Zonasi Pesisir Kepri Belum Berorientasi pada Warga Lokal
Meskipun sekitar 96 persen wilayah Kepulauan Riau berupa lautan, rancangan zonasi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecilnya belum berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal setempat.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS – Sekitar 96 persen wilayah Kepulauan Riau berupa lautan. Namun, rancangan zonasi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil belum berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Akibatnya, potensi sumber daya kelautan yang ada tidak dapat tergarap dengan maksimal.
Rencana Peraturan Daerah tentang Rancangan Zonasi Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Kepri yang pembahasannya masih digodok DPRD Kepri mencantumkan 85 titik reklamasi dan 10 titik tambang pasir laut. Jika tidak diawasi dengan ketat hal ini dikhawatirkan akan merampas ruang hidup masyarakat pesisir.
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Rokhmin Dahuri, Senin (21/10/2019), di Batam, mengatakan, Pemerintah Provinsi Kepri harus belajar dari pengalaman buruk reklamasi di Jakarta. Jika pengelolaan tata ruang diserahkan sepenuhnya kepada swasta maka orientasinya hanyalah keuntungan.
Rancangan Perda RZWP3K Kepri terbukti dimanfaatkan sejumlah pihak untuk meraup keuntungan pribadi. Pada pertengahan Juli, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Gubernur Kepri non-aktif Nurdin Basirun karena menerima suap terkait izin lokasi rencana reklamasi di Tanjung Piayu, Batam.
Dorongan pemerintah pusat kepada daerah untuk mempercepat laju investasi sering kali membuat pejabat daerah merasa berhak mengangkangi sistem perizinan. Hal tersebut menciptakan perilaku korup dan tidak transparan. Akhirnya rakyat kecil menjadi korban karena sumber daya dikuasai segilintir orang.
“Negara berkembang memang harus mengejar pertumbuhan ekonomi di atas tujuh persen. Namun, sebenarnya yang lebih perlu diperhatikan adalah pemerataan pendapatan,” kata Rokhmin.
Salah satu hambatan masyarakat pesisir Kepri mengembangkan ekonomi maritim adalah kurangnya zona konservasi sumber daya ikan. (Syamsul Bahrum)
Rancangan RZWP3K harus betul-betul dikaji matang sebelum ditetapkan menjadi Perda. Hal ini penting karena nantinya RZWP3K akan menjadi dasar pembangunan yang berkelanjutan. Peraturan tersebut dibuat agar sektor industri, pariwisata, dan perikanan dapat berjalan bersama tanpa saling meniadakan.
Sekretaris II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemprov Kepri Syamsul Bahrum menyatakan, salah satu hambatan masyarakat pesisir Kepri mengembangkan ekonomi maritim adalah kurangnya zona konservasi sumber daya ikan. Rancangan Perda RZWP3K justru lebih banyak memuat zonasi untuk reklamasi dan tambang pasir laut.
Dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kepri triwulan III 2018 sebesar Rp 65,19 triliun, sektor perikanan hanya menyumbang sekitar 2,5 persen. Jauh tertinggal dari sektor manufaktur (37 persen) dan kontruksi (19 persen). Hal ini ironis mengingat wilayah Kepri 96 persennya berupa laut.
Menurut Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang Agung Dhamar, dari total potensi perikanan tangkap sebesar 1,1 juta ton per tahun, yang dimanfaatkan baru sekitar 400.000 ton saja. Adapun potensi 455.779 hektar ruang laut untuk budidaya juga belum banyak dimanfaatkan.
“Tantangannya soal belum ada penetapan zona khusus untuk pemanfaatan sumber daya ikan. Untuk perikanan budidaya sangat dibutuhkan zonasi yang pasti,” ujar Koordinator MAI Wilayah Kepri Nuryanto yang juga Ketua DPRD Kota Batam.
Sementara itu, Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Perda RZWP3K Kepri, Iskandarsyah, mengatakan, pembahasan RZWP3K untuk sementara tertunda setelah Ketua Kelompok Kerja (Pokja) RZWP3K Ketua Dinas Kelautan Perikanan Edy Sofyan ikut ditangkap KPK pada Juli lalu. Pembahasan akan kembali dilakukan setelah pokja baru rampung dibentuk.
Iskandarsyah yang juga merupakan Ketua Komisi II DPRD Kepri dari Fraksi PKS itu menyatakan sepakat terhadap usulan membentuk zonasi konservasi sumber daya ikan. Namun, menurut dia, harus dipikirkan secara matang lokasi yang tepat ditetapkan sebagai wilayah konservasi agar upaya budidaya perikanan terbatas betul-betul mendapatkan hasil seperti yang diinginkan.
"Saya kira di Bintan cocok ditetapkan sebagai zona konservasi sumber daya ikan. Akan tetapi hal serupa kurang tepat jika dilakukan di Batam mengingat wilayah itu adalah kawasan industri," kata Iskandarsyah.