sajakmu
karena kemolekan landak
yang duri mumpuninya
tak pernah kupahami
aku mengukur langkah pasti
agar mata kaki
menuntunku kembali
tiba di halaman rumah
tiada kuduga seekor landak molek
sepenuh kasih berbagi duri
dalam rimbun belukar mawar
maka kubiarkan saja senja
membawa cahaya tuanya
(2019)
Sihir Putri Duyung
tahukah kau,
mata jelita
putri duyung itu
telah menyihirku
di waktu lampau
ia ubah hari-hariku jadi aliran sungai
aku berenang riang seperti bocah dusun
aku susuri sumber airmatanya
ia kutuk mimpi-mimpiku jadi lumpur
di mana aku pun lebur
dalam kubangan waktu
penungguan
putri duyung itu pernah
menggelinjang
di hampar ranjang
mata indahnya berlinang
merindukan sungai
kini, aku kembali
terkenang
lekuk tubuhnya
bagai lika-liku sungai
teringat airmatanya
menenggelamkan aku
tanpa sisa
(2016/2019)
Alpha Hambally lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Desember 1990. Menamatkan pendidikan di Departemen Fisika ITS Surabaya. Kini tinggal dan bekerja sebagai penulis dan editor lepas di Jakarta.
Wayan Jengki Sunarta lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Buku kumpulan puisinya antara lain Montase (2016) dan Petualang Sabang (2018).