BPPTKG: Angin Kencang Bukan Pengaruh Aktivitas Merapi
BPPTKG menyatakan, angin kencang yang terjadi di lereng Gunung Merapi beberapa hari terakhir tidak berkaitan dengan aktivitas vulkanik gunung api itu.
Oleh
HARIS FIRDAUS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS – Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi menyatakan, angin kencang yang terjadi di lereng Gunung Merapi beberapa hari terakhir tidak berkaitan dengan aktivitas vulkanik gunung api itu. Pernyataan ini berbeda dengan penjelasan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika yang menyebut angin kencang itu diduga berkaitan dengan aktivitas Merapi.
Hal itu dikemukakan Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida, dalam keterangan tertulis, Senin (21/10/2019), di Yogyakarta.
BPPTKG merupakan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab memantau aktivitas Merapi. Secara struktural, lembaga tersebut berada di bawah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang bertanggung jawab terhadap pemantauan aktivitas gunung api di Indonesia.
Kecepatan angin maksimum tercatat hingga 85,5 kilometer (km) per jam.
Hanik menjelaskan, fenomena angin kencang tersebut terekam oleh stasiun cuaca milik BPPTKG di wilayah Pasar Bubar yang berjarak beberapa ratus meter dari puncak Merapi. Berdasarkan rekaman stasiun cuaca tersebut, fenomena angin kencang di Merapi sudah terjadi sejak Sabtu (19/10). “Kecepatan angin maksimum tercatat hingga 85,5 kilometer (km) per jam,” kata Hanik.
Angin kencang di Merapi itu kemudian dirasakan dampaknya di sejumlah wilayah lereng gunung api tersebut, misalnya Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali di Jawa Tengah serta Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Dia menambahkan, berdasarkan data di stasiun cuaca di Pasar Bubar, kecepatan angin di Gunung Merapi menunjukkan kecenderungan yang menurun. Pada Senin pukul 14.33 WIB, misalnya, kecepatan angin di gunung api di perbatasan Jawa Tengah dan DIY itu tercatat 44 km per jam dengan arah menuju barat laut.
Hanik memaparkan, peristiwa angin kencang itu juga terjadi di Gunung Merbabu, yang berlokasi tidak jauh dari Gunung Merapi. “Stasiun seismik di Gunung Merbabu juga merekam aktivitas angin ini,” katanya. Oleh karena itu, BPPTKG menyatakan, angin kencang yang terjadi tidak berkaitan dengan aktivitas vulkanik Merapi.
Saat ini, BPPTKG masih menetapkan Gunung Merapi berada dalam status Waspada atau Level II. Zona bahaya yang ditetapkan BPPTKG juga masih sama, yakni 3 km dari puncak Merapi. BPPTKG meminta masyarakat tidak beraktivitas di zona bahaya itu. Namun, di luar radius tersebut, masyarakat bisa beraktivitas seperti biasa.
Berbeda
Penjelasan BPPTKG terkait angin kencang di Merapi itu berbeda dengan pernyataan Stasiun Klimatologi Mlati Yogyakarta yang merupakan lembaga di bawah Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Dalam pernyataan tertulisnya, Kepala Stasiun Klimatologi Mlati Yogyakarta Reni Kraningtyas mengatakan, angin kencang yang terjadi di Merapi diduga memiliki kaitan dengan aktivitas Merapi. “Ada dugaan peningkatan aktivitas Merapi turut andil memicu kejadian bencana lokal angin kencang ini,” katanya.
Reni memaparkan, peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Merapi beberapa waktu lalu diduga turut menyebabkan terjadinya angin kencang itu. Seperti diketahui, pada 14 Oktober 2019, Merapi mengeluarkan awan panas letusan dengan durasi 270 detik, amplitudo 75 milimeter, dan tinggi kolom 3.000 meter di atas puncak.
“Peningkatan aktivitas Merapi berupa erupsi awan panas pada tanggal 14 Oktober diikuti guguran lava pada tanggal 15 Oktober 2019 telah menyebabkan peningkatan suhu permukaan di kawasan puncak Merapi sehingga tekanan udara di wilayah ini menjadi cukup rendah,” kata Reni.
Menurut Reni, dalam skala tertentu, tekanan udara permukaan memang berbanding terbalik dengan suhu udara permukaan. Oleh karena itu, peningkatan suhu akibat aktivitas Merapi bisa membuat tekanan udara permukaan di kawasan gunung tersebut menjadi turun. Akibatnya, udara akan mengalir ke wilayah gunung yang memiliki suhu lebih tinggi.
Kondisi itu kemudian membuat terjadinya angin lembah yang mengalir dari wilayah lembah di bagian bawah menuju gunung yang lebih tinggi. Menurut Reni, aliran angin lembah itulah yang kemudian menyebabkan terjadinya angin kencang dan hujan dengan intensitas sedang sampai lebat di Merapi pada Minggu malam lalu.
“Angin lembah itu membawa udara dingin dan lembab sehingga terjadi kondensasi (pengembunan) dan terbentuk awan cumulonimbus (Cb) di lereng pegunungan,” ujar Reni.
Reni menyebut, aliran angin lembah itu merupakan anomali. Hal itu disebabkan, di areal pegunungan, kondisi puncak gunung biasanya lebih dingin dibanding daerah lereng di bawahnya. Oleh karena itu, sirkulasi udara lokal di wilayah pegunungan biasanya cenderung bergerak turun dari gunung menuju lembah di bawahnya. Sirkulasi udara itulah yang dinamai dengan angin gunung.
“Tetapi, pada saat kondisi di tempat itu lebih panas di bagian atas, maka sirkulasi lokal itu dapat berbalik sehingga menyebabkan angin lembah yang bergerak dari bawah ke atas menjadi lebih kuat dari biasanya,” ungkap Reni.
Wisata
Sementara itu, berdasarkan pantuan Kompas, Senin sekitar pukul 10.00, angin kencang tampak berembus di obyek wisata Bunker Kaliadem yang berada di lereng Merapi di Sleman. Angin kencang itu membuat batang pohon bambu bergoyang serta menerbangkan pasir dan debu.
Meski begitu, sejumlah wisatawan masih tampak berkunjung ke bunker yang berjarak sekitar 5 km dari puncak Merapi itu. Untuk menghindari debu dan pasir, para wisatawan mengenakan masker.
Petugas jaga di Bunker Kaliadem, Sriyanto (35), mengatakan, angin kencang di kawasan Bunker Kaliadem sudah berembus sejak Sabtu lalu. Meski begitu, angin kencang tersebut tidak sampai menyebabkan kerusakan di wilayah itu.
“Anginnya memang kencang, tetapi tidak sampai merusak fasilitas umum di sini. Hanya suara bergemuruh saja. Semuanya masih aman. Warga juga masih beraktivitas seperti biasa,” ujar Sriyanto.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman Makwan menyatakan, angin kencang di kawasan Merapi tidak menimbulkan kerusakan di wilayah Sleman. "Tidak ada yang terdampak. Hanya terdengar suara gemuruh saja," katanya.
Sementara itu, Kepala Pelaksana BPBD Boyolali Bambang Sinungharjo mengatakan, ada sekitar 20 rumah di Kecamatan Selo, Boyolali, yang rusak ringan akibat kejadian itu. “Atap rumah-rumah itu beterbangan, tapi tidak ada rumah yang roboh. Tidak ada korban juga,” katanya.