Pada 1970-an, negeri ini dikuasai Khmer Merah kemudian mengalami invasi Vietnam dan perang saudara yang berakhir dengan Perjanjian Damai Paris 1991 sebagai buah mediasi Republik Indonesia. Bagaimana Kamboja saat ini?
Oleh
Iwan Santosa
·4 menit baca
Sejak tahun 2004-2019, terlihat pertumbuhan pesat Kerajaan Kamboja, setidaknya secara fisik dan perekonomian, di negara yang kerap dikritik media Barat sebagai negeri otoriter di bawah Perdana Menteri Hun Sen itu.
Reformasi sedang berlangsung di negara yang pada 1960-an terimbas Perang Vietnam ini. Pada 1970-an, negeri ini dikuasai Khmer Merah kemudian mengalami invasi Vietnam dan perang saudara yang berakhir dengan Perjanjian Damai Paris 1991 sebagai buah mediasi Republik Indonesia.
Salah satu pemicu reformasi adalah media sosial, seperti Facebook. Perdana Menteri Hun Sen memiliki tim medsos yang mengelola akun Perdana Menteri. Mesa Sun, seorang produser TV Bayon di Kamboja, menceritakan, kini masyarakat bisa mengadu langsung ke PM Hun Sen.
PM Hun Sen yang memimpin kubu penguasa lewat Partai Rakyat Kamboja (Cambodian People Party) kini berusaha mendekat ke warga, berbeda dengan di masa lalu. Langkah itu membuat para pejabat dan kantor pemerintah juga menyesuaikan diri dengan langkah keterbukaan yang sedang dikerjakan PM Hun Sen.
”Dulu pejabat dan kantor pelayanan publik bisa semaunya. Setelah PM Hun Sen membuka akun medsos, banyak pengaduan langsung. Sudah sering pejabat dicopot atau dihukum karena tindakan mereka dilaporkan masyarakat ke akun medsos PM Hun Sen,” ujar Mesa yang 10 tahun lebih berkecimpung di dunia televisi Kamboja.
Dia mengatakan, kini pengaduan, seperti layanan air bersih yang macet, cepat ditanggapi petugas. Dulu, konsumen harus memberikan uang pelicin agar dilayani. Petugas pun berani memasang tarif untuk melayani konsumen. Itu pun menunggu waktu lama.
Demikian juga soal pemasangan telepon, listrik, dan lain-lain yang di masa lalu menjadi lahan subur praktik korupsi dan suap kini berangsur berubah dengan adanya akun pengaduan via medsos tersebut. Tidak saja PM Hun Sen, beberapa pejabat kini mulai mengambil langkah serupa dengan membuka akun medsos dan berinteraksi langsung dengan warga.
Mesa menerangkan, Kamboja tidak bisa mentah-mentah menerapkan demokrasi Barat mengingat tingkat pendidikan dan perekonomian di sana lebih maju. Terlebih, Kamboja mengalami trauma mendalam akibat perang saudara yang berkepanjangan.
Sepintas lalu dalam pengamatan penulis, perekonomian di negara dengan pendapatan per kapita 2.600 dollar AS itu sudah jauh lebih baik dibandingkan pada 2004. Kini, pengemudi bajaj atau tuktuk pun sudah menggunakan aplikasi ponsel pintar untuk menerima pesanan pelanggan.
”Pengemudi tuktuk bisa mendapatkan 20-30 dollar AS per hari jika bekerja seharian,” kata Kok, eksportir beras dan pengusaha restoran khas Khmer di Phnom Penh.
Biaya makan, seperti bihun Khmer dengan lauk lengkap, ada di kisaran 1-1,5 dollar AS per mangkok. Biaya hidup warga Kamboja di Phnom Penh secara umum lebih murah dari biaya hidup di Kota Jakarta.
Adapun tarif kamar hotel berkisar Rp 200.000-Rp 1,5 juta per malam tergantung kelas hotel untuk yang berada di tepian sungai dengan bulevar Sisovath Quay yang dikenal indah dengan taman, ribuan burung merpati beterbangan bebas, dan perahu wisata yang berlalu-lalang.
Untuk sewa apartemen, ukuran 50 meter persegi di sekitar Pasar Rusia bagi warga ekspatriat di Phnom Penh dikenai harga 350-450 dollar AS per bulan. Daerah Tonle Bassac di dekat KBRI Phnom Penh harga jualnya mencapai 20.000 dollar AS per meter!
Istana Raja, Museum Nasional, berbagai lembaga internasional, hingga Museum Norodom Sihanouk dan tempat ibadah Buddhis, Wat Ounaloum, serta Monumen Kemerdekaan berikut Patung Raja Norodom Sihanouk menjadi bagian atraksi wisata Kota Phnom Penh sekaligus pusat kegiatan warga.
Kamboja yang menggunakan mata uang nasional Riel dan dollar Amerika Serikat ini kini ramai dikunjungi wisatawan. Kamboja yang memiliki kebudayaan yang unik dan situs sejarah Angkor Wat juga diuntungkan dengan membanjirnya turis ke Thailand dan Vietnam.
Grup mal besar AEON sudah membuka dua pusat pertokoan di Phnom Penh, selain grup Naga dari Malaysia yang juga telah membuka jaringan hotel dan kasino megah. Berbagai butik barang mewah kini juga bertebaran di pusat pertokoan mewah di Phnom Penh.
Ikon terbaru adalah gedung pusat keuangan Vattanac berbentuk naga, mahluk penting dalam mitologi bangsa Khm, setinggi 187,3 meter yang memiliki 39 lantai menjulang tinggi di tengah Phnom Penh.
Vattanac Capital Centre tersebut menggabungkan perkantoran, pertokoan mewah, hotel Rosewood, dan kompleks apartemen. Para diplomat Barat kerap menghabiskan waktu di Sky Bar di atas gedung Vattanac yang lokasinya dekat dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Gedung Perdamaian yang merupakan kantor PM Hun Sen, dan Stasiun KA Phnom Penh.
Sepanjang siang, malam, hingga dini hari, situasi kota Phnom Penh tetap hidup oleh aktivitas warga dan ingar bingar dunia malam yang dipadati turis asing. Banyak pekerja malam asal Vietnam dan China yang mengadu nasib di Phnom Penh.
Adapun beberapa pengusaha Indonesia juga berinvestasi dengan membuka kasino, terutama di daerah Bavet, perbatasan Kamboja-Vietnam.
Terlepas dari adanya kemiskinan dan kesenjangan sosial, keinginan PM Hun Sen membuka diri terhadap kritik, perlahan tetapi pasti mendorong terjadinya berbagai perubahan yang diharapkan membawa kebaikan bagi Kamboja yang perekonomiannya tumbuh rata-rata 7 persen dalam 20 tahun terakhir! (IWAN SANTOSA, dari Phnom Penh, Kamboja)