Jokowi Diperkirakan Takkan Memprioritaskan Isu Lingkungan Hidup
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Persoalan lingkungan hidup diprediksi kembali takkan menjadi prioritas dalam kepemimpinan periode kedua Presiden Joko Widodo. Hal itu tercermin dari tidak disinggungnya isu lingkungan hidup dalam pidato perdana Jokowi usai dilantik, Minggu (20/10/2019).
Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zensi Suhadi, Senin (21/10/2019) di Jakarta, mengaku, kurang puas dengan pidato perdana Presiden Jokowi yang tidak menyinggung sedikit pun soal lingkungan hidup. Padahal, kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia sudah kritis sehingga perlu perhatian lebih dari presiden dan kabinet barunya.
“Pidato pertama ini kan seperti pesan utama dan hal-hal prioritas yang ingin segera disampaikan oleh Presiden kepada publik usai dilantik. Kami sangat mengkhawatirkan bahwa tidak ada persoalan lingkungan hidup dalam pidatonya,” ujar Zensi.
Menurut penilaian Zensi, pidato Presiden itu tidak jauh berbeda dari pidatonya usai memenangkan pilpres pada Juli 2019 yakni lebih banyak berfokus pada visi ekonomi dan mendorong investasi. Melihat fenomena munculnya pasal-pasal janggal di sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang terkait pengelolaan sumber daya alam yang diajukan legislatif, maka seharusnya menjadi peran eksekutif untuk memberikan narasi berbeda. RUU yang dinilai penuh pasal bermasalah itu antara lain RUU Mineral dan Batubara, RUU Pertanahan, RUU Sumber Daya Air, dan RUU Perkelapasawitan.
“Namun sepertinya eksekutif dan legislatif ini punya nafas yang sama. Jadi kami khawatir hal-hal ini belum jadi pertimbangan Presiden,” ujar Zensi.
Hal senada juga diungkapkan Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah. Ia menilai, munculnya pasal-pasal yang janggal di sejumlah RUU yang mengatur soal sumber daya alam dan lingkungan tanpa kontrol lembaga eksekutif, masih akan terjadi ke depan.
Revisi seharusnya mendorong tata kelola pertambangan yang baik dan mendorong rehabilitas lingkungan,
Merah menilai lima tahun ke depan, kebijakan belum akan banyak berubah untuk berpihak pada lingkungan hidup. Ia mengambil contoh, salah satunya di RUU Mineral dan Batubara. Dalam RUU itu terdapat revisi dan pasal-pasal yang justru melemahkan soal penegakan hukum dan pelestarian lingkungan.
“Revisi seharusnya mendorong tata kelola pertambangan yang baik dan mendorong rehabilitas lingkungan," ujar Merah.
Kekhawatiran kebijakan belum berpihak pada lingkungan hidup juga dikemukakan Peneliti Tambang dan Energi Auriga Iqbal Damanik. Apalagi dalam berbagai kesempatan, Presiden akan memberi jalan untuk mendorong investasi. Salah satunya dengan rencana pemerintah untuk merevisi 74 undang-undang yang dianggap menghambat investasi yang semuanya akan diatur dalam satu undang-undang dengan model omnimbus law.
“Pendekatannya memang mendukung investasi,” ujar Iqbal.
Kriteria menteri
Melihat tantangan yang besar di lingkungan hidup, Zensi menilai posisi menteri lingkungan hidup harus diisi oleh sosok yang tidak memiliki usaha atau kaitan di dunia eksplorasi sumber daya alam.
“Kalau menteri punya usaha di bidang sumber daya alam, bisa repot ini. Keberpihakannya bisa mendua. Pemeliharaan lingkungan hidup itu sangat terkait dari bagaimana pengelolaan sumber daya alam,” ujar Zensi.
Selain itu, sosok menteri lingkungan sebaiknya berasal dari kalangan profesional atau pun akademisi yang bukan merupakan politisi. Hal ini agar menteri yang menjabat betul-betul paham langkah apa yang harus dilakukan dan terhindar dari kepentingan partai politik yang menaunginya.