Setiap presiden memiliki cara dan gaya yang berbeda-beda untuk membentuk kabinetnya. Senin (21/10/2019), sebanyak 12 orang bakal calon menteri dipanggil satu per satu ke Istana Merdeka.
Oleh
Nina Susilo/Agnes Theodora W/Laksana Agung Saputra
·3 menit baca
Seiring waktu dan bergantinya periode kepemimpinan, setiap presiden memiliki cara dan gaya yang berbeda-beda untuk membentuk kabinetnya. Senin (21/10/2019), sebanyak 12 orang bakal calon menteri dipanggil satu per satu ke Istana Merdeka.
Setelah diterima Sekretaris Pribadi Presiden Anggit Nugroho di teras Istana Merdeka, mereka langsung diterima Presiden Joko Widodo yang sendirian karena Wakil Presiden Ma’ruf Amin tengah melakukan kunjungan kerja ke Jepang untuk menghadiri penobatan Kaisar Jepang Naruhito. Seperti wawancara kerja, selain ditanya komitmennya, mereka juga mendapat penjelasan Presiden. Sekitar 15 menit, mereka keluar dan menenteng map putih berlogo Sekretariat Presiden.
Saat menjabat periode pertama pada Oktober 2014, Presiden Jokowi mengumumkan kabinetnya sepekan setelah resmi dilantik, yakni pada 26 Oktober 2015. Saat itu, Jokowi mengumumkan kabinetnya di halaman tengah antara Istana Negara dan Istana Merdeka, Jakarta.
Para menteri yang dipilih Jokowi saat itu diminta mengenakan pakaian putih dan celana atau rok berwarna hitam. Jokowi, yang didampingi Wapres Jusuf Kalla, berdiri di halaman Istana lalu memanggil satu per satu menteri yang dipilihnya. Saat itu, tak ada proses ”audisi” atau ”wawancara” calon menteri seperti pada periode kedua tersebut.
Saat 2014, Jokowi juga dibantu oleh tim transisi untuk menyeleksi menteri kabinetnya. Tim transisi itu pun menyeleksi menteri dengan cara melacak rekam jejak dan profiling. Untuk menunjukkan komitmennya membentuk pemerintahan yang bersih, Jokowi juga melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK memberi masukan latar belakang menteri dan menandai menteri-menteri yang rekam jejaknya meragukan.
Mekanisme itu dulu diapresiasi sebagai contoh seleksi menteri yang terbuka, transparan, dan akuntabel.
Dinamika seleksi calon menteri saat 2014 pun diwarnai dengan pemberian spidol merah dan kuning dari KPK kepada beberapa nama kandidat menteri yang diduga terlibat kasus hukum. Mekanisme itu dulu diapresiasi sebagai contoh seleksi menteri yang terbuka, transparan, dan akuntabel.
Jelang pengumuman menteri, tim transisi juga mengambil peran menghubungi para calon menteri tersebut. Nama kemudian didiskusikan bersama dengan Wapres Kalla. Kali ini, proses seleksi menteri langsung berada di bawah arahan Jokowi. Jokowi tak lagi memakai tim khusus untuk menyeleksi, serta tak lagi melibatkan KPK untuk membantu memilah antara menteri yang rekam jejaknya bermasalah dan tidak.
Beda presiden
Saat pertama kali menjabat pada 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wapres Kalla melakukan proses pencarian dan seleksi terhadap para calon menteri. Malam hari, setelah dilantik, SBY mengumumkan kabinetnya di Istana Merdeka.
Pada periode kedua, bersama Wapres Boediono, selama lima hari, para kandidat menteri diundang untuk berdialog dengan SBY. Total, ada 30 calon menteri yang dipanggil ke kediamannya di Puri Cikeas Indah, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat.
Di akhir seleksi, mereka menandatangani komitmen untuk bekerja keras, jujur, loyal, dan mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan partai dan golongan.
Adapun Megawati Soekarnoputri tercatat paling lama menyeleksi menteri dan membentuk kabinet. Megawati beberapa kali menunda rencana pengumuman kabinetnya. Hal ini karena Megawati ingin kabinet tidak perlu berganti sampai akhir masa jabatannya. Cita-cita itu akhirnya tercapai.
Peran Wapres Hamzah Haz saat itu juga menentukan. Megawati meminta Hamzah dan DPP Partai Persatuan Pembangunan menyiapkan draf susunan kabinet dengan tiga alternatif. Selain Hamzah, Megawati juga meminta daftar serupa dari DPP PDI-P sebagai partai yang ia pimpin.
Satu hal menjadi benang merah, proses penyusunan kabinet, dulu ataupun sekarang, membutuhkan waktu yang tak singkat dan proses yang panjang. Berbagai kepentingan jadi pertimbangan. Presiden dan wapres pun tidak bisa lepas sepenuhnya dari usulan dan masukan dari kekuatan politik di sekitarnya.