Upaya Pencegahan Kematian Ibu Dimulai sejak Masa Pranikah
Oleh
DEONISIA ARLINTA / Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ditargetkan tidak ada lagi angka kematian ibu pada 2030. Namun, angka kematian ibu di Indonesia saat ini masih terbilang tinggi. Pemerintah pun berupaya melakukan intervensi sejak dini dari masa kehamilan, bahkan sejak perencanaan kehamilan dimulai.
Target untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dari 305 per 100.000 kelahiran hidup (Supas 2015) menuju di bawah angka 100 per 100.000 kelahiran hidup pada 2030 merupakan target yang sangat ambisius. Meski tidak mudah, target ini diharapkan bisa menjadi pemicu agar semua pihak yang terkait lebih bekerja keras menekan AKI.
Dengan target tersebut, kata Ketua Pengurus Harian Yayasan kesehatan Perempuan Zumrotin K Susilo, dalam 11 tahun harus menurunkan AKI minimal 205 per 100.000 kelahiran hidup. Namun sejak tahun 2000, penurunan AKI rata-rata hanya 5 per 100.000 per kelahiran hidup per tahun.
"Jadi apabila upaya hanya berjalan seperti biasanya (business as usual), maka dalam 11 tahun kita hanya akan mampu menurunkan 55 angka atau masih di atas 200, dan target menurunkan AKI pada 2030 tidak akan tercapai,” katanya kepada Kompas di Jakarta, Selasa (22/10/2019). Karena itu, menurut Zumrotin, pemerintah harus melakukan sejumlah langkah untuk untuk mengidentifikasi semua faktor penyebab AKI.
Apabila upaya hanya berjalan seperti biasanya, maka dalam 11 tahun kita hanya akan mampu menurunkan 55 angka atau masih di atas 200, dan target menurunkan AKI pada 2030 tidak akan tercapai.
Secara terpisah, Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Eni Gustina, saat dihubungi Kompas di Jakarta, Selasa (22/10), mengatakan, langkah awal yang harus dilakukan adalah memperbaiki data, untuk mengevaluasi program yang dijalankan.
"Kami sudah mulai dengan melakukan survei tahunan terkait kesehatan masyarakat, termasuk angka kematian ibu. Harapannya, evaluasi dan monitoring menjadi lebih baik, intervensi pun bisa cepat dilakukan,” kata dia.
Selain itu, kata Eni, program 1.000 Hari Pertama Kehamilan juga turut memastikan kesehatan ibu terjamin mulai dari masa kehamilan, masa persalinan, dan pasca persalinan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2019 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan telah mengatur standar pelayanan dasar kesehatan pada ibu hamil.
Dalam aturan tersebut dituliskan, ibu hamil harus melakukan empat kali kunjungan ke fasilitas kesehatan selama periode kehamilan. Dari empat pemeriksaan tersebut diwajibkan setidaknya satu kali didampingi oleh suami. Dalam pemeriksaan antenatal (persiapan kehamilan), standar kualitas yang diberikan secara komprehensif, antara lain pengukuran berat badan, pengukuran tekanan darah, pemberian imunisasi, pemberian tablet tambah darah, serta tes laboratorium.
Menjelang waktu persalinan, bidan pun diwajibkan sudah datang paling lambat 30 menit setelah ibu hamil tiba ke fasilitas kesehatan. Dengan begitu, ketika ibu hamil datang dalam kondisi kegawatdarutaan bisa segera tertangani.
“Selama ini kematian ibu hamil sekitar 70 persen terjadi pada enam jam pertama. Diduga, kondisi ini disebabkan karena ibu tersebut terlambat mendapatkan pertolongan. Untuk itu, kami telah atur agar dokter atau bidan bisa sampai di fasilitas layanan kesehatan maksimal 30 menit,” kata Eni.
Selama ini kematian ibu hamil sekitar 70 persen terjadi pada enam jam pertama. Diduga, kondisi ini disebabkan karena ibu tersebut terlambat mendapatkan pertolongan.
Perencanaan
Upaya pencegahan kematian pada ibu, menurut Eni, juga harus dilakukan sebelum pernikahan dilakukan. Pendidikan untuk merencanakan kehamilan bisa disampaikan saat seseorang mengikuti kursus calon pengantin.
Selain pemeriksaan laboratorium untuk mengecek kondisi kesehatan calon suami dan calon istri, edukasi mengenai hamil yang terencana perlu diberikan agar calon pengantin ini lebih siap memiliki anak. Artinya, siap secara fisik dan mental sehingga anak yang dilahirkan pun dalam kondisi sehat.
“Kemkes bersama Kementerian Agama telah memberikan panduan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) calon pengantin yang diberikan ketika mengikuti kursus calon pengantin. Jadi, sebelum menikah, pasangan calon suami istri sudah memahami kondisi kesehatan mereka, bagaimana membina keluarga yang baik, serta mewujudkan keluarga yang bahagia. Ini termasuk bagaimana mempersiapkan kehamilan dengan baik,” tutur Eni.
Revisi terbatas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa usia minimal untuk menikah menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan, diharapkan dapat memberi andil untuk menyiapkan laki-laki dan perempuan membina keluarga secara lebih baik. Dengan meningkatnya usia minimal menikah bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun, dan syarat dispensasi perkawinan yang lebih ketat, diharapkan dapat mencegah perkawinan anak yang selama ini mempunyai andil dalam AKI.
Ketentuan baru itu, menurut Zumrotin, harus diikuti dengan sosialisasi ke masyarakat secara intensif. "Kita khawatir meski ada undang-undang (UU No 1/74), tetapi kalah dengan budaya. Padahal, perkawinan anak membuat perempuan memiliki risiko melahirkan," kata dia.
Sekretaris Menteri Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu juga mengatakan, salah satu perhatian pemerintah adalah perkawinan anak. "(Pencegahan) perkawinan anak sebagai prioritas pemerintah dari akselerator SDGs (Tujuan pembangunan berkelanjutan)," kata dia.