Angin kencang yang membawa debu dan asap kecoklatan melanda sejumlah wilayah di Pulau Jawa. Fenomena ini dipicu oleh tiga faktor, yaitu menguatnya angin timuran, kulminasi matahari, dan pengaruh cuaca lokal.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angin kencang yang membawa debu dan asap kecoklatan melanda sejumlah wilayah di Pulau Jawa. Fenomena ini dipicu tiga faktor, yaitu menguatnya angin timuran, kulminasi matahari, dan pengaruh cuaca lokal.
Pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), angin kencang disertai debu dan asap ini melanda Batu, Jawa Timur, Merapi di Yogyakarta, serta Merbabu, Kopeng, Semarang, dan Salatiga di Jawa Tengah. Selain itu, Jakarta, pantai utara Jawa, hingga pantai selatan Jawa mengalami angin lebih kencang dari biasanya.
Peneliti iklim dari BMKG, Siswanto, di Jakarta, Senin (21/10), mengatakan, dari tinjauan meteorologis, setidaknya terdapat tiga faktor yang bisa memicu fenomena ini. ”Faktor pertama karena kuatnya angin timuran monsun Australia di atas Laut Jawa dan Samudra Hindia selatan Jawa,” ujarnya.
Kehadiran iklim yang lebih kering dan awal musim hujan yang terlambat salah satunya disebabkan aktifnya angin monsun Australia yang dominan mulai dari Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara. Dalam beberapa hari terakhir, terjadi penguatan kecepatan angin itu di lapisan troposfer bawah sekitar ketinggian 850 milibar (mb) atau 1,5 km di atas permukaan Laut Jawa hingga 70 kilometer per jam.
Berdasarkan data pengamatan udara dari Stasiun Meteorologi di Jawa Tengah, kecepatan angin pada lapisan 850 mb atau 1.500 meter dari permukaan tanah terpantau di Semarang 74 km per jam, di Tegal 63 km per jam, dan Cilacap 45 km per jam. Adapun data Stasiun Meteorologi Maritim Serang mencatat lebih dari 100 km per jam.
”Penguatan kecepatan angin itu dipengaruhi oleh kuatnya pusaran tekanan tinggi di Samudra Hindia tengah bagian selatan sekitar Kepulauan Mascarene yang dikenal sebagai fenomena Mascarene High (MH). Keberadaan MH biasanya muncul pada masa peralihan monsun di sekitar April dan Oktober, serta berkaitan erat dengan sistem monsun Afrika dan Australia,” tuturnya.
Penguatan kecepatan angin itu dipengaruhi kuatnya pusaran tekanan tinggi di Samudra Hindia tengah bagian selatan sekitar Kepulauan Mascarene dikenal sebagai fenomena Mascarene High.
Faktor kedua, menurut Siswanto, adalah posisi lintasan matahari berada tegak lurus di atas Pulau Jawa. Sebagaimana diketahui, pada 10-16 Oktober, Jakarta, Semarang, Cilacap, Yogyakarta, Denpasar, dan kota-kota di Indonesia bagian selatan lainnya umumnya mengalami fenomena kulminasi matahari.
Ditambah kondisi kering kemarau, beberapa kota mencatat suhu udara permukaan yang cukup tinggi. Pada Senin ini, misalnya, di Jakarta dan Semarang mencatat suhu maksimum siang hari 37 derajat celsius dan 36 derajat celsius.
”Dalam skala tertentu, tekanan udara permukaan berbanding terbalik dengan suhu udara permukaan. Suhu yang lebih panas akan menurunkan tekanan udara permukaan. Akibatnya, udara mengalir ke wilayah dengan suhu yang lebih panas tersebut,” tuturnya.
Faktor ketiga yang memicu peningkatan kecepatan angin adalah pengaruh cuaca lokal, terutama daerah pegunungan. ”Kecepatan angin lebih kuat pada lapisan troposfer, selain dapat dirasakan dengan penguatan angin permukaan di banyak tempat, juga memicu penguatan sirkulasi lokal berupa angin gunung dan angin lembah di daerah dengan kontur topografi berbukit bukit,” katanya.
Angin lembah biasanya terjadi siang hari saat bagian dengan dataran yang lebih luas dan lebih rendah mendapat pemanasan matahari yang cukup. Sebaliknya dengan angin gunung yang menuruni lembah pada waktu malam hari.
Kebakaran hutan
Selain ketiga faktor meteorologis, terdapat faktor noncuaca, yaitu kebakaran hutan. Pada kasus angin kencang yang membawa debu pasir dan asap di Kota Batu ke arah Mojokerto, lokasi berada pada wilayah dengan kontur pegunungan.
Dalam dua hari terakhir, terjadi kebakaran cukup luas di bagian yang lebih tinggi, yaitu di Gunung Arjuna. Hal itu dapat memicu aliran angin lembah yang lebih kuat dari biasanya sehingga membawa debu pasir terangkat ke bagian atas.
”Terjadinya angin kencang di Batu pada malam hari diduga dipicu oleh kebakaran ini. Suhu lebih panas akibat kebakaran dalam waktu cukup lama akan menurunkan tekanan udara permukaan sehingga udara mengalir ke wilayah dengan suhu lebih panas tersebut,” ujarnya.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo mengatakan, angin kencang di Batu telah menyebabkan satu orang meninggal, sejumlah orang mengalami luka-luka dan mengalami gangguan saluran pernapasan.
Selain melumpuhkan hampir seluruh wilayah Desa Sumber Brantas, angin kencang tersebut juga merusak sedikitnya 20 rumah, fasilitas umum, jaringan komunikasi dan jaringan listrik di Desa Sumbergondo.
Upaya pemadaman
Menurut Agus, upaya pemadaman kebakaran di Gunung Arjuna terus dilakukan. Namun, pemadaman menggunakan pengeboman air dengan helikopter terkendala perubahan kecepatan udara. Helikopter jenis MI-8 akhirnya kembali ke landasan di Lanud TNI AU Abdulrachman Saleh, Malang, Jawa Timur.
Turbulensi disebabkan angin di ketinggian kencang sehingga membahayakan operasi pengeboman di beberapa titik yang telah diidentifikasi. ”Berdasarkan laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Timur, angin bertiup dengan kecepatan 25 knot, di mana normal kecepatan angin untuk penerbangan yang aman berada pada 10 knot,” kata Agus.
Kebakaran hutan dan lahan di kawasan Gunung Arjuno-Welirang ini diinformasikan pertama kali pada Juli 2019. Saat itu, lokasi titik api diketahui mendekati puncak di ketinggian sekitar 3.200 meter di atas permukaan laut atau mdpl dengan tutupan lahan didominasi savana. Adapun medan menuju lokasi sulit dijangkau, tidak ada sumber air, dan kondisi angin kencang.