Pemilihan umum serentak 2019 menghasilkan peta kekuatan partai di parlemen yang tak jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya. Meskipun demikian, pemilu tahun ini tetap melahirkan konfigurasi baru, yang nantinya akan diuji oleh dinamika politik yang mengitarinya. Berbeda dengan lima tahun silam, ketegangan politik pascapemilu cenderung bisa dikelola oleh elite politik.
Kecenderungan ini setidaknya tampak dari mulai mengendurnya ketegangan antara kekuatan politik pendukung petahana, yakni pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, dan kekuatan politik yang mengusung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Pertemuan Prabowo dengan Jokowi, yang diikuti pertemuan dengan Megawati dan sejumlah ketua umum partai politik pendukung koalisi pemerintah, mengendurkan ketegangan di tingkat elite.
Kondisi ini berbeda dengan di tingkat publik, setidaknya di media sosial, yang masih ditemui banyak ketegangan sebagai residu kontestasi dan persaingan dalam pilpres lalu. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi pascapemilu lima tahun silam. Saat itu, ketegangan di parlemen muncul dengan hadirnya dualisme di lembaga legislatif. Terjadi persaingan Koalisi Indonesia Hebat yang mendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dengan Koalisi Merah Putih yang berada di kubu Prabowo-Hatta Rajasa.
Ketegangan keduanya terutama terjadi saat pemilihan pimpinan parlemen, baik di DPR maupun MPR, meski pada tahun pertama, kondisinya mencair seiring masuknya sejumlah partai politik yang sebelumnya berseberangan ke dalam koalisi pemerintah.
Pemandangan berbeda terjadi pada awal terbentuknya parlemen hasil Pemilu 2019. Pemilihan pimpinan DPR dan MPR nyaris tanpa ketegangan politik yang berarti. Boleh jadi hal ini tak lepas dari adanya perubahan terhadap Undang-Undang MPR, DPR, serta DPRD sehingga semua partai yang lolos ke parlemen otomatis mendapat jatah kursi pimpinan MPR. Hal ini sedikit banyak mengurangi tensi ketegangan seperti yang terjadi pada lima tahun silam.
Konfigurasi baru di parlemen ini tak lepas dari hasil Pemilu 2019 yang menempatkan tiga partai politik masuk dalam kategori papan atas dengan perolehan suara lebih dari 10 persen. Tiga partai itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (19,3 persen), Partai Gerakan Indonesia Raya (12,5 persen), dan Partai Golkar (12,3 persen).
Komposisi ketiga partai beserta perolehan suara mereka sebenarnya sudah terbaca pada survei Kompas yang digelar sebelum pemilu (Maret 2019). Urutan partai-partai itu dalam hal perolehan suara sama dengan hasil survei Kompas. Komposisi itu relatif bertahan dalam hasil survei pascapemilu, Oktober ini. PDI-P, Gerindra, dan Golkar tetap menjadi tiga partai papan atas.
Partai politik lain berada pada kelompok dengan perolehan suara kurang dari 10 persen. Jika dikelompokkan lagi, ada kelompok menengah atas yang terdiri atas partai dengan perolehan suara minimal 7 persen hingga 10 persen. Di kelompok menengah atas itu terdapat Partai Kebangkitan Bangsa (9,6 persen), Partai Nasdem (9,0 persen), Partai Keadilan Sejahtera (8,2 persen), dan Partai Demokrat (7,7 persen). Adapun dua partai politik masuk dalam kategori menengah bawah, yakni meraih suara kurang dari 7 persen. Keduanya ialah Partai Amanat Nasional (6,8 persen) dan Partai Persatuan Pembangunan (4,5 persen).
Kelompok partai politik di kelas menengah ini juga tergambar dalam hasil survei Kompas, terutama yang dilakukan sebelum pemilu (Maret 2019). PKB, PKS, Demokrat, dan Nasdem menjadi partai di papan menengah atas dengan rentang elektabilitas 3-6 persen. Dikaitkan dengan rentang sampling error, tentu kelompok partai ini berada di ambang batas parlemen meskipun beberapa di antaranya masuk kategori tipis dengan batas tersebut.
Sementara itu, dua partai politik lain, PAN dan PPP, menempati posisi di urutan terbawah. Posisi tersebut terkonfirmasi pada hasil Pemilu 2019. Dalam survei Oktober 2019, keduanya juga merupakan dua partai terbawah dalam tingkat elektabilitas.
Naik turun
Jika dibandingkan tren elektabilitas partai politik di survei Kompas, tampak ada partai yang mengalami tren kenaikan dan ada pula partai yang mengalami penurunan. Naik turun ini seiring dengan dinamika persepsi publik dalam survei.
Dari kelompok partai papan atas, Partai Gerindra mengalami tren kenaikan elektabilitas. Pada awal pemerintahan Jokowi, yakni Januari 2015, hasil survei merekam, Gerindra memiliki elektabilitas 8,1 persen. Pada Oktober 2019, elektabilitasnya mencapai 16,9 persen.
PDI-P cenderung mengalami penurunan meskipun masih bertahan sebagai partai politik dengan elektabilitas paling tinggi. Adapun elektabilitas Golkar relatif bertahan dan cenderung tak mengalami perubahan yang berarti.
Kondisi di survei ini tergambar juga dalam hasil pemilu. Kita lihat PDI-P dalam perjalanan di pemilu era Reformasi, perolehan suaranya dalam Pemilu 2019 tergolong turun dibandingkan perolehan suaranya pada Pemilu 1999.
Hal yang sama dialami Partai Golkar. Perolehan suaranya cenderung turun dari pemilu ke pemilu di era Reformasi. Hal berbeda dialami Partai Gerindra. Pada Pemilu 2019, partai ini meraih 12,5 persen suara. Angkanya melonjak tiga kali lipat dibandingkan perolehan suaranya saat pertama kali mengikuti pemilu pada 2009.
Sementara itu, pada kelompok kelas menengah, kondisinya sama. Ada partai yang mengalami penurunan, ada pula yang mengalami kenaikan elektabilitas. Survei Kompas merekam, PKB, PKS, Nasdem, dan Demokrat relatif mengalami dinamika elektabilitas yang positif, cenderung mengalami tren stabil, ataupun meningkat. Hal berbeda dialami PPP dan PAN yang cenderung mengalami tren penurunan elektabilitas.
Kondisi ini juga tergambar dalam tren perolehan suara partai-partai tersebut di pemilu. PKB, misalnya, cenderung sukses meningkatkan perolehan suara meskipun belum menyamai prestasi terbaiknya saat berlaga di Pemilu 1999. PKS dan Nasdem juga menjadi partai di kelompok partai menengah yang mengalami tren kenaikan suara.
Loyalitas pemilih
Dinamika keterpilihan partai politik tentu tak lepas dari modal politik berupa kantong-kantong suara yang selama ini menjadi basis pemilihnya. Selain itu, loyalitas pemilih menjadi kunci yang memengaruhi potensi elektabilitas partai.
Hasil survei menangkap, partai-partai papan atas cenderung memiliki pemilih loyal. Lebih dari 70 persen pemilih PDI-P dan Gerindra mengaku akan tetap memilih keduanya pada Pemilu 2024. Adapun Partai Golkar berada di bawahnya dengan 66 persen pemilih menyatakan bakal memilih partai ini lagi.
Sementara itu, di kelompok partai politik menengah, PKB dan PKS memiliki tingkat loyalitas pemilih lebih tinggi dibandingkan yang lain. Sebanyak 73 persen pemilih PKB akan memilih kembali partai ini di pemilu mendatang. Adapun di PKS, tercatat 68 persen pemilihnya loyal untuk memilih lagi partai ini.
Tidak mengherankan, loyalitas pemilih menjadi kunci bagi partai untuk bisa bertahan, apakah tetap berada di kelompok papan atas atau beralih menjadi kelompok menengah. Perjalanan lima tahun ke depan akan menentukan, apakah partai lebih berpihak pada agenda publik atau justru lebih mengikuti hasrat politiknya semata. Pilihan-pilihan ini menentukan nasib mereka dalam Pemilu 2024. (LITBANG KOMPAS)