Kebakaran 857.756 Hektar, Mayoritas di Lahan Tak Berhutan
Oleh
Jumarto Yulianus
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Areal hutan dan lahan di Indonesia yang terbakar pada tahun ini lebih luas dibandingkan tahun lalu. Kejadian tersebut dipicu faktor alam maupun faktor manusia. Untuk itu, pencegahan harus lebih diprioritaskan.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sejak 1 Januari hingga 30 September 2019, luas kebakaran hutan dan lahan 857.756 hektar (ha), terdiri atas kebakaran di tanah mineral seluas 630.451 ha (74 persen) dan kebakaran di area gambut seluas 227.304 ha (26 persen). Dibandingkan luas kebakaran hutan dan lahan sepanjang 2018 terjadi kenaikan sebesar 68 persen. Pada 2018, luas kebakaran hutan dan lahan 510.564 ha.
Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK Raffles Brotestes Panjaitan di Jakarta, Senin (21/10/2019), mengatakan, kebakaran hutan dan lahan tahun ini memuncak pada September. Sepanjang bulan itu, jumlah titik panas (hotspot) mencapai 16.429 titik, melonjak drastis dari Agustus yang berjumlah 3.839 titik.
”Kondisi pada bulan September sangat kering. Kebakaran hutan dan lahan sangat sulit dipadamkan. Dibandingkan bulan Agustus, luas kebakaran hutan dan lahan pada September meningkat 160 persen,” katanya.
Raffles menyebutkan, faktor pemicu kebakaran hutan dan lahan, antara lain adanya el nino, yaitu kondisi kering dan berkurangnya curah hujan, adanya pergerakan arus panas dari Australia ke Asia, termasuk ke Indonesia, serta pola lama sebagian orang dalam membersihkan lahan dengan cara membakar.
”Dari 857.756 ha luas hutan dan lahan yang terbakar, hampir 93 persen kebakaran terjadi di lahan tidak berhutan. Kebakaran itu terjadi di lahan izin-izin korporasi maupun di lahan masyarakat,” ungkapnya.
Dari 857.756 ha luas hutan dan lahan yang terbakar, hampir 93 persen kebakaran terjadi di lahan tidak berhutan.
Selain melakukan pemadaman, sosialisasi untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan juga terus dilakukan. ”Ke depan, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, upaya penanganan kebakaran harus memprioritaskan upaya pencegahan sampai ke tingkat desa,” ujar Raffles.
Menurut dia, program pencegahan sudah dilakukan sejak 2015 dengan menggerakkan patroli terpadu yang melibatkan kepala desa, bhabinkamtibmas dari Polri, babinsa dari TNI, serta manggala agni. Sampai sekarang, sosialisasi masih dilakukan di 1.165 desa rawan kebakaran hutan dan lahan.
Antisipasi gagal
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional Nur Hidayati mengatakan, ada kegagalan antisipasi dari pemerintah sehingga kebakaran hutan dan lahan terus terjadi. Dari tahun ke tahun, lokasi yang terbakar juga tidak jauh berbeda, bahkan kerap terjadi di lokasi yang sama.
”Ada pola yang sama, misalnya lahan yang terbakar beberapa tahun lalu kini berubah menjadi kebun sawit,” ujarnya.
Menurut Hidayati, pencegahan bukan semata-mata memadamkan api yang masih kecil. Konsep pencegahan harus bisa memitigasi kebakaran sejak awal, terutama dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang setiap tahun lahannya terbakar.
Konsep pencegahan harus bisa memitigasi kebakaran sejak awal, terutama dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang setiap tahun lahannya terbakar.
”Ini seharusnya bisa diantisipasi dengan memberi peringatan dan tindakan hukum yang lebih tegas kepada perusahaan. Kalau perlu, izinnya dibekukan atau dicabut, tidak sekadar diberi peringatan,” tuturnya.
Agar pencegahan efektif, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap semua perizinan yang ada. Korporasi semestinya tidak diberi hak mengelola terlalu besar dan tidak sesuai dengan kapasitas mereka dalam melakukan pengawasan. Mereka juga diwajibkan untuk tetap membasahi lahan gambut di wilayah konsesinya yang rentan terbakar.
Hidayati mengatakan, tuduhan terhadap masyarakat sebagai pemicu kebakaran hutan dan lahan adalah tuduhan usang. Sebab, kebakaran hutan dan lahan terbesar tetap di wilayah korporasi atau wilayah konsesi.
”Pemerintah harus memastikan masyarakat memiliki ruang kelola yang mencukupi untuk mendukung kehidupan mereka dan tak lagi memberikan izin-izin kepada korporasi,” katanya.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalimantan Selatan Wahyuddin mengatakan, hampir semua kejadian kebakaran hutan dan lahan di Kalsel akibat faktor manusia. ”Ada yang memang disengaja, ada juga akibat kelalaian,” ujarnya.
Hampir semua kejadian kebakaran hutan dan lahan di Kalsel akibat faktor manusia. Ada yang memang disengaja, ada juga akibat kelalaian.
Tahun ini, Kalsel menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan selama 153 hari, mulai dari 1 Juni sampai dengan 31 Oktober. Sampai saat ini, kebakaran lahan masih terjadi meskipun sudah mulai hujan. ”Pencegahan dengan sosialisasi sudah dilakukan. Tetapi upaya itu sepertinya masih belum efektif,” kata Wahyuddin.