Tiga peraturan terkait pengendalian peredaran gawai ilegal melalui IMEI akhirnya ditandatangani akhir pekan lalu. Apa langkah pengendalian peredaran gawai ilegal dengan identifikasi IMEI cukup memadai?
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
Setelah enam bulan jadi perbincangan, tiga peraturan terkait pengendalian peredaran gawai secara ilegal melalui identifikasi nomor International Mobile Equipment Identity (IMEI) akhirnya ditandatangani, akhir pekan lalu. Ketiga peraturan itu ditandatangani Menteri Perindustrian, Menteri Komunikasi dan Informatika, dan Menteri Perdagangan.
Ketiga peraturan itu, pertama, Peraturan Menteri Perindustrian tentang Sistem Basis Data Identitas Perangkat Telekomunikasi Bergerak. Lalu, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Pengendalian Alat dan/atau Perangkat Telekomunikasi yang Tersambung ke Jaringan Bergerak Seluler Melalui IMEI.
Terakhir, Peraturan Menteri Perdagangan tentang Perubahan Permendag Nomor 38 Tahun 2019 tentang Ketentuan Petunjuk Penggunaan dan Jaminan Layanan Purna Jual Bagi Produk Elektronika dan Produk Telematika.
Data IMEI dan data pelanggan diolah lewat Sistem Pengelolaan IMEI Nasional yang dipasang pada mesin Sistem Informasi Basis Data IMEI Nasional (Sibina). Hasil data akan diteruskan ke operator telekomunikasi seluler kemudian dikelompokkan jadi daftar notifikasi, hitam, dan pengecualian.
Wacana mengantisipasi peredaran gawai secara ilegal dengan identifikasi IMEI sejatinya sudah dibahas sejak 2017. Hal itu ditandai dengan nota kerja sama pembangunan pusat data IMEI antara Kementerian Perindustrian dan Qualcomm Incorporated.
Pemerintah, mengutip penelitian Organisasi Telekomunikasi Internasional (ITU) dan Kantor Kekayaan Intelektual Uni Eropa (EUIPO) 2015 menyatakan, peredaran ponsel ilegal menyebabkan produsen dan distributor resmi kehilangan 20,5 persen pendapatan. Kerugian pajak negara mencapai puluhan juta dollar AS.
Semangat serupa melandasi tiga peraturan menteri itu. Kementerian Perindustrian menduga 9-10 juta ponsel ilegal diperdagangkan di Indonesia per tahun. Potensi kerugian negara dari pajak diperkirakan Rp 2,81 triliun per tahun. Apa langkah pengendalian peredaran gawai ilegal dengan identifikasi IMEI cukup memadai?
Permendag No 74/2018 tentang Perubahan atas Permendag 28/2018 tentang Pelaksanaan Pemeriksaan Tata Niaga Impor di Luar Kawasan Pabean (Post Border) berlaku pada 1 Februari 2018. Permendag 74/2018 menyatakan pemeriksaan atas pemenuhan persyaratan impor dilakukan setelah melalui kawasan pabean. Pemeriksaan dilakukan terhadap persyaratan impor dan dokumen pendukung impor lain. Tujuan peraturan itu adalah menyederhanakan tata niaga sehingga harapannya mampu mengurangi dwelling time.
Sementara di Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 41 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Permendag No 82/2012 tentang Ketentuan Impor Telepon Seluler, Komputer Genggam, dan Komputer Tablet pasal 13 telah mengatur verifikasi impor gawai.
Verifikasi menyasar ke data negara dan pelabuhan muat, waktu pengapalan, pelabuhan tujuan, pos tarif/HS dan uraian barang, serta jenis dan volume sesuai surat pernyataan dari prinsipal pemegang merek. Selain itu, verifikasi juga mencakup kesesuaian sertifikasi alat dan perangkat telekomunikasi, kesesuaian IMEI, electronic serial number (ESN) ataupun sejenisnya yang tercantum di dalam tanda pendaftaran produk (TPP) impor.
Sebenarnya jika Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 74 Tahun 2018 dan Permendag Nomor 41 Tahun 2016 dipatuhi, mudah mengecek gawai mana yang masuk legal dan ilegal. Sayang, persoalan pasar gelap gawai tak sesederhana itu.
Para individu yang biasa membeli gawai dari luar negeri atau pedagang jasa titip ”dicurigai” terlibat dalam peredaran gawai ilegal. Begitu pula pedagang gawai skala kecil menengah di pusat perbelanjaan tradisional dan daring. Namun, angka dugaan 9-10 juta unit ponsel ilegal bukanlah volume yang kecil. Hal ini semestinya jadi bahan refleksi, bagaimana pengawasan barang masuk selama ini.
Sejak penggunaan IMEI diyakini dapat mengidentifikasi perangkat mobile di mana pun berada, tak sedikit konsumen mengkhawatirkan adanya pelacakan rahasia. Dari situasi itu kemudian muncul tutorial lengkap di internet tentang bagaimana mengubah IMEI ponsel pintar. Aplikasi pengubah IMEI pun marak. Bahkan, lahir pula pebisnis-pebisnis jasa mengubah hingga memperjualbelikan IMEI.
Kemudahan mengubah IMEI bisa saja dimanfaatkan importir ”nakal” untuk memanipulasi data volume barang yang masuk dan diperdagangkan di pasar. Kemungkinan seperti itu bisa terjadi dan berpotensi menambah keruwetan dalam menangani peredaran gawai secara ilegal jika pengawasan barang masuk ke Indonesia lemah. Belum lagi tak semua operator seluler mampu berinvestasi secara setara untuk membangun sistem blocking dan unblocking IMEI ilegal.
Sebagai negara kepulauan, lemahnya pengawasan barang masuk menjadi persoalan klasik yang tiada hentinya diserukan oleh banyak pihak. Seruan ini masih relevan bagi Indonesia, negara dengan pasar ponsel yang teramat besar karena problem peredaran dan perdagangan gawai ilegal belum ditangani tuntas.