Perang dagang yang berkepanjangan melawan Amerika Serikat serta gejala melemahnya permintaan domestik diperkirakan dapat memberikan tekanan lebih besar bagi perekonomian China.
Oleh
BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
BEIJING, SABTU — Perang dagang yang berkepanjangan melawan Amerika Serikat serta gejala melemahnya permintaan domestik diperkirakan dapat memberikan tekanan lebih besar bagi perekonomian China. Tanda-tanda itu membentang setelah data terbaru ekonomi China menunjukkan pertumbuhan ekonominya pada triwulan III-2019 tumbuh 6,0 persen, capaian pertumbuhan triwulan kedua terendah dalam hampir tiga dekade terakhir.
Dengan capaian pertumbuhan 6,0 persen itu, secara triwulanan ekonomi China melambat sekitar 0,02 persen. Pada triwulan II-2019, data Biro Statistik Nasional (NBS) China menunjukkan bahwa ekonomi China tumbuh 6,2 persen. Angka pertumbuhan 6,0 persen itu sejalan dengan survei kantor berita AFP atas 13 analis beberapa waktu lalu. Diproyeksikan kala itu bahwa ekonomi China akan mengalami fase triwulanan terburuk sejak 1992 dalam kisaran target pertumbuhan 6,0-6,5 persen sepanjang tahun ini. Ekonomi China sepanjang tahun lalu tumbuh 6,6 persen secara tahunan.
Mengingat China sebagai salah satu pendorong utama pertumbuhan global bersama AS, pelambatan ekonomi China teraktual itu menambah kekhawatiran tentang ekonomi dunia. Pada saat yang sama di dalam negeri China muncul spekulasi bahwa pihak berwenang akan meluncurkan stimulus baru menyusul serangkaian langkah-langkah lain dalam beberapa bulan terakhir.
Juru bicara NBS Mao Shengyong mengatakan, ekonomi China menunjukkan adanya stabilitas. Namun, ia menyatakan, ”Kita harus menyadari bahwa mengingat kondisi ekonomi yang rumit dan parah baik di dalam maupun luar negeri, pertumbuhan ekonomi global yang melambat, dan meningkatnya ketidakstabilan eksternal dan ketidakpastian, ekonomi (China) menunjukkan adanya tekanan ke bawah.”
Dinyatakan bahwa layanan dan manufaktur teknologi tinggi tetap berada di fase pertumbuhan. Pada saat yang sama, lapangan kerja di negeri itu diklaim stabil secara umum. Beijing telah meningkatkan dukungan bagi perekonomiannya lewat langkah pemotongan pajak besar dan upaya memudahkan bank untuk meningkatkan pinjaman. Langkah-langkah itu termasuk pengurangan jumlah uang tunai yang harus mereka simpan sebagai cadangan.
Tengah pekan ini Bank Sentral China mengatakan akan memompa 200 miliar yuan (28 miliar dollar AS) ke dalam sistem keuangan melalui fasilitas pinjaman jangka menengah kepada bank. Hal itu sebagai upaya untuk menjaga likuiditas di pasar keuangan.
Namun, upaya tersebut belum cukup untuk mengimbangi pukulan dari pelemahan permintaan di dalam negeri. China beberapa tahun terakhir memang berupaya mendorong perubahan ekonominya, dari dorongan utama melalui ekspor dan investasi, menjadi lebih didukung oleh konsumsi domestik.
Konflik perdagangan AS-China dan lemahnya permintaan domestik mendorong Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan perkiraan pertumbuhan 2019 untuk China, dari 6,2 persen menjadi 6,1 persen, pada Selasa lalu. Data terbaru menjelang akhir pekan ini menunjukkan pelemahan lebih lanjut dalam perekonomian negeri itu.
Pekan ini Beijing mencatat angka impor dan ekspor yang lebih lemah daripada perkiraan untuk September. Hal itu muncul setelah Washington memberlakukan tarif baru dalam perang dagang mereka yang sudah berjalan lebih dari 1,5 tahun terakhir ini. Data terbaru pada Jumat menunjukkan output industri naik 5,8 persen dari 4,4 persen pada Agustus, ditopang oleh lonjakan permintaan untuk panel surya dan kendaraan listrik.
Namun, investasi tetap turun menjadi 5,4 persen secara tahunan untuk periode Januari-September, dari capaian 5,5 persen pada periode Januari-Agustus. Ini seiring dengan peringatan Pemerintah China atas risiko pinjaman berisiko untuk membangun jalan dan jembatan yang secara artifisial dapat memompa PDB dalam jangka pendek.
Konsumen China mulai membuka kembali cadangan mereka, ditunjukkan dengan penjualan ritel yang naik 7,8 persen dalam setahun pada September, dibandingkan dengan 7,5 persen pada Agustus. Namun, aktivitas di sektor manufaktur secara krusial terus terkontraksi bulan lalu, terutama karena perang dagang Beijing-Washington.
”Data terbaru itu menunjukkan kondisi perekonomian China yang tengah berjuang guna menghasilkan permintaan di tingkat domestik,” kata Michael Hewson, seorang analis di CMC Markets di Inggris.
Pengeluaran belanja untuk infrastruktur—pilar utama pertumbuhan—juga diperkirakan menurun karena China berusaha mengendalikan tingkat utangnya, kata Julian Evans-Pritchard dari Capital Economics. ”Kami memperkirakan kebijakan moneter akan dilonggarkan dalam waktu lama sebagai respons, tetapi akan membutuhkan waktu guna meletakkan dasar bagi pertumbuhan ekonomi China,” kata Evans-Pritchard. (AFP)