Duel Ajax Amsterdam versus Chelsea di Liga Champions, Rabu malam menjadi etalase para bintang masa depan Eropa. Kedua tim menjadi panutan dalam pengembangan pemain muda.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
AMSTERDAM, SELASA – Duel Ajax Amsterdam lawan Chelsea di Johan Cruyff Arena, Rabu (23/10/2019) pukul 23.55 WIB merupakan salah satu laga Liga Champions Eropa yang paling dinanti-nanti sejak undian pembagian grup, Agustus lalu. Meskipun sama-sama bukan favorit juara, kedua tim menyita perhatian publik lewat sepak bola yang menggelora.
”Duel ini akan menjadi hal baru dan menarik. Ajax adalah lawan baru bagi Chelsea. Ajax telah menjalani musim fantastis dan mereka berupaya mengulanginya musim ini. Chelsea sangat menanti-nantikan tantangan ini,” ujar Petr Cech, mantan pemain yang saat ini menjadi penasehat teknis di Chelsea, dikutip UEFA.com, Agustus silam.
Di panggung Liga Champions, Ajax dan Chelsea merupakan lawan yang asing satu sama lainnya. Kedua tim belum pernah berjumpa sebelumnya pada kompetisi Eropa. Terlepas dari rekor pertemuan itu, kedua tim sebetulnya sangat familier satu sama lain. Keduanya ibarat saling bercermin pada laga penyisihan grup H Liga Champions musim 2019-2020 ini.
”Ajax serupa kami. Mereka punya banyak pemain muda yang senang menjaga bola dan memainkan sepak bola bagus. Saat kehilangan bola, mereka senang merebut kembali secepatnya. Ini adalah laga yang masif bagi kami,” ujar Tammy Abraham striker muda ”The Blues” seperti dikutip dari laman resmi Chelsea.
Bagi Chelsea, Ajax adalah panutan mereka saat ini. Ajax, klub kebanggaan Belanda, sering disebut ”pabrik” talenta sepak bola dunia. Akademi Ajax, yang dinamai De Toekomst, telah melahirkan pesepak bola hebat seperti Clarence Seedorf, Edwin van Der Sar, Frank Rijkaard, Edgar Davids, dan Christian Eriksen. Tradisi itu terus dilanjutkan hingga era Frenkie de Jong dan Matthijs de Ligts.
Secara tradisi, Ajax rutin mencari dan melihat talenta muda dalam membangun tim. De Toekomst bahkan dijadikan pemasok utama pemain di skuad inti klub itu. Maka itu, ibarat pabrik, mereka seolah tidak pernah berhenti memproduksi pemain-pemain bertalenta. Sistem yang rapi juga memungkinkan Ajax terus berprestasi terlepas silih bergantinya para pemain bintang yang pergi.
Hal itu mereka buktikan musim ini. Sempat divonis akan mengalami regresi seperti klub Perancis, AS Monaco, seusai menjual barisan talentanya seperti Thomas Lemar, Fabinho, dan Kylian Mbappe Lottin, dua musim silam, Ajax tetap terbang tinggi. Semifinalis Liga Champions musim lalu itu tetap tampil menggelora meskipun tidak lagi dibela De Jong dan De Ligts.
Uang 130 juta poundsterling atau Rp 2,3 triliun dari hasil penjualan kedua pemain bintang itu diinvestasikan dengan cerdas, yaitu kembali ke pemain muda. Musim panas lalu, Ajax memboyong Edson Alvarez (21) dan Lisandro Martinez (21) untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan De Jong dan De Ligts di lini tengah dan belakang. Mereka juga membeli Quincy Promes (27) untuk menambah daya gedor di lini serang.
Hasilnya, Ajax tetap ganas. Karakter permainan tim itu tidak banyak berubah dari musim sensasional lalu berkat dipertahankannya Erik Ten Hag, pelatih yang kini diincar Bayern Muenchen. Mereka tetap ofensif, agresif, dan menekan ala ”Total Football” yang dipopulerkan legendanya, Johan Cruyff.
Mereka menjadi tim terproduktif di penyisihan grup Liga Champions musim ini setelah Bayern Muenchen dan Red Bull Salzburg. Enam gol mereka ciptakan tanpa kebobolan pada dua laga pertama grup.
Masih dominan
Seperti saat menjuarai Liga Belanda musim lalu, Ajax juga masih dominan di kancah domestik. Mereka memuncaki klasemen liga tanpa terkalahkan di sepuluh laga. Mereka bahkan selalu menang di lima laga terakhirnya di berbagai kompetisi. Tidak heran, bagi Manajer Chelsea Frank Lampard, Ajax merupakan ujian terbesar Chelsea sejauh ini.
”Dua laga ke depan (di Liga Champions) sangat besar bagi kami karena Ajax sungguh tim yang kuat. Pergerakan dinamis dan cara bermain mereka menjadi ujian besar bagi kami,” ujar Lampard, menjelang duel itu.
Hampir serupa Ajax, Chelsea mulai memetik buah dari kepercayaan mereka pada Lampard dan pemain muda. Sempat terseok-seok di awal musim, Chelsea mencatatkan kemenangan pada lima laga terakhir dan menembus peringkat empat besar Liga Inggris. Menariknya, tren positif itu terjadi setelah mereka total menengok ke para pemain mudanya.
Jebolan akademi Chelsea, seperti Abraham, Mason Mount, Callum Hudson-Odoi, Reece James, dan Fikayo Tomori, menjadi langganan skuad inti. Rata-rata usia pemain di skuad inti mereka saat ini, 25 tahun dan 184 hari, adalah yang termuda sejak 2015. Kiprah mereka di tim inti Chelsea sebetulnya akibat “kecelakaan”, yaitu embargo transfer FIFA.
Namun, musibah itu justru menjadi berkah bagi Chelsea. Mario Melchiot, mantan pemain Chelsea, berkata, bekas klubnya memiliki masa depan yang cerah. Di musim transisi ini, Chelsea dianggap Melchiot meniru sistem dan mentalitas Ajax. ”Sudah lama saya mendorong Chelsea agar menggunakan para pemain muda akademinya. Mereka memenangi banyak piala di level yunior. Namun, piala terbesar mereka kini adalah dipakai tim inti,” ujar mantan bek itu.
Bagi Abraham dan Tomori, Ajax bukan lawan asing. Mereka pernah berhadapan dengan Ajax yang dibela De Ligts dan Donny van de Beek pada perempat final Piala Muda Eropa 2015-2016. Saat itu, tim muda Chelsea menang 1-0, lolos ke final, dan menjadi juara. Mereka meraih gelar juara itu dua musim beruntun. Abraham dan Tomori berupaya mengulang kisah manis itu malam ini.