Upaya mendorong warga untuk lebih banyak jalan kaki penting dilakukan demi menjaga kesehatan dan produktivitas warga. Bonus demografi yang saat ini dialami Indonesia pun tidak bisa dimanfaatkan secara optimal.
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupaya membangkitkan budaya jalan kaki di kalangan warga. Melalui upaya tersebut, jumlah penderita penyakit tidak menular, termasuk obesitas, diharapkan menurun.
Wakil Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Khafifah Any menyampaikan, upaya mendorong warga untuk jalan kaki merupakan bagian dari Gerakan Masyarakat Sehat (Germas) yang telah dilaksanakan sejak 2017. Ada tujuh indikator yang dikampanyekan dalam pelaksanaan Germas, yakni melakukan aktivitas fisik, mengonsumsi sayur dan buah, tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol, memeriksa kesehatan secara rutin, membersihkan lingkungan, dan menggunakan jamban.
”Mendorong upaya jalan kaki adalah salah satu dari indikator Germas, yaitu aktivitas fisik selama 30 menit per hari. Diharapkan, dengan meningkatkan budaya jalan kaki, dapat menurunkan angka kesakitan penyakit tidak menular (PTM),” kata Any, melalui pesan tertulis, Selasa (22/10/2019).
Sayangnya dampak dari kampanye Germas yang telah berlangsung selama dua tahun itu belum tampak secara signifikan. Pada September 2019, Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek mengakui, Germas belum dikampanyekan secara masif.
”Masyarakat kita hanya sekitar 20 persen yang menerapkan gaya hidup kesehatan. Stunting masih ada, obesitas meningkat, dan penyakit tidak menular meningkat,” ujar Nila.
Pada 2018, misalnya, jumlah kasus obesitas di Jakarta merupakan paling tinggi nomor dua secara nasional.
Diungkapkan dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, Jakarta merupakan wilayah dengan jumlah kasus obesitas tertinggi nomor dua setelah Sulawesi Utara. Proporsi warga dewasa berusia lebih dari 18 tahun di Jakarta yang memenuhi indikator obesitas sebanyak 29,8 persen.
Sementara itu, proporsi warga Jakarta berusia lebih dari 10 tahun yang dianggap kekurangan fisik 47,8 persen atau tertinggi secara nasional. Angka itu sedikit meningkat dibandingkan dengan 2013.
Transportasi modern dan produktivitas
Dihubungi secara terpisah, Kepala Bagian Humas Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Budi Rahardjo menyatakan bahwa jalan kaki merupakan bagian dari konsep transportasi modern yang akan diterapkan ke depan. Selain angkutan umum, fasilitas untuk transportasi tanpa motor (nonmotorized transportation), yang merupakan jalan kaki dan bersepeda akan terus dikembangkan. Itulah sebabnya revitalisasi trotoar di Jakarta sedang digencarkan.
”Begitu ada banyak trotoar, mau enggak mau ada pembatasan kendaraan bermotor. Nonmotorized transportation pada saat yang sama akan terus dikembangkan. Di negara maju, orang jalan kaki rata-rata 7.000 langkah. Hal itu berdampak terhadap kesehatan sehingga tidak rentan kena penyakit noninfeksi. Di Jakarta, rata-rata baru 3.000 langkah. Padahal, idealnya adalah 10.000 langkah per hari,” tutur Budi.
Upaya mendorong warga untuk lebih banyak jalan kaki penting dilakukan demi menjaga kesehatan dan produktivitas warga. Apabila sakit, warga itu tidak bisa produktif. Bonus demografi yang saat ini dialami Indonesia pun tidak bisa dimanfaatkan secara optimal. Seperti diprediksi banyak kalangan, pada 2020-2045, jumlah penduduk usia produktif Indonesia lebih besar dibandingkan jumlah penduduk tidak produktif.
”Kalau yang usia produktif kena penyakit, bagaimana dia mau produktif? Sekarang, 55 persen penduduk Indonesia tinggal di kota. Warga yang kurang melakukan aktivitas fisik umumnya di kota sehingga pembangunan kota perlu didesain agar penduduk didorong jalan kaki. Transportasi memegang peran penting dalam mencapai hal itu,” kata Budi.
Kebijakan tumpang tindih
Fani Rachmita, Communication Manager dari Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), berpendapat, kebijakan pemerintah yang tumpang tindih saat ini belum cukup mendorong warga untuk beralih dari kendaraan pribadi dan lebih sering jalan kaki dengan menggunakan angkutan umum. Meskipun fasilitas transportasi umum terus ditambah, warga Jakarta masih dimanjakan dengan fasilitas parkir yang harganya terjangkau dan biaya uang muka (DP) mobil atau motor yang terjangkau banyak kalangan.
”Warga Jakarta sebenarnya tidak malas (jalan kaki). Menurut saya, itu lebih karena tidak ada fasilitas yang memadai untuk mereka jalan kaki. Contoh jelasnya bisa dilihat di trotoar sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin. Banyak yang skeptis kalau trotoar diperlebar akan sepi dan tidak ada yang jalan. Nyatanya, sekarang penuh dengan pejalan kaki,” tutur Fani.
Dalam mendorong warga untuk lebih memilih jalan kaki, Fani menyarankan perlunya figur yang bisa dicontoh dan memberi inspirasi. ”Misalnya, para SKPD (satuan kerja perangkat daerah) Pemprov DKI yang menginisiasi gerakan jalan kaki memberi contoh (dengan jalan kaki sehari-hari). Role model juga diperlukan untuk meningkatkan awareness dan menjadi penyemangat warga,” tambahnya.
Selain itu, fasilitas atau infrastruktur pejalan kaki juga perlu mengedepankan keamanan dan kenyamanan pejalan kaki. ”Misalnya, memastikan ruang pejalan kaki steril dari gangguan, memberikan peneduh, baik buatan maupun alami (pohon), serta tersambung dan terintegrasi dengan transportasi publik karena mayoritas pejalan kaki adalah pengguna transportasi publik,” ujar Fani.