KH Abbas, Sandal Bakiak dan Singa-singa Cirebon
Perjuangan melawan penjajah di Tanah Air tidak bisa dipisahkan dari peran santri dan kiai. Salah satunya adalah KH Abbas dari Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat.
Perjuangan melawan penjajah di Tanah Air tidak bisa dipisahkan dari peran santri dan kiai. Salah satunya, KH Abbas dari Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat. Sosoknya kuat dalam peperangan kemerdekaan di sejumlah daerah, termasuk Surabaya, 10 November 1945.
Di kalangan masyarakat Buntet, KH Abbas kabarnya punya jurus andalan, sandal bakiak. Lawan mudah takluk apabila jurus itu sudah dikeluarkan. Bahkan, pesawat lawan yang menyasarnya bisa tiba-tiba jatuh.
”Kalau kaki beliau sudah memakai bakiak, jangankan memukul, menyentuhnya saja sungguh sulit,” ucap KH Ade Nasihul Umam, cicit KH Abbas.
Kisah itu masih terus terngiang di kalangan santri. Namun, menurut Ade, jurus sandal bakiak punya filosofi besar dari sekadar benda fisik. Alas kaki itu biasa digunakan KH Abbas ke masjid dan mengaji. Bakiak itu senantiasa menemani jejak KH Abbas.
”Maknanya, jika langkah kaki kita digunakan untuk kebaikan, pasti Allah SWT akan menolong. Sandal bakiak juga dapat menghindarkan kaki dari kotoran. Artinya, kita harus menjaga kesucian,” ujarnya. Sebaliknya, kaki yang kerap melangkah untuk berbuat kemaksiatan dapat mengundang petaka.
Akan tetapi, terlepas dari kemungkinan bakiak memang jadi senjata perang, KH Abbas memang dikenal berilmu bela diri tinggi. Ia mendapatkannya saat menjadi santri di Buntet.
Baca juga: Kang Uwis ya Uwis
Perjuangan
Kemampuan bela diri santri di Buntet dimulai sejak era Mbah Muqoyyim, pendiri Buntet, sekitar tahun 1750. Tujuannya, sebagai bekal mengalahkan kejahatan, termasuk penjajahan.
Pada masa KH Abbas, putra tertua KH Abdul Jamil, pimpinan Buntet Pesantren awal abad ke-19, pesantren tidak hanya menjadi basis agama, tetapi juga pusat perlawanan terhadap penjajah. Apalagi, di Cirebon terjadi Perang Kedondong yang berlarut-larut, sekitar 1800-1900.
”Saya masih ingat cerita mbah saya, kalau malam, KH Abbas dan para santri menyerang pabrik gula. Senjata tentara Belanda di sana macet dan minta ampun kepada santri,” ujar KH Aris Ni’matulloh, pengasuh Pondok Buntet Pesantren.
Buntet yang dulunya terletak di Sindanglaut dan pindah ke Desa Mertapada Kulon, Kecamatan Astanajapura, dikelilingi pabrik gula Belanda. Ada PG Sindanglaut dan PG Karangsuwung. Kini, hanya PG Sindanglaut yang beroperasi meskipun pasokan tebunya semakin menipis.
Pola serangan gerilya oleh santri kepada penjajah saat itu, menurut Aris, menjadi salah satu alasan pembangunan pesantren di daerah pinggiran kota, bukan pusat kota. Buntet, misalnya, berada di pinggir sungai. Begitu pun dengan Ponpes Gedongan. Adapun Ponpes Babak Ciwaringin yang berusia sekitar 300 tahun berdiri di perbatasan Majalengka dan Cirebon.
Puncak perjuangan KH Abbas dan para santri boleh dibilang berlangsung pada 10 November 1945. Pergerakan santri dari Cirebon ke Surabaya tidak bisa dilepaskan dari resolusi jihad.
Aris menuturkan, sebelum itu, Jenderal Soedirman mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar meminta bantuan kiai dan santri melawan penjajah. ”Tentara kala itu diduga sudah kewalahan berperang sehingga dibutuhkan kekuatan baru,” ujarnya.
Permintaan itu dipenuhi Soekarno. Bung Karno lantas meminta bantuan KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nadhlatul Ulama. Dari sana, lantas dibuat resolusi jihad yang mewajibkan para santri dan warga NU melawan penjajah dan sekutunya.
Resolusi Jihad menyerukan fardlu ’ain (wajib pribadi) bagi setiap umat Islam dalam radius 94 km dari tempat penjajah dan di luar radius itu sebagai fardlu kifayah (boleh diwakili sebagian warga saja).
KH Hasyim Asy’ari yang punya kedekatan emosional dengan Buntet pun memanggil KH Abbas. Kedekatan tersebut sudah terjalin saat KH Abdul Jamil bertemu dengan KH Hasyim Asy’ari di Mekkah.
Baca juga: Hari Santri dan Spirit Keindonesiaan
Sebelumnya, Akhmad Rofahan dalam tesisnya ”Hubungan Genealogi Pesantren di Cirebon” menuliskan, KH Abdul Jamil meminta KH Hasyim Asy’ari mendirikan pondok pesantren. Namun, KH Hasyim ragu akan santri yang mengisi pesantrennya.
KH Abdul Jamil lalu menjawab, putranya, KH Abbas dan KH Anas, akan menjadi santrinya. Keduanya pun menjadi santri pertama dan terjauh di Ponpes Tebuireng, Jombang. Bahkan, KH Abdul Jamil pada 1900 sempat mengajar di pesantren yang membesarkan Gus Dur, Presiden ke-4 RI, itu.
Cinta Tanah Air
Versi lainnya mengungkapkan, kedatangan KH Abbas ke Tebuireng karena saat itu pondok pesantren diganggu penjajah. Pondok yang berdinding bambu itu kabarnya kerap ditusuk pedang penjajah. Para santri pun mengaji di tengah ruangan. Kedatangan KH Abbas yang piawai bela diri telah mengusir ketakutan itu.
Itu sebabnya KH Hasyim Asy’ari seketika memanggil KH Abbas saat hendak perang 10 November. KH Abbas yang dipilih sebagai komandan perang bersama ratusan santri Buntet pun menumpang kereta api ke Jawa Timur.
Menurut Aris, rombongan turun di Rembang lalu naik mobil ke Surabaya. ”Seharusnya perang dilakukan pada 9 November 1945. Namun, KH Hasyim Asy’ari minta warga menunggu datangnya singa-singa dari Cirebon, termasuk KH Abbas,” ujarnya.
Seharusnya perang dilakukan 9 November 1945. Namun, KH Hasyim Asy’ari minta warga menunggu datangnya singa-singa dari Cirebon, termasuk KH Abbas.
KH Abbas juga dikabarkan memberikan amalan berupa ungkapan ”Takbir” kepada Bung Tomo. Suara menggelegar Bung Tomo pun turut memacu semangat para pejuang kala itu. Tanggal 10 November lalu dijadikan sebagai Hari Pahlawan.
Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri oleh Presiden Joko Widodo pada 2015 pun tidak dapat dilepaskan dari 10 November 1945 yang menjadi salah satu episode penting mempertahankan kemerdekaan RI. Sejarah telah mencatat, kiai dan santri berperan dalam menjaga kemerdekaan RI.
Itu sebabnya, Aris mengaku heran ketika ada sekelompok orang yang mengatasnamakan agama Islam membenci Pancasila, bahkan bertekad mengubah Indonesia menjadi negara Islam. ”Selama NU dan ormas Islam masih ada, kami akan menentang itu,” ucapnya.
KH Abbas tidak hanya berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan RI melalui pertempuran melawan penjajah di sejumlah daerah, tetapi juga meninggalkan warisan pendidikan cinta Tanah Air di Buntet. Hingga kini, sekitar 7.000 santri dan siswa di Buntet terus menerima bekal pemahaman antiradikalisme dan terorisme.