Hari Pangan Sedunia di Sultra Dibayangi Kerawanan Pangan
Peringatan Hari Pangan Sedunia digelar di Sulawesi Tenggara pada 2-5 November. Namun, perayaan tersebut dibayangi masih adanya daerah yang masuk dalam kategori rawan pangan di provinsi tersebut.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Peringatan Hari Pangan Sedunia digelar di Sulawesi Tenggara pada 2-5 November. Kegiatan ini akan dijadikan momentum bagi Pemerintah Provinsi Sultra menonjolkan produksi utama dan khas, yaitu kakao dan sagu. Namun, perayaan tersebut dibayangi masih adanya daerah yang masuk dalam kategori rawan pangan di provinsi tersebut.
Ketua Pelaksana Wilayah Hari Pangan Sedunia (HPS) Ke-39 Sulawesi Tenggara La Ode Mustari menyampaikan, hingga Senin (21/10/2019), persiapan acara mencapai 80 persen. Sejumlah perbaikan, persiapan, dan pembangunan fisik yang dilakukan untuk menyambut acara ini hampir rampung.
Kegiatan ini menurut rencana akan dihadiri perwakilan 50 negara.
”Dalam kegiatan ini, ada dua komoditas yang kami tampilkan, yaitu kakao dan sagu. Kakao di sini adalah komoditas yang terus dikembangkan dengan berbagai varian hingga ekspor. Sementara sagu adalah tanaman pangan nonberas yang memiliki sejarah panjang di Sulawesi Tenggara. Kegiatan ini menurut rencana dihadiri perwakilan 50 negara,” kata Mustari, yang juga Penjabat Sekda Sultra, di Kendari, Sultra.
Peringatan HPS Ke-39 ini, tambah Mustari, akan diisi dengan berbagai kegiatan inti. Selain pameran teknologi, akan dilakukan juga panen raya kakao yang akan dilakukan di Angata, Kabupaten Konawe Selatan. Sementara itu, di Kota Kendari dijadwalkan pameran pangan, diskusi, dan beragam kegiatan lain selama empat hari kegiatan berlangsung.
Anggaran yang disiapkan Pemprov Sultra senilai Rp 6 miliar. Nilai itu di luar yang disiapkan pemerintah pusat. Pusat kegiatan dilangsungkan di Konawe Selatan. Namun, sejumlah rangkaian kegiatan juga akan berlangsung di Kendari dan Kabupaten Konawe.
Mustari menambahkan, kegiatan ini juga diharapkan menjadi momentum agar sagu bisa terus dikembangkan sebagai pangan nonberas di Sultra. Sagu merupakan tanaman yang dinilai memiliki banyak keunggulan dan telah dikonsumsi masyarakat sejak dulu.
Sagu juga punya banyak keunggulan dan manfaat, seperti baik untuk osteoporosis dan cocok untuk orang yang menghindari gula.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Ketahanan Pangan Sultra I Made Guyasa menyampaikan, tanaman sagu mulai menjadi prioritas untuk dikembangkan lebih jauh. Kini, sagu di Sultra yang awalnya tumbuh liar juga mulai dibudidayakan agar bisa berkembang dan tidak punah.
”Sagu juga punya banyak keunggulan dan manfaat, seperti baik untuk osteoporosis dan cocok untuk orang yang menghindari gula. Jadi, bisa menjadi sumber cadangan pangan,” kata Made.
Sejauh ini, tambah Made, sagu dan umbi-umbian diupayakan untuk menjaga ketahanan pangan di Sulawesi Tenggara. Meski produksi beras di Sultra tinggi, yakni mencapai 700.000 ton per tahun, jumlah ini belum bisa terdistribusi merata ke sejumlah wilayah. Hal itu menyebabkan beberapa wilayah masuk dalam kategori rawan pangan.
Berdasarkan data Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Sultra 2018, terdapat 54 kecamatan dari total 219 kecamatan di Sultra yang masuk dalam kategori agak rawan atau prioritas tiga. Lokasi kecamatan ini tersebar di 16 kabupaten/kota, termasuk ibu kota provinsi, Kendari.
Wilayah dengan kecamatan paling banyak kategori rawan pangan adalah Buton Tengah, Buton Selatan, Muna Barat, Kolaka Utara, dan Konawe Kepulauan. Secara nasional, berdasarkan Indeks Ketahanan Pangan 2018, kabupaten-kabupaten ini memang termasuk daerah yang berada di urutan bawah. Nilainya berkisar 48,07 hingga 64,77.
Aristos, Kepala Bidang Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Sultra, menjabarkan, peta kerawanan pangan suatu daerah tergantung dari sejumlah indikator. Selain ketersediaan pangan itu sendiri, juga ada akses dan pemanfaatan pangan dengan sejumlah indikator.
Menurut Aristos, permasalahan di sejumlah wilayah juga beraneka ragam dengan tingkat kesulitan masing-masing. Meski demikian, sejumlah upaya berusaha dilakukan untuk mengurangi wilayah rawan pangan dan membuat masyarakat lebih dekat dengan sumber pangan.
”Tiga tahun terakhir, sudah ada beberapa perubahan, misalnya yang tiga tahun lalu ada daerah tergolong rawan, sekarang sudah tidak ada. Tinggal yang agak rawan yang harus terus diberi perhatian, program, dan bentuk bantuan lainnya,” ucap Aristos.
Meski demikian, dia menambahkan, selain pengembangan akses, budidaya tanaman di luar beras diharapkan mampu mendongkrak ketahanan pangan masyarakat. Wilayah Sultra telah terkenal sejak dulu mengonsumsi sagu, khususnya di daratan. Sementara warga kepulauan menjadikan umbi-umbian sebagai pangan pokok.