Ketika Si Bandel yang Ditakuti Dunia Menyergap
Dua kali impor kacang tanah asal Sudan yang tiba di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, terpapar kumbang khapra (Trogoderma granarium). Peristiwa ini bukan sepele mengingat hama gudang itu terkenal bandel.
Dua kali impor kacang tanah asal Sudan yang tiba di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, terpapar kumbang khapra (Trogoderma granarium). Peristiwa ini bukan perkara sepele mengingat hama gudang itu terkenal bandel dan ditakuti negara-negara lain di dunia.
Kumbang khapra awalnya terdeteksi oleh Balai Karantina Pertanian Kelas I Semarang, Senin (9/9/2019), di Tanjung Emas. Enam kontainer bermuatan 100 ton kacang tanah asal Sudan dihinggapi hama serangga yang kebanyakan berbentuk larva berwarna putih kekuningan.
Fumigasi pun langsung dilakukan Balai Karantina Pertanian Kelas I Semarang. Metil bromida dengan dosis 80 gram per meter kubik disemprotkan ke enam kontainer tersebut selama 2 x 24 jam. Hasilnya, hama pun mati, tetapi kondisi kacang tanah sudah tak sebaik sebelumnya. Kacang tetap dirilis.
Dalam dua pekan, total ada 16 kontainer atau 250 ton kacang tanah dari Sudan yang dihinggapi serangga itu.
Dua pekan setelahnya, juga di Tanjung Emas, lagi-lagi kacang tanah impor dari Sudan terpapar kumbang khapra. Dalam dua pekan, total ada 16 kontainer atau 250 ton kacang tanah dari Sudan yang dihinggapi serangga itu. Balai Karantina Pertanian Kelas I Semarang pun kembali melakukan fumigasi.
Meskipun sekilas seperti hama serangga biasa, kumbang khapra nyatanya ditakuti dunia, khususnya oleh negara-negara maju. Amerika Serikat, misalnya. Di situs Departemen Agrikultur AS disebutkan bahwa khapra adalah salah satu hama paling destruktif. Pihak pembawa hama itu bisa didenda hingga 1.000 dollar AS atau lebih.
Sementara pada situs Departemen Agrikultur Australia disebutkan, warga negara Australia dan turis internasional berperan untuk menjaga negara agar tak dimasuki kumbang khapra. Disebutkan juga bahwa hama itu berpotensi masuk dari komoditas apa saja sehingga mesti diwaspadai.
Berdasarkan data Balai Karantina Pertanian Kelas I Semarang, Januari hingga September 2019, terdapat 29.123 ton kacang tanah impor melalui Pelabuhan Tanjung Emas dengan nilai Rp 231,2 miliar. Sementara ekspor kacang tanah pada periode yang sama sebanyak 1.319 ton senilai Rp 245,4 miliar.
Status bebas khapra
Bagi Indonesia, ditemukannya khapra menjadi ancaman karena sejatinya status bebas kumbang khapra sudah didapat dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2009. ”Ini menjadi perhatian karena ekspor produk pertanian bisa terpengaruh,” kata Koordinator Fungsional Tumbuhan Balai Karantina Pertanian Semarang Heri Widarta, akhir September.
Dalam dokumen yang dikeluarkan WTO itu disebutkan, kumbang khapra pertama kali ditemukan di Indonesia pada 1982 di Jawa Tengah melalui produk pertanian impor. Setelah itu, negara melakukan penanganan komprehensif, antara lain dengan inspeksi di sejumlah titik masuk produk impor pertanian.
Kemudian, hama itu ditemukan juga di Jawa Timur dan Kepulauan Bangka, tetapi dengan jumlah populasi yang sangat sedikit. Pemusnahan dan pengawasan intensif pun dilakukan selama tiga tahun, sejak 1983 hingga 1986. Pemusnahan dilakukan dengan penyemprotan metil bromida 80 gram per meter kubik selama 48 jam.
Dalam perkembangannya, catatan itu memengaruhi perdagangan produk-produk pertanian Indonesia ke negara-negara mitra. Meski program pemberantasan sudah dilakukan, Indonesia masih dicap pernah terinfeksi kumbang khapra.
Maka, pada ekspor produk seperti biji-bijian dan kacang-kacangan harus dilakukan fumigasi dengan tingkat konsentrasi tinggi lebih dulu.
Guna memastikan tak ada lagi kumbang khapra tersisa di Indonesia, Badan Karantina Pertanian di setiap provinsi melakukan inspeksi dan pengawasan pada 2006-2009. Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan perangkap yang mengandung feromon atau zat kimia perangsang daya pikat seksual serta umpan makanan.
Hasil pengawasan itu menunjukkan bahwa dipastikan tak ada lagi kumbang khapra di Indonesia. Mengacu pada hasil itu, WTO pun mengeluarkan dokumen yang menyatakan Indonesia bebas dari kumbang khapra. Indonesia juga meminta mitra dagang WTO untuk tak lagi menerapkan fumigasi metil bromida sebelum pengiriman produk.
Adapun khapra memiliki klasifikasi ordo Coleoptera dan famili Dermestidae. Larva khapra berbulu dengan warna putih kekuningan. Saat larva terus berkembang dan matang, ukurannya sekitar 5 milimeter (mm). Sementara saat menjadi kumbang dewasa, warnanya coklat gelap dengan ukuran berkisar 2 mm-3 mm.
Menurut data di situs Centre for Agriculture and Bioscience International (CABI), daerah asal khapra tak diketahui secara pasti, tetapi diyakini dari India. Khapra, yang merupakan hama gudang, cocok dengan kondisi panas dan kering, misalnya pada suhu udara di atas 20 derajat celsius dan kelembaban di bawah 50 persen.
Khapra umumnya ditemukan di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Khapra tidak cocok pada kondisi cuaca dan kelembaban di negara-negara Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Australia. Kumbang ini menghinggapi sejumlah produk pertanian, di antaranya kacang-kacangan, beras, sereal, dan gandum.
Diapause
Ahli entomologi (ilmu tentang serangga) dari Departemen Biologi Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro, Rully Rahadian, mengatakan, yang berbahaya dari khapra adalah saat masih berupa larva. Sebab, larva serangga itu dapat bertahan dalam kondisi yang tak nyaman baginya atau disebut masa diapause.
Rully menambahkan, dalam kondisi normal atau cocok, larva berubah menjadi pupa dalam 18 hari. ”Namun, dalam kondisi diapause, larva khapra bisa bertahan sembilan bulan tanpa makan dan enam tahun jika ada makanan. Keistimewaan itulah yang membuat khapra ditakuti negara-negara maju,” katanya.
Pada masa diapause, serangga umumnya juga resisten terhadap insektisida, termasuk dengan fumigasi. Sebab, pada masa itu, metabolisme tubuh berjalan sangat lambat sehingga udara yang dihirup saat bernapas pun sedikit. Padahal, gas melalui fumigasi masuk melalui saluran pernapasan. Karena itulah, khapra dikenal sebagai hama yang bandel.
Terlebih saat berupa larva, yang merupakan tahap pradewasa, periode ketika serangga makan dalam jumlah banyak. Adapun ketika dewasa, khapra tidak lagi berbahaya, tetapi yang dikhawatirkan adalah kawin dan bertelur. Satu betina khapra paling banyak bertelur 35 butir.
Dengan kondisi wilayah yang cenderung lembab, menurut Rully, Indonesia sebenarnya bukan tempat yang cocok bagi khapra untuk berkembang. ”Kendati demikian, harus tetap diwaspadai. Sebab, terkadang hewan juga beradaptasi (dengan lingkungan baru). Maka, tindakan pencegahan perlu dilakukan,” ujarnya.
”Saya akan memastikan kepada Kedutaan Besar Sudan agar mereka mewanti-wanti. Mereka harus benar-benar memastikan bahwa barang yang dikirim betul-betul aman dari hama berbahaya,”
Kepala Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian Ali Jamil menuturkan, kumbang khapra termasuk organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) kategori A1 atau tidak ada di Indonesia. Oleh karena itu, kasus masuknya khapra beberapa waktu lalu menjadi perhatian serius. Selain penanganan secara ketat dengan fumigasi, pihaknya juga mengirim notifikasi ke Sudan sebagai negara pengirim.
”Saya akan memastikan kepada Kedutaan Besar Sudan agar mereka mewanti-wanti. Mereka harus benar-benar memastikan bahwa barang yang dikirim betul-betul aman dari hama berbahaya,” ujar Ali.
Baca juga : Kacang Tanah Asal Sudan Dihinggapi Serangga Berbahaya
Ia pun memberi kesempatan sekali lagi. Apabila kembali terjadi, tak tertutup kemungkinan menyetop impor kacang tanah dari Sudan.
Masyarakat, termasuk petani, memang harus dilindungi dari berbagai hama berbahaya di dunia. Apalagi, kasus masuknya kumbang khapra itu juga dikhawatirkan bisa merusak kepercayaan negara-negara mitra akan produk pertanian Indonesia.