Meski sepanjang saya tahu rektor UI didominasi dari Fakultas Kedokteran (FKUI), mereka adalah orang dalam, alumni UI. Jadi tidak masalah ketika dulu ada guyonan ”Biar dari Fakultas Ekonomi (FEUI) yang mewakili UI dalam pemerintahan, tetapi urusan dalam UI biar dipegang orang FKUI saja”. Hal itu berjalan lama dan baik.
Hanya kali ini, mungkin untuk pertama kalinya, Rektor UI dari FEUI. Saat saya tahu bahwa Ari Kuncoro dinominasikan menjadi calon Rektor UI, saya bilang ke teman, dia pantas jadi Rektor UI.
Semoga dengan kepemimpinan Ari Kuncoro, semua pihak bisa bergotong royong dan bekerja keras sehingga UI bisa melompat ranking dari 93 ke ranking 200.
Suyadi Prawirosentono Alumni UI, Selakopi, Pasir Mulya, Bogor
Rektor Asing dan Publikasi Ilmiah
Surat-surat kepada Redaksi Kompas, 25 September 2019, memuat kritik terhadap gagasan pemerintah untuk mendatangkan rektor asing bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia.
Sepertinya pemerintah tidak bisa menghargai bangsa sendiri, selain kultur publikasi ilmiah para guru besar dan peneliti akademik Indonesia diakui memang belum termanifestasikan secara mendunia.
Berbasis wacana ini, pemerintah berandai-andai untuk mendatangkan pimpinan universitas dari mancanegara untuk ”mengangkat” martabat akademisi Indonesia ke kancah dunia. Debat tentang hal ini memang bisa berkepanjangan, tetapi akan tetap tinggal sebagai adu argumentasi yang tak kunjung habis. Apalagi banyak guru besar di negeri ini yang diangkat bukan karena publikasi ilmiah yang memasyarakat.
Bagi saya, kultur akademik di negeri ini yang sebenarnya krusial untuk dibangun. Tridharma Perguruan Tinggi harus ditegakkan! Dari dulu hingga sekarang, penelitian di perguruan tinggi bergantung pada dana yang dapat diperoleh dari berbagai sumber pendanaan. Banyak penelitian baru dilakukan ketika dana tersedia, bukan karena urgensinya bagi kepentingan kesejahteraan hidup manusia dan masyarakat.
Pada era luwih penak zamanku, toh (Orde Baru), penelitian banyak dilakukan karena ada saja dana-dana proyek yang tersisa dan harus dihabiskan—kalau tak hendak dinyatakan hangus (sebuah catatan bagi buruknya pengelolaan dana untuk pembangunan). Entah berapa banyak penelitian yang dilakukan sekadar untuk ”menghabiskan dana”, sekaligus menambah nilai untuk kenaikan pangkat dan untuk menyambung hidup para akademisi yang bergaji kecil—bukan karena kepentingan keilmuan.
Lalu, apa yang hendak dipublikasikan ke kancah internasional (selain melalui seminar hasil penelitian)? Sekarang publikasi ilmiah menjadi tuntutan kalau kita mau menjadi perguruan tinggi yang bercitra dunia. Di sini muncul pemikiran bahwa hal ini akan dapat dicapai jika rektornya adalah orang asing yang ”punya nama”. Benarkah?
Mungkin saja hal ini benar dan oke-oke saja. Namun, apakah kultur meneliti, apalagi yang berkaitan dengan aplikasi dalam kehidupan riil masyarakat kita, bisa berubah untuk menjawab masalah-masalah yang ada?
Jangan-jangan, apa-apa yang dipersoalkan lebih merujuk pada pencitraan semata (dapat peringkat dunia, tidak kalah dari Singapura, dan seterusnya) daripada untuk memenuhi kebutuhan riil pembangunan masyarakat, negara, dan manusia Indonesia.
Menurut saya, publikasi ilmiah tentang kondisi kehidupan riil dan aplikasi praktisnya, berbasis teori ilmuwan Indonesia, yang bisa dinikmati dan diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari, jauh lebih bernilai daripada publikasi di jurnal-jurnal internasional.
Pertanyaannya, sudah adakah media penyalurnya, yang juga bisa dipahami dan dimanfaatkan oleh sesama kita yang awam, untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari? Ingat Tridharma! Semoga!
Zainoel B Biran Mantan Peserta Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial, Ujung Pandang