Sunan Gunung Jati pernah mengangkat pedagang China, Tan Eng Hoat, sebagai duta Cirebon untuk menjalin hubungan dagang dengan negara luar. Pertimbangannya bukan karena primordial, apalagi bisikan di sekelilingnya.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·4 menit baca
Sunan Gunung Jati, pimpinan Cirebon yang juga tokoh besar penyebar agama Islam di Jawa abad ke-15, pernah mengangkat pedagang China, Tan Eng Hoat, sebagai duta Cirebon untuk menjalin hubungan dagang dengan negara luar. Pertimbangannya bukan karena primordial, apalagi bisikan di sekeliling Sunan Gunung Jati.
Tan Eng Hoat merupakan pedagang asal Hokkian, China. Ia datang ke Cirebon melalui Pelabuhan Talang. Para pelaut asing dulunya bermukim di Talang bersama kapal-kapal luar negeri. Kini, daerah yang dikenal sebagai Pelabuhan Cirebon itu menjadi tempat berlabuh kapal pengangkut batubara asal Kalimantan.
Kala itu, Tan Eng Hoat adalah pedagang andal dan punya minat mendalami agama Islam. Ia belajar Islam kepada Sunan Gunung Jati di Gunung Sembung. Setelah memeluk Islam, ia diberi nama Haji Maulana Ifdil Hanafi.
Ketika arus pedagangan luar negeri semakin meningkat di Pelabuhan Talang dan Pelabuhan Muara Jati, Sunan Gunung Jati memandang perlu kehadiran duta Cirebon untuk hubungan dagang.
Posisi itu mungkin serupa menteri perdagangan atau menteri luar negeri di Indonesia kini. Tan Eng Hoat pun diangkat sebagai pejabatnya dengan gelar Adipati Wirasenjaya.
”Pengangkatan ini merupakan bukti bahwa dalam menjalankan pemerintahan, Sunan Gunung Jati tidak memilah antara penduduk asli dan pendatang, tetapi melihat kemampuan yang dimiliki seseorang,” tulis Eman Suryaman dalam bukunya Jalan Hidup Sunan Gunung Jati, Sejarah Faktual dan Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita-Raja (2015).
Tan Eng Hoat dinilai punya ilmu mumpuni terkait perdagangan luar negeri serta memahami kecenderungan pasar, terutama dari China. Cirebon pun menjelma menjadi salah satu pusat ekonomi. Mengutip manuskrip Suma Oriental (1513-1515) karya Tome Pires, Pelabuhan Cirebon termasuk yang terbesar di Pulau Jawa dan tercatat dalam peta Asia.
Begitulah salah satu kiat Sunan Gunung Jati, yang memimpin Cirebon pada 1479-1568, memilih pejabat dalam pemerintahannya. Boleh dibilang kabinet, seperti yang ramai dipertanyakan awak media kepada Presiden Joko Widodo yang baru dilantik pada Minggu (20/10/2019) sore.
Bahkan, ketika Sunan Gunung Jati melepas jabatannya sebagai Sultan Cirebon, tugas pemerintahan diserahkan kepada Pangeran Pasarean (anak keenam). Ini sangat berbeda dengan pemerintahan feodal, terutama yang berkuasa di Tanah Jawa, yang kerap menjadikan putra tertua sebagai raja.
Menurut Eman, Sunan Gunung Jati memilih pejabat dan penerusnya berdasarkan kemampuan intelektual dan spiritual yang bersangkutan. Ini sejalan dengan prinsip ajaran Islam, yaitu menyerahkan amanah kepada ahlinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya (Al Quran, Surah an-Nisa: 58). Pengingkaran terhadap ajaran itu bakal menimbulkan petaka, bahkan kehancuran.
Tengok saja sejumlah pejabat yang dipilih, baik secara langsung oleh rakyat maupun tidak, malah mengkhianati amanah dengan korupsi. Alih-alih memajukan kehidupan masyarakat, mereka malah membawa kehancuran. Uang yang seharusnya digunakan membangun jalan, sekolah, dan fasilitas publik lainnya dicuri untuk kepentingan pribadi.
Untuk membangun Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada 1480-an, Sunan Gunung Jati harus mendatangkan sekitar 500 pekerja dari Demak serta arsitek, Raden Sepat, asal Majapahit.
Untuk membangun Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada 1480-an, Sunan Gunung Jati harus mendatangkan sekitar 500 pekerja dari Demak serta arsitek, Raden Sepat, asal Majapahit. ”Waktu itu, belum ada arsitek andal di Cirebon. Sunan Gunung Jati selalu menyerahkan pekerjaan kepada ahlinya,” kata Kepala Bagian Pemandu Keraton Kasepuhan Cirebon Raden Muhamad Hafid Permadi.
Tidak ada titip proyek. Kalau ada, bisa jadi masjid yang berada di sisi barat alun-alun Keraton Kasepuhan tersebut tidak lagi berdiri kokoh seperti sekarang karena bahannya dikorupsi sehingga tidak sesuai spesifikasi.
Untuk memastikan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah berjalan lancar, Sunan Gunung Jati mewajibkan para pejabat hadir dalam rapat bulanan atau seba keliwonan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa setiap hari Jumat Kliwon. Para pejabat itu adalah Ki Gede (pemimpin para kepala desa), Bupati (pemimpin Ki Gede), dan para Adipati atau Tumenggung (Wildan 2012: 251).
Tidak jarang, Sunan Gunung Jati menanggalkan jubah kesultanannya untuk berdakwah ke pelosok daerah sembari mengecek pelayanan publik oleh pemimpin setempat. Ia tidak dikawal oleh pasukan istana.
”Seorang pemimpin yang rendah hati dan dicintai rakyatnya tidak merasa ada ancaman yang akan membahayakan kedudukannya,” tulis Eman di bukunya.
Kisah Sunan Gunung Jati dalam memilih pejabat pemerintahan bisa menjadi masukan bagi Presiden Joko Widodo dan Wapres KH Ma’ruf Amin untuk menentukan kabinetnya yang menurut rencana diumumkan pada Senin (21/10/2019) ini. Tidak ada salahnya mempertimbangkan kiat-kiat Sunan Gunung Jati itu untuk ikut mencegah bangsa ini tak terjerumus ke lubang hitam tak berujung.