Kalangan pencinta sepak bola mengharapkan kepengurusan baru PSSI dapat membuat perubahan radikal. Bangun budaya baru yang positif sejak pembinaan sepak bola usia dini.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Kalangan pencinta sepak bola mengharapkan kepengurusan baru PSSI dapat membuat perubahan radikal. Bangun budaya baru yang positif sejak pembinaan sepak bola usia dini.
Wajah sepak bola suatu negara tergambar dari prestasi tim nasional, terutama senior putra dan putri. Hingga Rabu (23/10/2019), peringkat timnas putra dalam FIFA ialah 159. Peringkat ini bisa dipastikan merosot lagi hingga mendekati urutan 170, mengingat dua kekalahan timnas saat kualifikasi Piala Asia, beberapa waktu lalu.
Di Asia Tenggara, Indonesia jauh di bawah Vietnam (98). Di hadapan Australia (41), negara yang berkali-kali lolos ke putaran Piala Dunia, posisi Indonesia jelas lebih mengenaskan. Padahal, gerakan reformasi sepak bola terus digulirkan seiring dengan proses politik reformasi negeri ini setelah krisis moneter 1997.
Namun, pohon reformasi sepak bola tak kunjung berbuah. Jika pun berbuah, rasanya tak manis. Di Piala AFF, Indonesia belum sekali pun mencicipi juara Asia Tenggara karena selalu gagal di lima final.
”Timnas adalah muara. Kesuksesan timnas tidak akan pernah terlepas dari proses sejak hulu atau pembinaan usia dini,” kata Vijaya Fitriyasa, pemilik Persis Solo yang juga merupakan salah satu calon Ketua Umum PSSI dalam diskusi yang dihelat harian Jawa Pos bertema ”#PSSIHarusBaik2 Berubah atau Bubrah!”, Rabu petang, di Surabaya, Jawa Timur.
Ketua Asosiasi Provinsi PSSI Jatim Ahmad Riyadh mencontohkan, baru pada 2018 sekolah sepak bola (SSB) terafiliasi dengan PSSI. Diperkirakan lebih dari 10.000 SSB sedang dalam proses verifikasi. Untuk menjadi SSB yang terverifikasi harus memiliki lapangan atau fasilitas, tim kepelatihan bersertifikat, dan menerapkan kurikulum sepak bola.
Ketua Asosiasi Provinsi PSSI Daerah Istimewa Yogyakarta Ahmad Syauqi Suratno menambahkan, asprov juga diwajibkan mengadakan turnamen dan kompetisi amatir secara berjenjang. ”Harapannya, yang amatir bisa klop dengan yang profesional,” katanya.
Namun, menurut mantan CEO PSS Sleman Viola Kurniawati, berbagai program yang ingin dijalankan oleh federasi ternyata tak sinkron bahkan ”mengganggu” pengembangan pelaku utama sepak bola, yakni klub profesional.
Viola mencontohkan, dalam program pembentukan timnas memang wajar jika para pemain diambil dari berbagai klub. Yang menjadi masalah, kerap terjadi pemain cedera saat mengikuti proses seleksi timnas. Pemain dikembalikan begitu saja ke klub untuk perawatan. ”Manajemen timnas yang ditunjuk PSSI enggan membantu klub dalam pemulihan kesehatan pemain,” katanya.
Jika itu terjadi terus, menjadi maklum ada klub yang ogah-ogahan bahkan tak bersedia menyumbang pemainnya untuk timnas.
Selain itu, saat ini klub, terutama di Liga 1, juga harus membiayai lima tim dari yang yunior dan putri untuk berkompetisi. Tak jarang, klub juga memutar turnamen atau kompetisi internal antarklub keanggotaan perserikatan sebagai salah satu upaya mendapatkan calon-calon pemain.
”Patut diingat, klub juga diminta memiliki akademi,” kata Vijaya.
Sejumlah ”persyaratan” tadi pada prinsipnya bertujuan untuk membangun sepak bola Indonesia yang lebih baik. Namun, hal itu juga memperlihatkan bahwa keberadaan SSB dan klub profesional belum bisa saling mengisi. Tak semua pemain lulusan atau jebolan SSB bisa menembus ke klub-klub untuk menjadi pesepak bola profesional.
Betapa besar biaya yang harus dikeluarkan oleh klub untuk itu semua. (Viola Kurniawati)
Padahal, sepak bola juga harus memperhatikan aspek lain, yakni keberadaannya dalam masyarakat atau pendukung. Di Indonesia, sepak bola belum menempatkan respek atau pemartabatan sebagai hal yang mendasar. Bentrokan antarpendukung, kerusuhan seperti seusai laga antara PSIM Yogyakarta dan Persis Solo, Senin (21/10), perilaku SARA, kecurangan, dan korupsi merupakan borok yang tak kunjung bisa diobati.
”Kami mengharapkan agar PSSI ke depan bisa membuat perubahan berarti. Bawalah kami untuk membangun peradaban sepak bola,” kata Syauqi. Membangun di sini tak melulu terkait dengan menghasilkan stok pemain profesional dan untuk timnas nantinya, tetapi juga para praktisi sepak bola, manajer, pelatih, koordinator pendukung, administrator, dan pengusaha.