BEIJING, RABU — Pemerintah China berencana untuk menyingkirkan Carrie Lam dari posisinya sebagai Pemimpin Eksekutif Hong Kong. Selama lima bulan terakhir, Lam dinilai gagal meredakan krisis politik, aksi unjuk rasa pro-demokrasi, dan kerusuhan beruntun yang terjadi di Hong Kong.
Media Inggris, The Financial Times, edisi Rabu (23/10/2019), melaporkan, seorang pejabat anonim menyatakan, Beijing tengah menyusun rencana untuk mengganti Lam dengan seorang pejabat sementara. Namun, Beijing masih melihat situasi di Hong Kong mereda terlebih dulu agar tidak terlihat pemerintah menyerah pada tuntutan para pengunjuk rasa.
”Jika Presiden China Xi Jinping memutuskan untuk melanjutkan rencana untuk mengganti Lam, penggantinya akan ditetapkan pada Maret tahun depan untuk mengisi sisa masa jabatan Lam yang akan berakhir pada 2022,” kata laporan The Financial Times tersebut.
Kandidat yang dipertimbangkan untuk menggantikan Lam adalah mantan Kepala Otoritas Moneter Hong Kong Norman Chan atau Sekretaris Keuangan dan Kepala Sekretaris Administrasi Henry Tang.
Ketika dikonfirmasi, Kantor Pemerintah Hong Kong menyatakan tidak akan mengomentari spekulasi tersebut.
Dalam rekaman audio yang bocor pada September 2019, Lam mengatakan akan mengundurkan diri jika memiliki pilihan. Meskipun begitu, ia kemudian mengatakan tidak pernah mengajukan pengunduran diri kepada Beijing untuk meredakan suasana. Lam juga tidak pernah menjawab pertanyaan jurnalis mengenai rencana pengunduran diri.
”Saya tidak berpikir bahwa mengganti Carrie Lam akan menyelesaikan seluruh permasalahan. Jika pemerintah bisa merespons pada lima tuntutan itu, saya yakin warga Hong Kong akan berhenti melakukan unjuk rasa,” kata Joyce Ho (18), salah satu warga.
Sejak awal Juni 2019, warga Hong Kong melakukan aksi unjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi pemerintah. RUU ini memungkinkan seorang tersangka untuk dikirim ke China dan hal itu dinilai menggerus kebebasan khusus yang dinikmati warga Hong Kong.
Tuntutan awal para pengunjuk rasa masih menyertakan permintaan agar Lam mengundurkan diri dari jabatan karena gagal membawa aspirasi rakyat. Namun, aksi unjuk rasa itu berkembang menjadi gerakan pro-demokrasi.
Dalam aksinya, para pengunjuk rasa kemudian menyatakan bahwa mereka memiliki lima tuntutan utama. Kelima tuntutan itu adalah pencabutan RUU Ekstradisi, pembatalan sebutan perusuh terhadap pengunjuk rasa, pembebasan pengunjuk rasa yang ditahan polisi, penyelidikan kekerasan polisi, dan pemberian hak pilih atas pejabat Hong Kong.
”Rencana (penggantian Lam) itu pastinya sudah terlambat. Mustahil untuk percaya orang-orang Hong Kong akan bahagia dan kembali ke rumah begitu Carrie Lam mengundurkan diri," ujar Dixon Sing Ming, pengamat politik di Hong Kong University of Science and Technology.
Akar permasalahan
Kandidat Pemimpin Eksekutif Hong Kong mulai ditentukan Beijing secara langsung sejak 2014. Keputusan itu sempat mengundang aksi unjuk rasa pro-demokrasi yang disebut sebagai Gerakan Payung pada tahun yang sama. Unjuk rasa tersebut juga menuntut pengunduran diri pemimpin Hong Kong yang pro-Beijing pada waktu itu, Leung Chun-ying.
Saya pikir perubahan dalam kepemimpinan Hong Kong tidak akan berdampak banyak pada krisis politik yang dihadapi Hong Kong.
”Saya pikir perubahan dalam kepemimpinan Hong Kong tidak akan berdampak banyak pada krisis politik yang dihadapi Hong Kong. Masalahnya adalah sedikit yang memimpin Hong Kong dan lebih dari itu, para pemimpinnya tidak memiliki legitimasi populer karena mereka secara efektif dipilih oleh Beijing,” ujar Ben Bland, Direktur Proyek Asia Tenggara di Lowy Institute.
Hong Kong merupakan wilayah China yang memiliki pemerintahan khusus sejak diserahkan Inggris pada 1997. Hong Kong baru akan bersatu secara penuh dengan China pada 2047. Beberapa tahun terakhir, beberapa pihak pro-demokrasi melihat pengaruh Beijing menguat dalam pemerintahan Hong Kong.
RUU Ekstradisi
Pada Rabu (23/10/2019), Pemerintah Hong Kong secara resmi mengumumkan pencabutan penuh usulan perubahan RUU Ekstradisi. Selama ini, RUU ini berada dalam status ditunda sejak Juni 2019.
”Pemerintah telah menangguhkan RUU tersebut karena telah mengakibatkan konflik dalam masyarakat. Saya secara resmi mengumumkan penarikan RUU itu,” kata Sekretaris Keamanan Hong Kong John Lee mengatakan kepada Dewan Legislatif.
Lee selanjutnya menolak untuk menjawab pertanyaan sejumlah anggota dewan pro-demokrasi.
Meskipun telah ditunda dan akhirnya dicabut, penarikan RUU Ekstradisi tidak menjamin aksi protes akan mereda mengingat masih ada empat tuntutan yang belum terpenuhi. Aksi unjuk rasa yang kerap berakhir ricuh telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Hong Kong menjadi nol hingga 1 persen pada 2019. (AFP/AP/REUTERS)