Milenial NTB Sasar Luar Negeri Guna Bekal Mandiri di Rumah Sendiri
Nusa Tenggara Barat berbenah. Dikenal sebagai salah satu kantong pekerja migran, anak muda di daerah itu kini merantau demi kualitas sumber daya manusia mumpuni guna mandiri membangun daerahnya sendiri.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·5 menit baca
Nusa Tenggara Barat berbenah. Dikenal sebagai salah satu kantong pekerja migran, anak muda di daerah itu kini merantau demi kualitas sumber daya manusia mumpuni guna mandiri membangun daerahnya sendiri.
Kurang empat hari menjelang keberangkatannya ke China atau Rabu (23/10/2019), Dewi Sartika (17) disebut punya perbendaharaan kata yang cukup. Pengajarnya, Cui-cui Li, mengatakan, semangat belajar Tika terbilang tinggi. Tika tak pernah absen belajar Senin-Jumat, kecuali waktu libur, dua sesi per hari. Pukul 09.00-11.00 Wita dan pukul 14.00-16.00 Wita.
Hasilnya, Tika kini memiliki lebih 100 kata Mandarin, seperti ayah, ibu, mempersilakan, dan mohon maaf kepada orang lain. Modal awal yang cukup untuk berkomunikasi dengan orang-orang di negara ”Tirai Bambu”.
”Sudah dua minggu saya mengajar Tika. Dia pintar, cepat menerima dan mengucapkan kata-kata bahasa baru,” kata Li, mahasiswa program Master asal China, yang datang ke NTB atas undangan Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) NTB, belum lama ini.
Tika adalah salah satu wajah masa depan NTB. Dia lolos sebagai penerima beasiswa luar negeri yang digagas Pemprov NTB lewat program NTB Gemilang. Lewat program itu, anak-anak muda NTB dikirim belajar ke Polandia, China, Taiwan, dan Malaysia, untuk menuntut ilmu. Tika, warga Dusun Sukamulia, Desa Pohgading, Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, bakal belajar di program studi Logistic Manajemen di Beijing Wuzi University, China.
”Di tengah perdagangan dunia yang semakin pesat, ahli logistik di Indonesia belum banyak. Pasti ilmu itu akan berguna diterapkan di sini kelak,” kata Tika.
Di tengah perdagangan dunia yang semakin pesat, ahli logistik di Indonesia belum banyak. Pasti ilmu itu akan berguna diterapkan di sini kelak.
Gubernur NTB Zulkieflimansyah mengatakan, program studi dan penerima beasiswa ke China terinspirasi langkah SMKN 2 Sumbawa di Sumbawa Besar. Sekolah itu, sejak 2015, mengirim siswa untuk belajar ke China. Tahun 2018, ada 20 siswa belajar ke sana.
Kini, saat Pemerintah China memberikan kuota 1.000 orang bagi anak-anak NTB menempuh perguruan tinggi mulai tahun lalu, kesempatan itu tidak disia-siakan. Sejauh ini, sudah 41 orang yang menjadi peserta NTB Gemilang menempuh pendidikan S-1, S-2, dan S-3 di China dan Taiwan.
”Ini program sangat baik. Oleh sebab itu, harus kita manfaatkan,” ujar Zulkieflimansyah, kepada para Kepala Sekolah SMA dan SMK, Selasa (15/10) di Mataram, Lombok, dalam acara sosialisasi Beasiswa NTB Keluar Negeri Kategori B S-1 tujuan China. Di kategori B, sebagian biaya sekolah ditanggung orangtua dan sebagian disediakan Pemprov NTB.
Langkah itu seperti oase segar menekan stigma NTB sebagai kantong pekerja migran Indonesia. Luar negeri menjadi alternatif setelah tak mudah bertarung di negeri sendiri. Ironisnya, tidak sedikit pekerja migran merantau dengan keahlian seadanya. Tahun 2018, ada sekitar 23.000 orang NTB jadi pekerja migran.
Kepala Divisi Kerja Sama LPP NTB Imanuela Andilolo mengatakan, sebelum mengikuti kuliah, peserta lolos seleksi akan mengikuti program Pendidikan bahasa Mandarin selama setahun. Calon mahasiswa harus lulus standar kemahiran berbahasa Mandarin HSK 1, 2, 3.
Tak sedikit siswa berasal dari keluarga tak mampu, tetapi punya keinginan kuat mengubah jalan hidupnya. Tika, misalnya, anak buruh tani dan pedagang kaki lima. Hidup mereka tidak mudah. Sepeser rupiah harus diraih lewat kerja keras.
Tika dan keluarganya adalah potret penduduk miskin di NTB. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik NTB, hingga Maret 2019, jumlah penduduk masuk kategori miskin sebanyak 735.960 orang (14,56 persen). Jumlah itu meningkat jika dibandingkan dengan September 2018. Saat itu, jumlahnya 735.620 (14,63 persen), atau naik 0,07 persen.
Sepulang sekolah, Tika ikut ibu berjualan urap pecel dan plecing kangkung di warung depan rumahnya. Di hari libur, bukan waktu yang tepat untuk bersantai. Dia tetap bekerja bersama ayahnya, jadi buruh serabutan di kebun dan sawah orang. Penghasilan orangtuanya tak lebih dari Rp 100.000 per hari.
Tidak hanya itu, dia juga berwirausaha. Ilmu logistik sederhana sudah ia tekuni beberapa tahun lalu. Bermodal telepon seluler pemberian saudaranya, ia jadi reselller dalam jaringan (daring). Tika membeli produk seperti busana perempuan dan parfum kemudian dijual lagi dengan harga lebih tinggi. Hasilnya manis. Dia bisa menabung. Total tak sedikit, mencapai Rp 30 juta.
”Uang itu menjadi bekal untuk nanti belajar di China,” kata lulusan SMAN Aikmel, Lombok Timur, berjarak sekitar 50 kilometer dari Mataram, ibu kota NTB.
Tidak hanya mengumpulkan uang sejak jauh hari, mimpi itu sejak lama dibangun lewat kemauannya belajar bahasa asing. Sejak SMP dia belajar bahasa Inggris mandiri melalui telepon seluler. Dia bahkan bersahabat dengan Rod Matthews (72), asal Cardiff, Wales, lewat koneksi internet.
”Saya minta Pak Rod pake bahasa Inggris formal, biar saya bisa belajar tata bahasa,” tuturnya.
Belum puas, Tika terbiasa mengajar bahasa Inggris gratis kepada puluhan siswa SD dan SMP di rumahnya. Ia juga membuat grup Whatsapp sebagai media belajar dan diskusi. Teman-teman menjadikannya selaku konsultan, terutama membuat kalimat yang benar.
Akan tetapi, semua perjuangan itu tetap saja tak lantas memuluskan langkah Tika begitu saja. Ketika dinyatakan lulus seleksi beasiswa, LPP NTB meragukan kemampuan keuangan Tika, selaku penerima beasiswa Kategori B. ”Saya tanya, katanya dia punya uang Rp 30 juta. Tapi, itu saja tidak cukup. Kuliah di China bisa sampai lima tahun,” ujar Imanuella.
Tak ingin semangat Tika pupus begitu saja, Ima berinisiatif mencari tambahan dana. Hingga akhirnya solusi itu didapat. Benar kata pepatah, benih subur tak mengenal tanahnya. Seorang pengusaha Malaysia bersedia membiayai kuliah Tika sampai selesai. Syaratnya, setelah lulus kuliah, Tika bekerja di perusahaan pengusaha Malaysia selama tiga tahun.
Tika setuju dengan syarat itu. Semua dijalani karena ada mimpi besar yang harus dituju. Selain mengangkat derajat hidup keluarga, ia ingin banyak kesejahteraan warga NTB meningkat. Dengan banyak potensi ekonomi dan perdagangan yang ada, NTB punya peluang ekonomi besar saat tata kelola dan manajemen distribusi bisa berjalan ideal.
Kemauan anak muda NTB menuntut ilmu ke luar negeri patut diapresiasi. Bila dulu generasi muda merantau kerap tanpa bekal, kalangan milenal masa kini mantap membangun mimpi lewat ilmu dari negeri seberang.