Manajer Manchester United Ole Gunnar Solskjaer melakukan inovasi taktik saat menjamu Liverpool, Minggu. Terobosan itu menghentikan rekor 17 kemenangan beruntun “The Reds” di Liga Inggris.
Oleh
YULVIANUS HARJONO
·4 menit baca
MANCHESTER, SENIN Manchester United boleh saja terseok-seok di Liga Inggris. Namun, mereka menjadi tim pertama dalam 18 laga yang mampu menahan Liverpool, 1-1, dalam laga yang berakhir Senin (21/10/2019) dini hari WIB di Stadion Old Trafford.
Manchester United sebetulnya tampil janggal pada laga itu. Mereka mengabaikan formasi 4-2-3-1 yang menjadi andalan manajer Ole Gunnar Solskjaer dan pendahulunya, Jose Mourinho. Yang tak kalah mengejutkan adalah tampilnya David De Gea di bawah mistar gawang. Padahal, Solskjaer sempat berkata, kiper utama MU itu absen karena cedera.
Tampilnya Fred sebagai gelandang bertahan pendamping Scott McTominay sejak menit pertama kian membuat orang garuk-garuk kepala. Fred punya rekam performa buruk dua musim terakhir.
”Anda harus sulit diterka dan hari ini kami melakukannya,” ujar Solskjaer menjelaskan taktiknya usai laga itu.
”Anda harus sulit diterka dan hari ini kami melakukannya.”
Solskjaer, yang dikenal sebagai anak ideologis Sir Alex Ferguson, manajer legendaris MU yang menggemari taktik sepak bola ofensif, mengambil langkah berbeda dengan mentornya itu. Solskjaer memilih memainkan pola 5-3-2 yang lebih defensif dan pragmatis menghadapi Liverpool, tim agresif dengan barisan penyerang brilian seperti Sadio Mane, Mohamed Salah, dan Roberto Firmino.
Taktik itu sebetulnya telah disiapkan Solskjaer dua pekan lalu, sebelum jeda internasional. Saat itu, ia berkata, laga lawan Liverpool adalah momen sempurna untuk menunjukkan kapasitas sesungguhnya MU. Hal itu pun dibuktikannya. Setan Merah meredam agresivitas dan nyaris menihilkan gol Liverpool, tim yang selalu menang pada delapan laga Liga Inggris musim ini.
Liverpool dibuat frustrasi dan nyaris tidak memiliki peluang gol, terutama di babak pertama, berkat tujuh pemain MU berkarakter defensif pada laga itu. Duo bek sayap MU, Aaron Wan-Bissaka dan Ashley Young, menjadi kunci meredam ancaman permainan sayap Liverpool yang dimotori Trent Alexander-Arnold dan Andrew Robertson.
Baik Bissaka dan Young konstan menempel kedua bek sayap itu sehingga Liverpool kurang leluasa mengeksploitasi pertahanan MU dari lebar lapangan. Pola 5-3-2 itu memang didesain untuk serangan balik memanfaatkan barisan penyerang cepat MU seperti Marcus Rashford dan Daniel James. Keduanya mengeksploitasi ruang yang kerap ditinggalkan Arnold dan Robertson.
”Saat kami datang ke sini tahun ini, tahun lalu, dan dua tahun sebelumnya, mereka hanya bertahan. Ini bukan kritik, hanya fakta. Jika mereka tampil seperti itu, sangat sulit. Kami adalah tim bagus. Jadi normal tim-tim lainnya berpikir cara menghentikan kami,” tutur Manajer Liverpool Juergen Klopp yang belum sekali pun menang di Old Trafford.
Taktik itu terbukti jitu dengan lahirnya gol pertama MU yang dicetak Rashford. Bek MU, Victor Lindelof, mencuri bola dari penyerang Liverpool, Divock Origi. Bola dialirkan cepat ke sayap kanan dan diolah menjadi umpan silang matang oleh James. Alisson Becker, kiper Liverpool yang tampil pertama kali sejak cedera panjang, tidak mampu berbuat banyak mencegah gol yang didesain sangat rapi itu.
Soslkjaer pun mendapat pujian atas taktik kejutan itu. ”Taktiknya sangat tepat. Itu bisa jadi karya terbaiknya sejak mengalahkan Paris Saint-Germain (di Liga Champions Eropa, Maret). Mereka adaptif dan berkembang di tengah sorotan besar akhir-akhir ini. Itu bisa menjadi dorongan semangat untuk mereka,” tulis Miguel Delaney, jurnalis The Independent, di kolomnya pada media itu.
”United Way”
Laga itu sekaligus kejelian Solksjaer mengoptimalkan karakteristik pemain dan membaca kekuatan lawan. Keahlian ini dipelajarinya dari Ferguson. Tidak seperti yang diketahui banyak, legenda MU yang hadir di tribune Old Trafford pada laga lawan Liverpool itu sebetulnya sosok pragmatis. Baginya, ”United Way” bukan soal bermain indah, menguasai bola, dan mencetak banyak gol.
Filosofi yang mendarah daging di MU pada masa keemasannya itu sebetulnya adalah soal ”jalan” menuju kemenangan dan trofi juara. Apa pun taktik dan cara bermainnya, kemenangan selalu menjadi tujuan utama MU di era Ferguson.
”Di Old Trafford, kami sering melihat MU menang 4-0, bahkan 7-1. Namun, jangan lupa, tidak jarang MU tampil defensif dan pragmatis. MU selalu menunggu dan menyerang balik menghadapi tim-tim besar. Salah satunya pada semifinal Liga Champions 2008 lawan Barcelona 2008. Hasilnya? Gelar ganda, Liga Inggris dan Liga Champions,” tulis Dale O’Donnell, pendukung MU di blog Stretty News.
Sayangnya, MU gagal mewujudkan United Way dan meraih kemenangan epik atas Liverpool. ”The Reds” memecahkan kebuntuan berkat perubahan taktik Klopp. Ia menurunkan Adam Lallana dan Alex Oxlade Chamberlain pada babak kedua sehingga Liverpool beralih dari pola 4-3-3 menjadi 4-2-4.
Taktik super ofensif itu memaksa MU bertahan total di penghujung laga. Lallana mencetak gol memanfaatkan kelengahan bek tengah MU, Marcos Rojo, mengantisipasi bola umpan silang di kotak penalti. ”Saya heran dengan Rojo. Kenapa ia menuju gawang, bukannya mengawal Lallana. Namun, saya kira United tampil luar biasa. Mereka tampil penuh energi dan lebih lugas,” ujar Phil Neville, mantan bek MU.
Hasil imbang membuat MU tertahan di peringkat ke-13, adapun The Reds masih kokoh di puncak kalsemen Liga Inggris. Namun, keunggulan Liverpool dari Manchester City kini menyusut menjadi enam poin,. Hasil imbang itu juga membuat Liverpool gagal menyamai rekor City, yaitu 18 kemenangan beruntun di Liga Inggris. (AFP/REUTERS)