Proses uji materi dan uji formil terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terus berlangsung.
Oleh
·3 menit baca
Pemohon uji materi dan uji formil UU KPK hasil revisi menyerahkan perbaikan permohonan ke majelis hakim MK. Hal ini dilakukan setelah UU KPK yang baru memiliki nomor.
JAKARTA, KOMPAS — Proses uji materi dan uji formil terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terus berlangsung. Setelah revisi UU KPK itu diundangkan pada 17 Oktober 2019 dengan nomor undang-undang 19 tahun 2019, para pemohon uji materi dan uji formil ke KPK meresponsnya dengan memperbaiki permohonan.
Kelompok mahasiswa yang diwakili Zico Leonard Djagardo Simanjuntak menyampaikan, perbaikan permohonan yang disampaikan di sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (21/10/2019), di Jakarta. Sebanyak 190 mahasiswa menjadi pemohon uji materi dan uji formil UU KPK tersebut. Selain hadir di ruang sidang, puluhan pemohon lainnya ”hadir” lewat fasilitas konferensi video dari 10 universitas, yakni Universitas Diponegoro, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Universitas Gadjah Mada, Universitas Mulawarman, Universitas Tanjung Pura, Universitas Syiah Kuala, Universitas Hasanuddin, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Sidang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dan dihadiri oleh dua hakim anggota panel, yakni Enny Nurbaningsih dan Manahan Sitompul. Dalam sidang sebelumnya, majelis hakim memberi masukan kepada pemohon agar memperjelas obyek permohonan. Ketika itu, revisi UU KPK yang diujikan ke MK belum diundangkan sehingga belum memiliki nomor. Setelah diundangkan, revisi UU itu selanjutnya disebut dengan UU No 19 Tahun 2019.
Dalam perbaikan permohonannya, pemohon tetap meminta MK membatalkan Dewan Pengawas KPK karena menghalangi pemberantasan korupsi oleh KPK. Dewan Pengawas dinilai bukan penegak hukum sehingga tak dapat memberikan izin penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan.
Bilamana alasan yang dipakai pembuat UU ialah untuk melindungi hak asasi manusia (HAM), menurut pemohon, lebih tepat jika izin penyadapan itu dimintakan melalui putusan pengadilan negeri setempat. Sebab, putusan pengadilan negeri itu akan lebih menjamin kepastian hukum daripada izin Dewan Pengawas yang bukan lembaga penegak hukum.
Selain menyoal keberadaan Dewan Pengawas, pemohon juga meminta kewenangan KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) agar dibatalkan. Ketentuan itu dipandang akan mengurangi sifat kehati-hatian KPK dalam memeriksa perkara.
Pemohon juga meminta MK membatalkan ketentuan di UU No 19/2019 yang membatasi kewenangan KPK hanya pada penyidikan dan penuntutan korupsi dan tidak termasuk perkara tindak pidana pencucian uang.
Perbaikan dibahas
Ketua MK Anwar Usman mengatakan, perbaikan permohonan itu akan dibawa ke rapat permusyawaratan hakim (RPH). Hakim akan menentukan kelanjutan permohonan itu setelah ada pembicaraan dengan hakim konstitusi lainnya dalam RPH. ”Bagaimana hasilnya, Saudara akan dipanggil melalui kepaniteraan. Demi menjamin keadilan prosedur segala pernyataan Saudara akan dicatat dalam berita acara persidangan,” katanya.
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, setelah revisi UU KPK diundangkan, sebenarnya Presiden Joko Widodo masih berpeluang mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu). Akan tetapi, hingga kini, perppu tersebut belum dikeluarkan dan Presiden juga tidak menandatangani revisi UU KPK yang otomatis diundangkan tersebut sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam konstitusi.
”Dengan tidak menandatangani revisi UU KPK, Presiden sebenarnya menunjukkan sikapnya. Sebagaimana dulu juga tidak menandatangani UU MD3. Kini, upaya yang bisa dilakukan ialah melalui judicial review di MK dan legislative review melalui pembicaraan kembali antara pemerintah dan DPR,” katanya.
Terkait mekanisme yang saat ini berlangsung di MK, menurut Bayu, publik mencatat adanya sejumlah putusan MK yang dipandang kurang menguntungkan bagi upaya pemberantasan korupsi.
Opsi legislative review, kata Bayu, lebih baik diambil pemerintah dan DPR guna menyisir ulang ketentuan-ketentuan mana saja yang harus dihilangkan dalam UU KPK hasil revisi. (REK)