Pembangunan keluarga berencana di Indonesia selama beberapa dekade terakhir memberi hasil menggembirakan. Namun, hak perempuan dan remaja putri belum sepenuhnya terjamin.
Oleh
Fajar Ramadhan/M Zaid Wahyudi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan keluarga berencana di Indonesia selama beberapa dekade terakhir memberi hasil menggembirakan. Namun, hak perempuan dan remaja putri belum sepenuhnya terjamin. Jika hak itu tak terpenuhi, target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 sulit tercapai.
Sekitar 5 juta perempuan tak terjangkau layanan kesehatan reproduksi meski mereka menginginkannya. Setiap jam, 1-2 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan. Sementara itu, 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan minimal sekali sepanjang hidupnya. Praktik kawin anak dan sunat perempuan juga menempatkan perempuan dalam bahaya.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo dalam Lokakarya ICPD25 Indonesia di Jakarta, Senin (21/10/2019), mengatakan, pemerintah fokus mengejar three-zero guna menuntaskan masalah tersebut.
Ketiga target atau three-zero itu adalah tidak ada lagi perempuan yang ingin memakai kontrasepsi tetapi tak terlayani (unmet need), tak ada lagi kematian ibu melahirkan, serta tak adanya kekerasan berbasis jender dan praktik berbahaya pada perempuan.
Semua itu ditargetkan bisa tercapai pada tahun 2030. ”SDGs tidak bisa dicapai jika tidak mengakomodasi program aksi ICPD, khususnya terkait three-zero,” kata Perwakilan Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Indonesia Anjali Sen.
International Conference on Population and Development (ICPD) atau Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional di Kairo, Mesir, pada 1994 adalah tonggak bergesernya paradigma pembangunan penduduk. Jika semula hanya menganggap manusia sebagai angka, kini manusia dijadikan pusat pembangunan yang harus dipenuhi haknya.
Belum tercapai
Tahun ini, ICPD berumur 25 tahun. Namun, banyak target program aksinya belum tercapai hingga memunculkan kampanye three-zero.
Menurunkan angka kematian ibu dari 305 per 100.000 kelahiran hidup dinilai Hasto sangat menantang. Ini persoalan kompleks karena tidak hanya menyangkut isu kesehatan, tetapi juga budaya, ekonomi, manajemen tenaga kesehatan, hingga infrastruktur.
Meski sulit, hal itu bisa diturunkan melalui pemantauan setiap ibu hamil oleh bidan. Pemanfaatan informasi geospasial dan teknologi informasi akan membuat pemantauan ibu hamil lebih mudah dilakukan. ”Menurunkan kematian ibu lebih mudah dibanding menurunkan tengkes (stunting) yang butuh waktu relatif lama,” ujar Hasto.
Menurunkan kematian ibu lebih mudah dibanding menurunkan tengkes (stunting) yang butuh waktu relatif lama.
Namun, solusi itu hanya bisa diterapkan di wilayah yang tak memiliki tantangan geografis berarti seperti di Jawa. Untuk wilayah Indonesia timur, butuh pendekatan khusus karena tantangannya berbeda.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Eni Gustina menambahkan, sepertiga kematian ibu melahirkan terjadi karena ibu berusia terlalu muda atau terlalu tua serta punya anak lebih dari tiga.
Peningkatan usia kawin bisa menekan kematian ibu. Saat ini, hampir 47 persen perempuan menikah pada umur kurang dari 20 tahun. Jarak antar-kelahiran juga perlu diperpanjang dari 2 tahun hingga menjadi 4,5-5 tahun.
Untuk mengurangi unmet need, Hasto mengusulkan digabungkannya layanan kontrasepsi dan persalinan. Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, 79 persen persalinan terjadi di fasilitas kesehatan. Jika mereka yang bersalin langsung dilayani dengan kontrasepsi, unmet need yang mencapai 10,6 persen (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017) bisa diturunkan.
Unmet need perlu dituntaskan karena berkontribusi pada munculnya berbagai masalah, seperti kehamilan tak diinginkan, kematian ibu melahirkan, tengkes, hingga terganggunya tumbuh kembang anak.
”Persoalan agama dan budaya memengaruhi penggunaan kontrasepsi,” kata Direktur Bina Kesertaan KB Jalur Pemerintah BKKBN Komari.
Sementara terkait kekerasan berbasis jender, perkawinan anak masih jadi praktik berbahaya pada perempuan. Sebanyak 1 dari 9 perempuan menikah sebelum usia 18 tahun.
”Revisi Undang-Undang Perkawinan yang mensyaratkan usia kawin minimal 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan perlu diikuti dengan memperpanjang aturan pemberian dispensasi nikah,” ujar Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indra Gunawan.
Terjaminnya hak dan akses layanan kesehatan reproduksi jadi pintu masuk terselesaikannya berbagai persoalan yang membelenggu perempuan. Jaminan itu juga menjadikan tidak akan ada seorang pun yang tertinggal dalam pencapaian target SDGs 2030.