Daya Gebrak dan Inovasi Anak Muda
Siapa bilang anak muda kita hanya doyan bersenang-senang ? Pada banyak forum di dalam dan luar negeri menunjukkan, pemuda Indonesia mampu berprestasi dengan menampilkan kemampuan mereka di banyak bidang. Intinya, anggapan orang Indonesia miskin inovasi tidak benar.
Salah satu bukti nyata nampak di arena Pameran Startup Tekonologi dan Inovasi Industri Anak Negeri di Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat pada 3-6 Oktober 2019 lalu. Diantara 400 karya yang dipamerkan, beberapa inovasi mencuri perhatian pengunjung. Satu diantaranya, simulator pesawat tipe Boeing 737 seri 800 dan Cessna 172.
Banyak orang antre ingin mencoba “mengemudi” pesawat tersebut sampai Mukhlas Fajar Putra, Wawan dan kawan-kawannya dari PT SEL Teknologi Indonesia yang membuat alat tersebut kewalahan menghadapi besarnya animo pengunjung. Saking semangatnya pengunjung menggerakkan alat di simulator, tuas untuk menaikkan-menurunkan pesawat tak berfungsi.
“Ada juga beberapa tombol yang rusak… Mohon maaf untuk sementara mesin ini tak bisa dicoba. Harus diperbaiki dulu,” kata Mukhlas kepada pengunjung yang masih ingin mencoba alat tersebut. Ia meminta orang yang ingin mencoba simulator pesawat Boeing pindah ke simulator Cessna yang berada di sisi kiri Boeing.
Dua mesin buatan para pemuda asal Yogyakarta itu persis seperti simulator yang biasa digunakan para pilot untuk belajar mengenal kokpit dan mengemudikan pesawat. Padahal, 12 orang pembuatnya belum pernah masuk ke kokpit yang sesungguhnya. Bahkan beberapa diantaranya belum pernah naik pesawat, tetapi karya mereka tak bisa dipandang sebelah mata.
Dari pameran kemarin, Mukhlas mengaku pihaknya mendapat penawaran bisnis untuk membuat alat simulator untuk helikopter dan pesawat latih, untuk keperluan hiburan dan hobi. “Lumayan banyak orang ingin membuat kesepakatan bisnis dengan kami setelah melihat dua model simulator yang kami pamerkan,” kata pemuda berusia 29 tahun itu.
Tak hanya itu, ada grup pilot pesawat milik TNI dan pesawat komersial mencoba simulator karya PT SEL Indonesia yang berkantor di Desa Kragilan, Sleman, Yogyakarta tersebut. “Pilot Boeing yang mencoba simulator kami memberi masukan perlu tambahan beberapa alat. Kami jelaskan memang belum semua alat kami buat karena di pameran ini yang banyak mencoba pengunjung biasa bukan pilot,” jelas Mukhlas, alumnus Universitas Negeri Yogyakarta. Dari kunjungan itu, beberapa pilot memesan alat untuk latihan simulasi secara sederhana yang bisa digunakan di rumah.
PT SEL Indonesia berdiri tahun tahun 2016. Pendirinya, para lulusan dari Fakultas Ilmu Pendidikan Teknik Jurusan Teknik Elektronika dan Teknik Mesin Universitas Negeri Yogyakarta. “Rentang usia kami di angka dua puluh sampai 30-an tahun, tapi ada staf, seorang bapak berusia 47,” lanjut Mukhlas yang berusia 29 tahun.
Pendirian perusahaan itu berawal dari keinginan para calon guru tersebut untuk bisa terus mengembangkan keilmuannya. Mereka lalu memilih membuat riset dan peralatan apa saja yang berkaitan dengan urusan mesin dan elektronika. Suatu hari di tahun 2017, anak-anak muda tersebut tertarik untuk membuat simulator. Mereka belajar secara otodidak dengan bantuan internet. Kami mencari bahan belajar dari sana lalu mencobanya. Beberapa simulator yang pernah mereka buat, simulator pesawat tempur F-16, Cessna dan Boeing.
“Kami bahkan sudah membuat simulator F-16 yang kursinya bisa bergerak berputar sesuai kebutuhan latihan pilot pesawat tempur tetapi usaha itu tak kami lanjutkan karena keterbatasan dana,” tutur Mukhlas. Ia ingin suatu ketika PT SEL Indonesia bisa membuat inovasi baru, simulator pesawat untuk melatih pilot menghadapi tekanan udara tinggi yang dibutuhkan seorang penerbang tempur. “Cita-cita kami harus terus berinovasi tapi harus pelan-pelan karena kemampuan dana kami terbatas,” katanya lagi.
Bidang kesehatan
Inovasi lain yang menarik ada di bidang kesehatan. Dosen dan mahasiswa STIMIK STIKOM Indonesia Denpasar membuat teknologi pemantau bagi orang lanjut usia atau lansia yang sering jatuh tanpa diketahui anggota keluarganya. “Kami membuat In-suit, alat untuk memantau apa yang terjadi pada para lansia dan dimana lokasinya. Alat itu akan melaporkan jika lansia mengalami benturan dan lokasinya dimana,” kata I Gusti Made Ngurah Desnanjaya, Kepala Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kreatifitas STMIK STIKOM Indonesia.
Ngurah dan Putu Edi Sumardiyana, rekan sesama dosen di perguruan itu membuat alat berbentuk kotak kecil warna oranye dan hijau untuk membantu lansia dan keluarganya. Mereka melibatkan enam mahasiswa ke proyek tersebut. Ia menambahkan, para lansia yang harus tinggal sendiri di rumah, sering tak terdeteksi kondisinya. Sering kali ada kejadian mereka jatuh tetapi terlambat mendapat pertolongan pertama karena keluarga tak tahu.
“Kami membuat alat yang bisa melaporkan adanya benturan ringan hingga berat lalu melaporkan keadaan itu kepada keluarga lewat email dan layanan pesan singkat. Jadi kami punya server yang akan mendapat laporan dari alat itu. Server akan meneruskan kabar itu kepada kerabat klien,” urai Ngurah.
Alat itu sudah diuji di Panti Wreda di Gianyar dan di kampus dengan hasil baik. Ngurah menyatakan sedang berupaya agar alat itu bisa produksi massal dan dijual ke masyarakat umum.
Satu inovasi di bidang kesehatan juga ditampilkan oleh Christofer Aldwin, alumnus Swiss German University, Tangerang. Ia membuat alat bernama Benang Perkasa yakni benang berlapis karbon nano-tube yang bisa diubah menjadi tegangan listrik berdaya rendah. Fungsi alat itu untuk mengukur regangan pada sebuah obyek. Alat itu bisa menjadi pengganti alat diagnostik kesehatan jenis sensor otot dan multifungsi pada tubuh.
Sementara di bidang daring, Riliv yang menyediakan jasa konsultasi psikologi lewat layanan daring telah membantu ratusan ribu orang. Selain mempertemukan psikolog dengan pasien secara daring, menurut CEO Riliv Audrey Maxmillian Herli, startup yang berpusat di Surabaya itu kini menyediakan layanan meditasi dari telepon seluler. “Kami terus berinovasi sesuai kebutuhan klien,” ujar Maxi, alumnus Universitas Airlangga Surabaya.
Masih di bidang inovasi teknologi tepat guna, Majid (25) bersama Nug, Tila, Safik, Finan yang sama-sama baru lulus dari Fakultas Teknik Jurusan Teknik Industri Universitas Stikubang Semarang membuat mesin pencabut bulu ayam. “Niat kami waktu itu hanya untuk membuat skripsi sekalian membantu usaha kecil dan menengah, tapi ternyata banyak orang mau beli,” tutur Majid. Ia dan kawan-kawan kini sudah menjual 60 mesin itu dengan harga Rp 3,5 juta. Selain dijual, anak-anak muda itu juga menyewakan mesin tersebut dengan tarip Rp 7.500 per hari.
Nah, keren kan anak muda Indonesia. Mereka sudah membuat bermacam inovasi, tinggal kita menunggu dukungan dari pihak yang berkait dengan inovasi anak muda.