Sebanyak enam orang diduga menyiapkan peluru ketapel berupa bola karet yang dilengkapi bahan peledak dan akan digunakan saat demonstrasi pada Minggu (20/10/2019) guna menggagalkan pelantikan Presiden dan Wapres.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak enam orang diduga menyiapkan peluru ketapel berupa bola karet yang dilengkapi bahan peledak dan akan digunakan saat demonstrasi pada Minggu (20/10/2019) guna menggagalkan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Polisi meringkus para tersangka sebelum aksi dijalankan.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono, Senin (21/10/2019), dalam konferensi pers di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, menjelaskan, kelompok pembuat peluru ketapel ini masih berkaitan dengan kelompok pembuat bom ikan yang salah satu tersangkanya adalah dosen perguruan tinggi negeri berinisial AB.
Sebelum pengungkapan kelompok peluru ketapel, polisi juga mendapati kelompok AB punya kaitan dengan kelompok tersangka pembuat bom molotov yang digunakan saat rusuh unjuk rasa 24 September di sekitar Kompleks Parlemen, Senayan. Dengan demikian, kelompok AB terkait dengan tiga kasus yang seluruhnya diduga bertujuan menggagalkan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin menjabat.
”Jadi, ada grand design (rencana besar) untuk menggagalkan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober,” kata Argo. Beragam strategi untuk menggagalkan Presiden dan Wakil Presiden menjabat tersebut menurut dia disiapkan sejak 20 September.
Jadi, ada grand design (rencana besar) untuk menggagalkan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober.
Argo menyebutkan, polisi menangkap enam orang terkait kasus peluru ketapel. Mereka adalah tiga laki-laki berinisial SH, RH, dan PSM serta tiga perempuan berinisial E, FAB, dan HRS. Di antara keenam tersangka, SH merupakan orang yang beberapa kali berkomunikasi dengan AB.
Kepala Unit IV Subdirektorat Reserse Mobil Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Rovan Richard Mahenu menambahkan, polisi masih mendalami apakah SH terlibat atau tidak dalam organisasi yang sama dengan AB, yaitu Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara (MKPN). Menurut dia, rata-rata tersangka memiliki riwayat berorganisasi yang beraneka ragam.
SH juga berinisiatif membuat grup percakapan Whatsapp dengan nama inisial F dan memasukkan sejumlah akun untuk bergabung di grup itu. Dari hasil pemeriksaan, grup ini antara lain berisi percakapan membahas upaya penggagalan pelantikan Presiden-Wakil Presiden. Grup beranggotakan 123 akun, termasuk akun E, FAB, RH, dan HRS, dengan lima akun sebagai admin.
Percakapan di grup itu berkembang menjadi rencana aksi menggunakan peluru ketapel yang bisa meledak. ”Dalam komunikasi, para tersangka menggunakan sandi mirror (pencerminan),” ucap Argo.
Dengan rumus yang sudah disepakati, para tersangka mengetikkan huruf-huruf yang belum langsung menjelaskan maksud mereka dalam percakapan karena huruf-huruf itu merupakan kode. Salah satu metode sandi pencerminan sederhana adalah menyejajarkan huruf A-M pada satu baris, kemudian menyejajarkan huruf N-Z pada baris di tepat di bawahnya. Huruf pada pesan yang ingin disampaikan digantikan dengan pasangan huruf di bawahnya atau atasnya. Contohnya, jika ingin menyampaikan ”selamat pagi”, tulisannya diubah menjadi ”frynzng cntv”.
Argo menuturkan, SH, E, dan FAB ditangkap di Jatinegara, Jakarta Timur. Saat diringkus, SH bersama E sedang membuat peluru ketapel yang dapat meledak dan FAB sedang berada di lokasi yang sama. Dari hasil pemeriksaan, SH diketahui berperan mencari dana untuk membeli peralatan serta bahan membuat ketapel dan pelurunya juga menyediakan ketapel kayu dan besi serta peluru ketapel.
E dan FAB berperan menyediakan dana dan menyiapkan tempat untuk pembuatan peluru. FAB diketahui menyerahkan Rp 1,6 juta ke SH.
Tersangka keempat, RH, ditangkap di rumahnya di Jagakarsa, Jakarta Selatan, karena berperan membuat ketapel dari kayu. SH memesan 200 ketapel, tetapi RH baru selesai membuat 22 buah. “Harga satu ketapel Rp 8.000, jadi totalnya Rp 176.000,” ujar Argo.
Adapun HRS yang dibekuk di Tebet, Jakarta Selatan, berperan memberikan dana Rp 400.000 untuk pembuatan ketapel dan peluru, sedangkan PSM yang ditangkap di Bogor disuruh SH memesan ketapel secara daring, membeli karet cadangan ketapel sepanjang 8 meter, dan memesan peluru gotri petasan plastic explosive BB berukuran 6 milimeter.
Dari luar, bahan yang terlihat pada peluru ketapel adalah karet-karet gelang dan tali ban dalam. Peluru berbentuk bulat dengan diameter 5-7 sentimeter. Di bagian dalam peluru, kemungkinan terdapat gotri plastik petasan tadi sehingga bisa meledak.
Namun, Brigadir Kepala J Sitorus dari Tim Penjinak Bom Polda Metro Jaya menyatakan, kepastian soal bahan-bahan peluru ketapel akan diberikan Pusat Laboratorium Forensik Polri setelah melakukan pengujian. Namun, pihaknya sudah memastikan bahwa peluru ketapel bisa meledak.
Ledakan peluru mirip petasan banting. Polda Metro Jaya mencoba membenturkan peluru ketapel sebanyak tiga kali pada permukaan keras di salah satu area parkir di kompleks polda, sebanyak satu kali hanya dengan lemparan tangan kosong dan sebanyak dua kali dengan ketapel. Meski ledakan relatif kecil, Argo mengingatkan, api bisa menyambar area yang lebih luas jika mengenai bahan mudah terbakar, seperti bensin.
Kelompok SH berencana memberikan peluru dan ketapel kepada pengunjuk rasa saat pelantikan Presiden-Wakil Presiden agar situasi memanas. Namun, mereka ternyata juga menyiapkan cara lain. Argo mengatakan, mereka sudah membeli delapan monyet untuk dilepaskan ke Kompleks Parlemen dan Istana Negara guna memicu kegaduhan. Mereka juga berencana mendorong penjarahan toko-toko di kawasan perniagaan.
Argo menambahkan, tersangka berinisial FAB ikut membantu karena dia berpendapat, komunisme semakin berkembang di Indonesia. Indikatornya, FAB yakin polisi asal China bersenjata lengkap diperbantukan saat pengamanan unjuk rasa memprotes undang-undang dan rancangan-rancangan undang-undang bermasalah. Selain itu, tenaga kerja asing asal China juga sudah masuk ke Indonesia dan pemerintahan dikuasai orang China. Keyakinan itu berusaha disebarkan via grup percakapan F.
Terkait kasus peluru ketapel ini, Argo melanjutkan, polisi sudah memeriksa enam saksi, termasuk pengacara dan tokoh Persaudaraan Alumni 212, Eggi Sudjana. Petugas Polda Metro Jaya menjemput Eggi pada Minggu (20/10/2019) untuk dimintai keterangan mengingat akun Whatsapp-nya adalah salah satu anggota grup F.
Terdapat akun yang mengirim pesan pribadi ke Eggi dengan informasi, ”Mau buat bom nitrogen. Mau nyumbang tidak?” Namun, Eggi tidak meresponsnya. ”Sekarang yang bersangkutan sudah kami pulangkan setelah kami periksa sebagai saksi,” kata Argo.
Terdapat akun yang mengirim pesan pribadi ke Eggi dengan informasi, ”Mau buat bom nitrogen. Mau nyumbang tidak?” Namun, Eggi tidak meresponsnya.
Kepada para tersangka, polisi mengenakan Pasal 169 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau Pasal 187 bis Ayat 1 KUHP dan/atau Pasal 187 ter KUHP dan/atau Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Ancaman hukumannya 5-20 tahun penjara.