Fajar Menyingsing di Era Kedua
Rayakan Persatuan!” Ya, itulah yang kita gemakan sekarang dan kita angkat sebagai berita utama harian Kompas, Minggu (20/10/2019) kemarin.
Setelah nyaris setahun, kita terempas dalam guncangan pemilihan umum presiden yang bak prahara, dengan keterbelahan di kalangan masyarakat dan elite yang ekstremitasnya belum ada presedennya dalam sejarah Republik, kini, kita tak punya pilihan lain kecuali bersatu. Di luar itu, ancaman negara porak poranda bak Suriah bukan ilusi.
Terpilihnya kembali Joko Widodo sebagai presiden, kali ini didampingi Ma’ruf Amin, di satu sisi, memberi harapan akan berlanjutnya kinerja sukses seperti di bidang infrastruktur, tetapi di sisi lain diwarnai pelbagai kondisi obyektif yang tak kondusif. Harus dikatakan dari sisi internal maupun eksternal, Presiden Jokowi memimpin dan menjadi nakhoda kapal yang tengah mengarungi samudra badai.
Kita tak bisa lain kecuali mendoakan agar Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin diberkati untuk bisa melalui berbagai rintangan di depan mata. Dalam tulisan terbatas ini, saat fajar merekah untuk pemerintahan baru, mari kita sejenak berefleksi dan melayangkan pikiran untuk menguatkan diri.
”Dalam negara demokrasi, rakyat mendapatkan pemimpin yang selayaknya (leaders they deserve)”. Itulah ucapan masyhur yang sering diucapkan tokoh terkenal seperti Alexis de Tocqueville dan Abraham Lincoln (atau filsuf Joseph de Maistre). Sebagai pemimpin hasil pemilu, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin harus kita dukung untuk memimpin Republik dalam lima tahun ke depan.
Jika di atas kita menyinggung infrastruktur sebagai tonggak (milestone) era pertama Jokowi, kita ingin mengapresiasi keberhasilan itu. Namun, jika kita melihat rakyat Papua masih terus resah, dan kemenangan kedua Jokowi di pilpres tidak landslide atau lebih meyakinkan, hal ini mengundang tanya, bahwa infrastruktur bukan elemen penting untuk memenangi hati dan pikiran rakyat. Hal serupa bisa kita katakan terkait merebaknya ketidakpuasan (sebagai ekstensa keterbelahan) sebagian masyarakat, baik dalam kerusuhan 21-22 Mei maupun aksi-aksi di pekan ketiga bulan September.
Aura keramahan Jokowi, kehangatan dan keramahtamahan yang selama ini banyak diperlihatkan di masyarakat, ternyata tak cukup melahirkan aura dan karisma bagi Indonesia yang rupa-rupanya membutuhkan sosok pemimpin yang beraura tremendum (besar, dahsyat) dan fascinosum (memesona). Dalam skala penuh, asosiasi ini diperuntukkan untuk Tuhan, tetapi bayangan seorang pemimpin Indonesia yang mampu menggenggam Indonesia dengan kuat dan—jika perlu—”kereng” tampaknya masih diperlukan.
Sekadar meluaskan refleksi, Plato pernah mengatakan, ”Jika filsuf belum jadi raja, kota (negara) tak akan pernah beristirahat dari kejahatan” (The Politics Book). Sebagai alasannya diuraikan bahwa peran penguasa adalah untuk menjamin rakyat menjalani ”kehidupan yang baik”. Mengetahui betapa berat tuntutan ”kehidupan yang baik” tersebut, dibutuhkan ”kecakapan intelektual” dan juga pemahaman akan etik dan moralitas. Diyakini, hanya filsuf yang punya kecakapan dan pengetahuan semacam itu.
Dalam perjalanan Republik, kita sudah punya tujuh presiden, masing-masing dengan kehebatan dan sumbangsihnya, termasuk dengan kelebihan intelektual dan kecakapan lainnya. Semua terlahir pada zamannya. Kini, zaman baru rupanya menuntut corak kepemimpinan baru.
Cukupkah hanya sekadar baik? Cukupkah hanya sekadar sumeh (murah senyum)? Menghadapi masyarakat yang terbelah, tak jarang juga memperlihatkan watak ganas, sempat tebersit di pikiran, jangan-jangan yang dibutuhkan Indonesia adalah ”an enlightened despot”, diktator yang tercerahkan.
Namun, Indonesia tak lepas dari takdir, di mana pilihan itu tidak ada. Jadi kita sambut Presiden Jokowi seperti apa adanya. Kata orang bijak, ”make the best of it”. ”Kini, saatnya untuk memikirkan bagaimana gagasan besar bangsa Indonesia bisa direalisasikan oleh para pemimpin menjadi satu tindakan nyata yang bisa membawa seluruh bangsa dan negara ini lebih sejahtera dan bisa berperan dalam membangun peradaban manusia yang lebih baik” (Pengantar Dr Edie T Hendratno untuk buku The Dancing Leader, PBK, 2011).
Kita garis bawahi, selama ini, kita sudah merumuskan gagasan besar, mulai dari Pancasila hingga Revolusi Mental dan Nawacita di era pertama Presiden Jokowi. Kini, kalau bukan sejak lima tahun terakhir, saatnya mewujudkan gagasan besar tersebut.
Kompleksitasnya besar, karena di era pasca-kebenaran, gagasan baik, prestasi baik, suka dipelintir. Namun, di sisi lain kita juga harus legawa mengakui, ada banyak janji yang belum terpenuhi. ”Ingatlah bahwa janjimu akan ditagih”, termasuk di antaranya janji untuk membawa pertumbuhan ekonomi 7 persen.
Khususnya di bidang ekonomi, kita berpandangan, tim di periode pertama lemah, tidak memperlihatkan visi nasionalistik dan senang bekerja dalam zona nyaman, jarang ada pikiran out of the box (yang kini dimutakhirkan dengan berpikiran no box).
Dengan produk impor yang masih mendominasi, termasuk untuk kebutuhan masyarakat paling dasar, seperti beras, gula, dan kedelai, bahkan garam, sementara ekspor sedikit yang bernuansa nilai tambah, sementara masyarakat senang berganti gawai dan gemar mobil bagus, tak heran ekonomi Indonesia terus defisit.
Tugas pemimpinlah untuk membelokkan arah nyaman melenakan tetapi menjerumuskan ini ke arah ekonomi yang sehat dan menimbulkan ketangguhan, dengan mempraktikkan inovasi dan cinta produk nasional. If your desire is for good, the people will be good (jika kehendakmu adalah untuk kebaikan, rakyat akan baik) (Konfusius).
Kita yakin, Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin berkehendak baik sehingga kita yakin masyarakat Indonesia pun akan menjadi baik. Namun, kita sampaikan sekali lagi bahwa kecenderungan sentrifugalisme, di mana ada pihak yang ingin nyempal dari Republik, membesar, maka pemimpin harus sepenuhnya hadir dan menanganinya dengan tegas.
Jika diperlukan, Presiden harus bertiwikrama (menjadi raksasa seperti Sri Kresna dalam lakon ”Kresna Duta”) untuk menindak radikalis, anti-Pancasilais, dan praktik ekonomi tak pro-rakyat. Inilah kesempatan terakhir Presiden Jokowi memenuhi janji untuk membangun sumber daya manusia Indonesia, yang saat menyongsong bonus demografi dan seabad RI berperforma rendah dalam STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika), dan tidak tertib di berbagai ranah, dari lalu lintas hingga birokrasi. Selamat bekerja!