Rokat Kandung Kembar
Untuk apa lagi kau pandangi sembilan biji nangka di tadah cangkir itu? Seharusnya sudah kau buang ketika baru berjumlah empat biji, tanpa perlu ditambahi tiap bulan purnama demi menghitung usia janin yang telah tiada.
Perutmu sudah kempis. Janin yang sempat mukim di sana, yang seharusnya kini berusia sembilan bulan dan pintar menendang-nendang sudah kau bunuh. Iya, kau bunuh dalam usia tak lebih dari empat bulan!
”Tidak! Aku tidak membunuhnya!”
Setidaknya demikian anggapan keluargamu.
”Itu murni kecelakaan! Tuduhan mereka tak beralasan!”
Kecelakaan? Ow! Kau bersikeras menganggapnya kecelakaan, sementara keluargamu menganggap ada unsur keteledoran, bahkan mungkin kesengajaan. Biar kubantu kau mengingat-ingat lagi, bagaimana peristiwa itu bisa terjadi.
Purnama sudah menyembul kuning kemerahan di atas pucuk nyiur ketika suamimu datang ke kamar demi memeriksa persiapanmu. Dia mengangsurkan lipatan kain mori yang masih tergeletak di atas kasur agar segera kau kenakan. Binar matanya tak pernah surup sepanjang hari itu. Rokat kandung kembar yang sebentar lagi dilaksanakan akan menjadi penyangkal tegas ledekan teman-temannya.
Delapan tahun! Iya, selama itu dia harus menerima ledekan teman-temannya seperti menelan kulit durian, karena tak kunjung memiliki keturunan. Mereka bilang, burung dalam sarung mati tak dikubur. Yang lebih membuatnya naik pitam, (walaupun bercanda setengah menantang) kadang mereka menawarkan diri (mampu) menghamilimu dalam semalam. Gara-gara ledekan mereka juga, pamannya sendiri sempat termakan dan dia disidang dalam pertemuan tertutup bersama keluarga sepuh lain, diminta mengakui jika memang burungnya terkulai mati tak berfungsi.
”Ingin rasanya kubuktikan pada istri mereka!” geramnya sekembali dari pertemuan itu, menjinjing sisa harga diri yang tercabik. Rahangnya mengeras. Kemarahan meletup di matanya. Semerah saga.
Akibatnya, kau yang menjadi sasaran. Dengan buas dia menumpahkan kegeramannya padamu. Menyantapmu dari ujung rambut sampai ujung kaki, seperti kucing lapar menemukan ikan segar. Bahkan, setelah dua adik perempuannya menikah, dia semakin tertantang untuk segera dipanggil ayah sebelum dipanggil paman oleh keponakan. Tentu kau tidak bisa diserang dengan tuduhan mandul lagi setelah menjalani pemeriksaan ke sana kemari, dan dinyatakan ladangmu subur untuk ditanami dan dibuahi. Padahal sebelumnya, tak hanya suami, keluarganya pun, terutama ibu mertuamu, ikut menghakimi.
Menginjak tahun kedelapan pernikahan, ketika kau selalu merasa mual mencium aroma masakan untuk kemudian dinyatakan positif hamil setelah diperiksakan, dia terlonjak girang mirip ibu-ibu menang arisan. Belum pernah kau melihatnya sesenang itu. Sepasang matanya membulat binar.
Esok paginya, ibu mertuamu bergegas ke pasar dan pulang menyunggi buah nangka besar yang sudah matang. Peluh meleleh di pelipis dan leher, membasahi kebayanya. Buah beraroma menyengat dan membuatmu muntah-muntah itu dibelah hingga menjadi delapan bagian. Hanya sembilan biji yang diminta kau simpan baik-baik setelah dicuci bersih. Selebihnya, daging nangka dibuat kolak bergula merah campur serai, lalu dibagi-bagikan ke tetangga sebagai rasa syukur.
Peraturan ketat ini-itu dari mertuamu pun mulai diterapkan. Salah satu yang paling kau benci, kau dilarang memakai sandal tinggi dan dikasih sandal jepit seharga sepuluh ribuan. Padahal, dengan sandal mahal bertumit tujuh sentimeter itulah statusmu sebagai satu-satunya perempuan terpelajar di keluarga itu merasa sedikit terselamatkan, dan posturmu yang pendek-bulat tidak berkhianat dengan mengundang keminderan.
Tepat ketika purnama menyembul kemerahan dari balik pelepah-pelepah janur, ibu mertuamu datang ke kamar meminta satu biji nangka (diambil dari sembilan yang kau simpan), dan diletakkan di tadah cangkir.
”Untuk apa?” tanyamu.
”Sebagai penanda usia kandunganmu menapak satu bulan,” tersenyum.
Tadah cangkir putih susu bergambar kembang melati itu diletakkan di atas meja, dekat jendela. Siraman cahaya purnama pada biji nangka bagai guyur kebahagiaan yang membuat hidup keluargamu terasa purna.
Suamimu mulai menyusun rencana untuk mengundang teman-temannya pada acara pelet bettengnanti, setelah usia janin menapak tujuh bulan. Katanya, teman-teman yang sering mencekoki kulit durian hingga menciptakan lubang-lubang berdarah di dadanya harus mengetahui kehamilanmu.
”Biar mereka tahu kalau aku juga pejantan!” dengan wajah menang.
Kau tersenyum kecil.
Biji nangka di tadah cangkir baru dua biji ketika dua adik iparmu yang baru setahun menikah menyusul. Keduanya hamil dengan usia hampir sama.
Ada tiga tadah cangkir berisi biji-biji nangka di keluarga besarmu, hingga rokat kandung kembar harus dilakukan sebelum kenduri pelet betteng.
Apa kau masih ingat penjelasan ibu mertuamu sewaktu kau pertanyakan mengapa rokat tersebut dilakukan?
”Agar janin kami sama-sama tumbuh sehat dan lahir selamat! Tidak ada yang ’kalah’ salah satunya.”
Ha-ha-ha, dan kau tak percaya itu! Iya, kan?
”Hidup dan mati bukan manusia yang mengatur!”
Tapi manusia harus berusaha dan berdoa, dan itulah tujuan rokat sebenarnya.
”Berdoa tidak harus dengan cara jahiliah semacam itu!”
Cara jahiliah! Itulah sebab, ketika suamimu mengangsurkan lipatan kain mori yang semula masih tergeletak di atas kasur dan memintamu segera bersiap, kau menerimanya dengan setengah hati. Enggan mengenakan.
”Cepatlah! Sebentar lagi acaranya dimulai, dan yang
lain sudah menunggu.” Desak suamimu sebelum keluar lagi untuk menyambut para undangan yang mulai hadir, termasuk teman-temannya.
Menatap kain itu kau seakan melihat kenaifan orang-orang terdahulu, yang kemudian diwariskan pada anak-putu.
”Padahal perempuan hamil justru dianjurkan perbanyak membaca ayat-ayat suci. Berperilaku baik agar kelak diteladani si jabang bayi. Bukan tunduk pada tradisi dengan keyakinan yang mengada-ada.” Sungutmu.
Ketika kau keluar, kedua adik iparmu sudah membalut tubuh sedada dengan kain putih yang sama. Dua ujung kerudung panjang berwarna senada disampirkan ke pundak hingga tubuh bagian atas cukup terlindungi. Ibu mertuamu menampah seperiuk nasi bertumpang tiga butir telur yang sudah tidak mengepulkan asap. Nasi dan telur matang itu siap dibawa ke tengah-tengah halaman untuk kalian makan bersama, selaku tiga bersaudara yang sama-sama hamil. Tidak ada lauk, sayur, atau sekadar sambal. Hanya telur matang tanpa bumbu.
Tiga perempuan yang sudah melepas sandal jepitnya menatap sepasang sandalmu, dan kau merasa tidak perlu memperhatikan tatapan protes mereka. Peraturan tentang sandal sudah kau abaikan sejak awal.
Masih tentang sandal. Sejak baru menikah, melihat sandal jepit mereka malah diam-diam membuatmu berpikir tentang pernikahanmu: bagai suatu kecelakaan, seperti anak kijang tersesat di kandang ayam.
”Sandalmu dilepas!” suara ibu mertuamu bernada perintah.
Apa? Matamu membeliak seketika. Selanjutnya, ibu mertuamu menjelaskan bahwa dalam rokat kandung kembar tidak boleh memakai sandal.
Para undangan sudah memenuhi langgar. Sanak famili turut hadir untuk menyaksikan. Ada yang sedang sibuk di dapur menyiapkan jamuan untuk para undangan. Anak-anak berlarian, bercanda ria di halaman bermandi cahaya bulan.
Melepas sandal di hadapan banyak orang sama artinya membiarkan postur tubuhmu berkhianat dan kau tak lebih dari seekor ayam katai.
”Tidak! Saya tidak terbiasa berjalan tanpa sandal!” kau menolak tegas.
”Hanya sementara!”
”Kalau kalian memaksa, saya tidak akan mengikuti acara ini!” kau berkeras hati.
Ketiganya saling tatap. Kau melempar pandang ke halaman. Bagimu, sudah untung kau bersedia mengikuti tradisi yang kau anggap konyol itu.
Dengan wajah keruh akhirnya mereka mengalah. Satu per satu berjalan menuruni tangga tanpa bersuara. Kau mengikutinya. Karena tak terbiasa mengenakan balutan kain dan dua pahamu yang tebal berimpitan, membuatmu kesulitan bergerak. Kau berjalan dengan langkah pendek-pendek.
Baru saja menuruni tangga pertama, ujung kain morimu terinjak. Kau berusaha menjaga keseimbangan tubuh, tetapi sandalmu yang bertumit tinggi keburu tergelincir dan kau merasa melayang sebentar. Jeritanmu seakan tertelan hilang, berganti rasa sakit yang luar biasa di bagian perut, pandangan yang berkunang-kunang, untuk kemudian semua lenyap dan gelap.
Bagitu sadar, semua sudah selesai. Kau kehilangan harta termahal dari seorang perempuan, hingga tidak mendapat simpati dari keluargamu meskipun kau terbaring lemah sehabis operasi.
Malam itu, ketika sandalmu tergelincir, kau jatuh dan perutmu tertusuk runcing pedal sepeda yang tinggal besinya. Seorang anak yang sedang bermain di halaman menggeletakkan sepeda tanpa penyangga itu dengan sembarangan, di dekat tangga. Dinding rahimmu robek, dan disarankan agar histerektomi dilakukan.
Setelah mengetahuinya pascaoperasi, kau sempat protes keras, karena setahumu, histerektomi dilakukan sebab adenomiosis, fibroid, endometriosis, prolaps uteri, kanker, pelvic inflammatory disease, dan pendarahan berat selama periode menstruasi.
Dengan penjelasan yang cukup rumit untuk kau pahami, dokter memberitahukan dampak robeknya dinding rahimmu jika histerektomi tidak dilakukan. Setelah mendengarnya, tiba-tiba kau merasa kehilangan banyak hal. Bukan hanya janin dan rahim.
Kau menganggap peristiwa itu murni kecelakaan dan justru menyalahkan rokat kandung kembar.
”Memang iya! Tanpa rokat itu, belum tentu semua terjadi.”
Apa yang salah dari prosesi rokat?
Seharusnya kau memahami bagaimana orang terdahulu berdoa. Berdoa bagi mereka tak cukup sekadar menadah tangan atau merapal potongan ayat-ayat Al Quran. Mengenakan kain putih bersih adalah simbol doa agar disucikan dari segala yang buruk. Dijauhi dari perkara pengundang petaka. Bertelanjang kaki juga demi mengecilkan diri di hadapan Gusti Yang Mahatinggi.
Memakan nasi bersama dalam satu periuk merupakan bentuk permohonan sekaligus pesan agar senantiasa hidup rukun, damai, dan tenteram. Satu rasa mencecap kehidupan dalam kesederhanaan. Ketika si ibu hidup rukun, hatinya tenang bahagia, janin di perutnya ikut senang. Demikian sebaliknya.
Kau keliru memaknai tradisi itu sebagai cara jahiliah. Jika sekarang kau kehilangan rahim, janin, dan simpati keluargamu, semua bermula dari dirimu sendiri.
”Tidak! Itu bukan salahku! Itu murni kecelakaan!”
Sekarang kau malah berteriak-teriak dan baru melempar tadah cangkir itu keluar. Padahal seharusnya, biji nangkanya kau buang sejak masih berjumlah empat biji.
Lelaki itu kembali mendapati istrinya berbicara sendirian sambil menatapi tadah cangkir berisi biji-biji nangka. Rambutnya yang kusut kaku tergerai berantakan. Entah sudah berapa hari ia menolak disuruh mandi.
Lelaki itu sedikit terkejut ketika istrinya melempar
tadah cangkir keluar jendela sambil berteriak-teriak tak karuan.
Muna Masyari, lahir di Pamekasan, Madura. Peraih Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2017. Buku terbarunya, Martabat Kematian, berupa kumpulan cerita pendek. Sehari-hari bekerja sebagai penjahit pakaian.
I Made Arya Dwita Dedok, lahir di Denpasar, 10 Juni 1971. Menempuh pendidikan di SMSR Bali, kemudian Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Tahun 2011 menjadi finalis kompetisi seni rupa UOB Jakarta. Kini menetap di Magelang, Jawa Tengah.